BAB IX - PASANGAN

"Oh, Blazera!"

Esmeralda menoleh ke sumber suara--sepertinya ada suara asing yang berhasil ditangkap telinganya di tengah keramaian. Ia harus memiringkan kepala cukup keras untuk melihat arah pintu masuk dari celah yang terbentuk di antara rombongan pelayan yang mengelilingi dirinya. Sedikit merepotkan sebenarnya, padahal dia bisa dengan mudah memerintahkan para pelayan untuk minggir dari hadapannya. Namun, ia mengurungkan opsi yang itu. Suaranya pasti akan kalah ditelan celotehan kepanikan gadis-gadis yang mengerumuninya. Jadi, Esmeralda lebih memilih sedikit kerepotan dibanding harus berteriak dalam kondisi seperti ini.

"Keributan macam apa ini?"

Esmeralda memicingkan mata. Sang pemilik suara berdiri di tengah garis pintu, menutupi sebagian besar pintu masuk yang berukuran besar itu. Topi besarnya dipenuhi bulu burung unta yang tidak kalah panjang dari rambutnya yang dikepang hingga menyentuh ujung gaun--yang bervolume tiga kali lipat dari gaun Esmeralda. Ia menutupi sinar matahari yang masuk dari celah pintu yang terbuka, membuat penampilannya membentuk siluet raksasa yang mirip ....

Mama?

"Demi Blazera! Siapa yang kalian kerumuni sampai membelakangiku dengan bokong-bokong tepos itu?" Suaranya kini terdengar lebih melengking bak pemain opera yang sering diundang keluarga Luzel setiap dua belas malam.

Para pelayan yang sedari tadi sibuk mengerumuni nonanya, sontak membalikkan badan dan menganga lebar sembari memekik, "Nyonya Besar!"

"Ya, ya, Nyonya Besar datang, blabla," ulang sang Nyonya Besar dengan nada yang dibuat-buat. Ia mengibas-ngibaskan tangan kanannya, membuat lengan gaun berpotongan lebar itu melambai-lambai. "Sekarang jawab kenapa--" Pandangannya jatuh pada sofa di tengah ruangan.

Menatap sofa berbahan beludru hijau dengan ratusan permata kuning yang tersemat di seluruh bagian. Sofa dengan bantalan ekstra lembut dari bulu angsa salju. Pun sofa yang menopang tubuh gadis yang berbaring dengan wajah penuh keringat. "--Apa dia sakit?"

Kepala pelayan Esmeralda terlihat menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab, "Nona tadi melihat," ia terdiam saat merasakan jemari Esmeralda yang meremas tangan kanannya, "Nona sakit kepala, Nyonya Besar."

Claire, sang Nyonya, menghela napas. Hanya sakit kepala dan mereka sampai heboh seperti itu? Lemah sekali kerumunan di hadapannya ini. "Oh, Blazera! Kukira dia mau mati melihat wajahnya yang seperti habis bertemu mayat hidup." Ia melangkah mendekati Esmeralda, membuat para pelayan menyingkir memberi jalan.

Sembari berjalan, sang Nyonya melepas topi besar yang ia kenakan, meletakkannya di kepala salah satu pelayan berbadan mungil yang berbaris rapi. Tangan kirinya lalu membuka sarung tangan sutra di tangan kanannya--dan sebaliknya--lalu menyelempangkan sepasang sarung tangan panjang itu pada bahu pelayan berwajah bodoh--yang berdiri di sebelah pelayan yang kepalanya dijadikan tempat topi. Ia berhenti di depan sofa, menunduk menyentuh dahi putrinya dan berkata, "Pusing, berkeringat, dan agak panas. Kau seperti aku saat kehabisan uang belanja."

"Mama ...."

Esmeralda memandang wajah sang ibu yang kini terbebas dari topi bulu raksasanya. Ia bahkan bisa melihat pantulan wajahnya dari iris biru tua Claire yang sejernih Perairan Selatan Ventos. Mata itu tidak berubah, bahkan setelah setengah tahun terakhir ia melihatnya. Ucapan yang diberikan Claire memang terdengar tidak khawatir, tetapi itu berbanding terbalik dengan ekspresi sang Nyonya di wajah bulat yang ditunjukkannya. Ibunya mengkhawatirkan keadaannya. Masih menghawatirkan dirinya.

Claire menjauhkan tangannya. Alisnya mengerut melihat keringat Esmeralda yang menempel di telapak tangan kanannya, sebelum bergerak mengelap tangannya pada baju pelayan terdekat. Dia berbalik. "Omong-omong, sudah panggil tabib?" tanyanya yang langsung mendapati gelengan kepala gadis-gadis berseragam hijau lumut itu. Claire terdiam, menunggu kelanjutan jawaban. Namun tidak ada yang terjadi selain gelengan kepala. Oh, Blazera.

Claire berkacak pinggang. "Jadi aku yang harus memanggil tabib?"

Kepala pelayan Esmeralda segera menyahut, "Tidak, Nyonya Besar!" Ia segera menginstruksikan anak buahnya untuk memanggil tabib dan menyiapkan kamar, sebelum undur diri untuk membuat teh bulan.

"Demi Blazera!" ucap Claire yang entah sudah berapa kali ia menyebut nama sang Dewi. "Di mana kau pungut idiot-idiot itu?" gerutu wanita berambut oranye itu. Ia mengibas tangan kanannya, menginstruksikan dua pelayan pribadinya untuk menyiapkan kamarnya.

Sang Nyonya Besar lalu mendudukkan dirinya pada sofa kecil di samping sofa Esmeralda. Bokongnya bergerak ke kanan dan kiri, mencari posisi yang pas pada kursi bertekstur halus itu. Keluhan tentang kualitas buruk bantalan duduk sofa--berdasarkan keempukan dibandingkan sofa favoritnya di kediaman Luzel di ibu kota--dan pilihan Esmeralda yang memilih untuk berbaring di sofa yang biasa Claire duduki, terus keluar dari mulut sang Nyonya Besar sampai akhirnya ia menemukan posisi yang pas.

"Nah!" seru Claire sembari menyenderkan punggung. "Kenapa ayahmu bersikeras untuk menyimpan kursi ini?" tanyanya yang lalu dijawab juga olehnya, "Ya, ya, karena pemberian Maranth tentu saja. Apa katanya? Ah, milik Raja Maximilan V? Atau Maximilan IV?" ia melirik bordiran emas yang tersemat indah di setiap bagian sofa, "Entahlah, mereka juga sudah lama mati. Saat ayahmu mati, kursi ini adalah barang pertama yang kujual. Ingatkan aku, Sayang."

Nyonya Luzel kembali menghadap Esmeralda setelah menyelesaikan ocehannya. Ia segera disambut dengan mata hijau putrinya yang terus menatapnya. "Apa?"

"Tidak." Esmeralda menggeleng. Sang bangsawan muda bangkit dari posisinya, kini duduk menyandar pada bantalan lengan sofa yang tinggi, menghadap sang ibu. Jemarinya memainkan bibir gelas. "Esme hanya lama tidak melihat Mama," ucapnya yang lebih mirip seperti gumaman.

Sebelah alis Claire terangkat. Ia tidak menyangka putrinya akan mengeluarkan pernyataan yang bodoh. "Ya karena aku jarang berada di rumah utama dan kau selalu berada di sana," ucapnya santai. Sang Nyonya mengibaskan tangan. "Cepatlah debut dan kau bisa puas berada di ibu kota dan bergaul dengan nyonya-nyonya yang lain--" Ia mengerutkan dahi. "Kenapa kau ada di Gatener?"

Tangan kanan Esmeralda meremas bantalan dudukan sofa. Sejenak, ia memejamkan mata. Lalu pupilnya tertuju pada karpet emas yang membentang memenuhi seluruh sudut ruang duduk. Mulutnya terbuka, menjawab, "Esme ... sehabis mengunjungi Kakek di Porta."

"Kakek?" Claire kembali mengibaskan tangan. "Ayahku memang tua bangka, tapi itu bukan berarti kau perlu menjenguknya setiap saat. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku melihatnya! Tunggu, bukannya bulan lalu kau sudah ke Porta? Atau itu Brietta, ya? Ah, terserah! Lagipula kita semua akan pergi ke Porta beberapa hari lagi untuk pesta perayaan." Ia menghela napas dengan dramatis. "Dan gaunku bahkan belum jadi!"

Mata Esmeralda terpejam. Benar, bukan kakaknya, Brietta, tetapi dirinya lah yang bulan lalu pergi ke Porta dengan alasan yang sama. Bahkan bulan-bulan sebelumnya juga, tidak, sejak satu tahun yang lalu lebih tepatnya. Namun, setidaknya ibunya kini sibuk mengomel tentang ketidakkosistennya penjahit ibu kota dibanding bertanya lebih lanjut dalam urusan putri bungsunya. Sepertinya.

"Omong-omong di mana tehku?" Mata Claire mengerjap, akhirnya teringat akan pesanan teh bulannya. Ia melirik Esmeralda yang meletakkan gelas kaca berisi air di atas meja. "Apa kerja pelayanmu selelet siput? Tidak, siput bahkan lebih cepat!"

Belum sempat Esmeralda membalas, Claire kembali berkata, "Omong-omong soal siput, aku habis dari kediaman keluarga Galan. Siapa sangka mereka sekarang menjual siput! Besar sekali! Bahkan lebih besar dari kepalaku!" Claire mengangkat kedua tangannya ke samping kepala, membuat lingkaran tidak sempurna menggunakan jemari besarnya.

Namun Esmeralda tidak menghiraukannya. Ia bahkan tidak sempat tersenyum saat Claire menceritakan bahwa salah satu siput hampir memakan rambutnya yang dikira wortel raksasa. Sinar kehidupan di mata sang gadis memudar, memudar saat nama Galan keluar dari bibir sang ibu.

"... Aku tidak sabar menunggu persatuan Luzel dan Galan! Melihat putriku akhirnya menjadi Nyonya Galan dan menguasai seluruh pertenakan itu!" Claire memekik girang. "Kau juga tidak sabar, kan?"

Hening.

"Sayang?"

Esmeralda tersadar. "Ya?"

Claire mengibaskan tangan. "Aku tahu wajah itu!" Ia tersenyum. Sebuah senyuman penuh arti yang membuat putri bungsunya mulai meremas bantalan sofa. "Pasti ada pemuda lain di hatimu, kan? Biar kutebak ... di Porta? Dengan awalan nama L?"

Sekakmat.

Mama ... tahu? Mata Esmeralda membulat. Bagaimana? Kenapa? Mama tahu?!

Esmeralda sontak bangkit dari posisinya. Mustahil ada yang tahu. Mustahil! Ia selalu berhati-hati saat berada di Porta. Meskipun layak mengikuti pergaulan kelas atas Porta sebagai Bangsawan Campuran, ia tidak pernah menampakkan diri lagi setelah pesta debut tidak resminya di kediaman Ergon, kediaman keluarga Claire. Pun tidak pernah bertemu dengan bangsawan Porta lainnya setelah hari itu. Ia selalu bersembunyi. Selalu menjauh dari perhatian. Selalu memilih tempat yang jarang dikunjungi para aristokrat ... dan baru saja diserang.

Tunggu. Tidak mustahil. Jika orang yang menyerangnya berhasil mengetahui lokasi Esmeralda, maka mata-mata ibunya juga bisa menemukannya. Jika memang memiliki mata-mata.

Tidak!

Claire tergelak, membuat gadis di hadapannya semakin takut. "Kau menyukai Landon!"

Esmeralda mengerjap. Apa ...?

Wanita paruh baya itu memekik girang, sangat keras. Bahkan berhasil membuat kepala pelayan Esmeralda tergopoh-gopoh menuju ruang duduk.

"Nyonya Besar! Anda tidak apa-apa?" Wajah dayang bermata sayu itu panik. Tangannya mencengkram erat nampan berisikan teko keramik dan dua cangkir teh. Ekspresinya melega saat melihat sang Nyonya Besar sedang tertawa kegirangan.

Claire hanya mengangguk cepat di sela euforianya. Lalu ia segera menyambar cangkir berhiaskan batu citrine itu tepat saat sang pelayan selesai menyajikan teh yang telah ia tunggu entah sejak berapa lama. "Ah!" serunya setelah selesai meneguk teh yang terbuat dari campuran tetesan embun dari berbagai jenis bunga malam. Tangan kanannya mengibas, mengusir sang pelayan.

Sedangkan sang gadis bangsawan hanya termangu menatap sang ibu. Ia kembali terjatuh dalam empuknya sofa. Dirinya menyukai Landon? Siapa pula pemuda itu!

Tepukan tangan sang Nyonya membuyarkan pikiran Esmeralda. Mata biru wanita berambut oranye itu menatapnya dengan penuh semangat. Tangan besarnya lalu menggenggam jemari Esmeralda.

"Sudah kuduga seleramu sama denganku!"

A-apa?

"Lukisan wajahnya yang kukirimkan padamu tampan, bukan? Tatapan tajamnya, rahang tegasnya, bibir seksinya ... oh, Sayang, jika aku semuda dirimu aku juga akan memilihnya! Tampan, gagah, dan keluarga Aequox menguasai separuh pasar kapal pula!" Dengan dramatis, Claire menghela napas. "Tapi sayang dia bukan calon tunanganmu yang utama. Ya, dia memang cadangan kedua jika pertunanganmu dan putra Galan gagal, tapi, hah! Ayahmu memang tidak mengetahui mana orang yang tampan memang!"

Esmeralda mengerjapkan mata. Lukisan yang waktu ini? Ingatannya terus berputar, berusaha mengingat hal yang berkaitan tentang lukisan wajah Landon yang entah bagaimana rupanya. Lukisan, lukisan, Landon, waktu ini, oh!

Memorinya berhenti saat awal tahun. Surat yang terakhir dikirim Claire untuknya beberapa bulan yang lalu! Surat yang berisi lukisan salah satu calon tunangannya, putra tunggal Tuan Aequox yang berusia enam belas tahun. Sang Pangeran Laut, Penakluk Hati Wanita, Si Kabar Panas di Pergaulan Kelas Atas Porta, Landon Aequox--menurut deskripsi yang ditulis Claire.

Sepertinya ada kesalahpahaman di sini.

"Aku tahu!" Tiba-tiba Claire menepuk tangannya. "Jika kau benar-benar memantapkan hatimu untuk Landon, maka saat dansa pertama di pesta debutmu nanti kau tinggal injak saja kaki putra Galan itu minimal tiga kali! Kau akan menjadi bahan gosip, ya, tapi dia pasti akan menganggapmu tidak becus dan membatalkan pertunangannya juga!" jerit sang Nyonya. Namun, mendadak energi suaranya menurun saat melanjutkan, "Sepertinya. Aku dulu menginjak kaki ayahmu entah berapa belas kali saat dansa pertamaku, dan dia masih saja melanjutkan pertunangan kami. Menyebalkan."

Belum sempat Esmeralda meluruskan pikiran sang ibu yang melenceng jauh, pelayan pribadinya tiba-tiba muncul dari balik pintu, menginformasikan bahwa kamar yang akan ditempatinya sudah siap.

Claire mengibaskan tangan. "Antar nonamu ke kamarnya dan temani dia sampai tabib datang. Omong-omong mana tabib tua itu?" Ia menghela napas dengan dramatis. Wanita bertubuh besar itu lalu menatap wajah Esmeralda yang sudah terlihat lebih berwarna dibanding tadi.

"Mama, Esme--"

"Aku tahu, aku tahu. Istirahatlah, Sayang. Kau tidak boleh sakit dulu. Agenda kita beberapa minggu ke depan sangat padat. Kita akan bertemu Landon Aequox di pesta pertunangan sang Pangeran dalam empat hari dan pesta debutmu sendiri tinggal dua belas hari lagi. Setelah itu kau juga harus memberikan persembahan di Kuil Luanios saat purnama dan mengunjungi kediaman Galan--jika pertunanganmu masih berlanjut. Oh, aku tidak sabar memamerkan putriku yang cantik ini di depan nyonya-nyonya yang lain! Sepertinya aku harus belanja lagi!" Claire tersenyum sumringah.

"Mama--"

"Apa yang kau tunggu?" sela sang Nyonya. "Cepat istirahat, Sayang!"

"Mari, Nona."

Esmeralda hanya bisa menghela napas saat dirinya dibantu berdiri oleh pelayannya. Ia melangkah lesu menjauhi sofa sebelum menghentikan langkahnya sejenak. Kepalanya berbalik, menatap sang ibu yang sedang menyesap teh bulan miliknya yang belum sempat Esmeralda sentuh sama sekali.

Esme tidak menginginkan itu, Mama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top