BAB IV - KELUARGA

Banyak rakyat berlalu-lalang di jalanan besar Gatener. Sebagai pusat kota di wilayah perbatasan yang juga merupakan pertahanan utama Airez, tidak heran Gatener selalu ramai dikunjungi pedagang dari kerajaan lain yang ingin memasuki pusat Kerajaan Airez. Ibu kota wilayah perbatasan yang selalu ramai, tidak kalah ramainya dengan ibu kota pusat. Gatener, wilayah kekuasaan keluarga Maranth selama puluhan generasi.

"Gatener selalu ramai seperti biasanya. Apa yang Anda lihat hingga selalu menghadap ke arah jendela, Nonaku?"

Cordelia melirik pelayan muda di sampingnya. "Entahlah. Hanya kebiasaan kecil?" Cordelia tersenyum kecil sebelum kembali menatap ke arah jendela keretanya.

Jawaban sang nona membuat pelayan muda itu mengerutkan alisnya. Kebiasaan? Cordelia telah tinggal di Gatener sejak lahir hingga sekarang. Gadis itu juga lebih sering menghabiskan waktunya di luar Manor Maranth. Selama delapan belas tahun, apa ia tidak bosan melihat pemandangan Gatener yang sepertinya tidak pernah berubah? Entahlah. Sang pelayan tidak tahu akan jawaban itu.

Cordelia mengabaikan tatapan pelayan yang terlihat kebingungan di sampingnya. Pandangan gadis itu tetap terfokus pada jalanan Gatener yang ramai sebelum perlahan menyepi saat keretanya melewati Perbatasan Dalam. Atmosfer kian mendingin, diiringi laju kereta kuda yang melambat.

Perjalanan menuju ibu kota Airez tidak memerlukan waktu yang lama jika memakai kereta kuda. Hanya saja, jalanan yang kian meninggi dan miring membuat para pejalan dan juga kereta harus berhati-hati saat melewati jalur perbatasan jika tidak ingin terjatuh ke dalam jurang. Jalur yang cukup menyeramkan bagi penduduk kerajaan lain. Namun, tentu tidak bagi rakyat Airez. Apa yang diharapkan orang tentang Kerajaan di Atas Tebing?

"Sudah lama hamba tidak melewati Perbatasan Dalam. Oh! Lihat pemandangan di bawah! Jurang terlihat seperti sedang mengeluarkan asap, Nona!" Sang pelayan kini berseru dengan semangat saat melihat ke luar jendela.

Cordelia mengikuti arah pandang pelayannya dan mendapati gumpalan kabut berwarna-warni memenuhi seisi jurang. Seulas senyuman terukir di wajah sang bangsawan. "Sepertinya bunga kabut baru saja bermekaran." Sudah musimnya rupanya. Berapa lama ia tidak memperhatikan hal-hal kecil seperti ini hingga melupakan waktu spesial ini? "Ingatkan aku untuk membeli satu ikat saat kita kembali nanti."

"Satu ikat, Nona?"

Cordelia terdiam sejenak. "Kau benar. Tiga ikat. Mama akan terkejut nanti. Itu bunga favoritnya."

Tiga ikat, katanya? Sang pelayan merespon dengan anggukan. "Nyonya akan sangat senang. Namun, Tuan Muda sepertinya ... tidak akan menyukai itu, Nona."

"Tidak usah khawatir." Cordelia mengibaskan tangan kanannya dengan gerakan yang terlihat begitu elegan di mata bawahannya. "Katakan, apa dia pernah berani untuk menyentuh bunga-bunga Mama?" tanya Cordelia meskipun ia tahu betul jawabannya.

Sang pelayan terlihat kembali berpikir. Berpikir dengan keras dan cepat. Pernahkah? Tidak lama ia terdiam sebelum mulutnya bersua. "Tuan Muda selalu mempercepat langkahnya setiap melewati ruang duduk yang dihiasi bunga kabut lalu marah-marah saat berhasil melewati ruang duduk ... tetapi tidak pernah sekalipun membuang bunga-bunga kesayangan Nyonya! Tuan Muda hanya berani mengomel dibelakang Nyonya saja!"

Cordelia mengangguk. Benar sekali. Kakak tercintanya tidak akan pernah berani membuang tanaman lembab yang menyesakkan dada--ucapan Carlos--itu. Hal yang sangat mengasyikkan bagi Cordelia, tentu saja.

"Nonaku, maaf mengganggu. Sebentar lagi kita sampai di Gerbang Utama Ibu Kota. Apa Anda ingin berhenti sebentar di ibu kota atau langsung menuju istana?" tanya suara berat yang berasal dari kursi kusir.

Mulut Cordelia terbuka sebelum kembali terkatup. Ia terdiam sejenak, terlihat sedang memikirkan sesuatu yang membingungkan sebelum kembali membuka mulutnya.

"Nona ingin langsung ke Istana Airezo bagian barat, Pak. Kawasan Militer," jawab sang pelayan, mengulang kembali jawaban Cordelia dengan suara yang lebih keras hingga didengar kusir.

Sang kusir membalas dengan sopan, menutup percakapan singkat mereka. Ia kembali fokus pada pekerjaan utamanya untuk mengantar satu-satunya putri keluarga Maranth dengan selamat ke tujuan yang diinginkan. Kedua tangan menarik tali kekang kuda ke arah kiri, mengarahkan kereta pada jalan yang lebih menanjak sembari mengucapkan aba-aba pada kuda merah jantan peraih mendali perak di kejuaraan Kuda Terhormat delapan tahun yang lalu.

Mendengar suara perintah kusirnya yang beradu dengan suara sepatu kuda, membuat Cordelia sadar akan destinasinya yang segera tiba. Sang gadis bangsawan kembali menoleh ke arah jendela, melihat pemandangan yang bergerak layaknya lukisan hidup--lukisan yang bisa bergerak. Tatapan sang gadis terlihat jauh, terasa seperti sedang menonton memori lampau. Hingga warna hitam tiba-tiba tertangkap di sudut pengelihatannya.

Cordelia mengerjap, bersamaan dengan jelasnya penyebab bayangan hitam yang baru saja ia sadari. Sebuah patung berbahan batu hitam menyambut pandangannya. Patung setinggi tiga lantai berbentuk ngengat raksasa dengan enam sayap.

Monumen Olubor.

Mata Cordelia seakan terhipnotis saat menatap sisa satu-satunya monumen publik yang membentuk hewan terbang ajaib yang telah lama hilang itu. Monumen Olubor berdiri dengan kokoh di bawah sinar matahari, membentuk pemandangan yang begitu kontras dengan warna hijau cantik dari hamparan rumput yang membentang di tanah lapang yang tengah dilewati keretanya. Monster di tengah keindahan.

Dua pasang pertama masing-masing sayap kiri dan kanan olubor yang begitu panjang dibuat membentang dengan gagah ke arah langit, seakan sedang mengacungkan pedang-pedang tajam ke arah sang Dewa. Sedangkan sayap kanan terakhirnya digambarkan menjuntai hingga menyentuh batu lantai, membentuk lingkaran kecil di atas lantai batu. Lalu sayapnya yang terakhir, sayap terakhir di sisi kirinya, membentuk lingkaran tak sempurna yang ujungnya bertemu--dimakan--oleh mulut olubor yang menghadap ke kiri, menampilkan dua puluh dua gigi taring nan tajam.

"Olubor ...."

Monumen Olubor terakhir di seluruh penjuru Airez. Patung yang menampilkan olubor memakan satu sayapnya dengan begitu rakus. Patung yang dibuat oleh tangan-tangan Dinasti Terkutuk. Dinasti yang telah hancur. Sama seperti nasib olubor.

"Mengerikan ...." Desisan yang ditangkap telinga Cordelia membuat dirinya memutus kontak mata dengan monumen hitam tersebut. Kepalanya bergerak perlahan, menghadap pelayan di sampingnya. Pelayan yang langsung menundukkan pandangan begitu mereka melakukan kontak mata, sebelum kembali bersua, "Hamba tetap saja tidak mengerti mengapa keluarga Fydor membiarkan monumen itu tetap berdiri."

Cordelia tidak langsung menjawab pertanyaan yang diajukan oleh bawahannya. Sang bangsawan tinggi itu mengalihkan perhatian pada kursi kosong di seberangnya. Pertanyaan yang bagus. Pertanyaan yang sangat sering ditanyakan. Pun pertanyaan dengan jawaban yang sudah pasti.

"Pengingat," Cordelia menjawab. "Pengingat sejarah kelam kita. Pengingat kemenangan kita." Suara manisnya terdengar begitu percaya diri, terlebih pada kalimat terakhir. "Apapun yang terjadi, olubor pernah menduduki singgasana Airez. Duduk dan tersingkir. Biarkan itu menjadi pengingat bagi keturunan kita."

Sang pelayan hanya mengangguk mendengarkan jawaban sang nona. Tentu ia pernah mendengar jawaban itu sebelumnya. Dan tentu ia tahu bukan olubor, sang hewan, yang duduk di singgasana Airez. Melainkan olubor, perlambangan dari keluarga bangsawan tertua Airez yang sudah hancur.

Cordelia kembali menghadap jendela. Kini hanya kereta kuda dan pejalan kaki yang menyambut pandangannya. Hilang sudah Monumen Olubor yang kini berada jauh di belakang mereka. Cordelia memejamkan mata. Olubor, ulang sang gadis dalam hati. Lambang dari keluarga yang pernah memerintah Airez selama ribuan tahun. Keluarga yang kini habis tak tersisa. Olubor, hewan ajaib yang menjadi pengingat akan runtuhnya dinasti tersebut. Pengingat akan nasib bagi mereka yang menentang keluarga Fydor, keluarga kerajaan Airez.

Seulas senyuman tipis terukir di bibir merah sang gadis bangsawan. Senyuman yang langsung membeku saat ia mendengar pengumuman kusir akan destinasinya yang akan segera tiba. Kelopak matanya perlahan terbuka, sebelum perlahan ia kembali menghadap pelayan muda di sampingnya. Tujuannya sudah dekat.

"Katakan, apa yang akan kau lakukan jika kau bertemu dengan orang yang kau," pertanyaan Cordelia yang ditangkap oleh telinga sang pelayan, terjeda sejenak, "tidak suka?"

Sang pelayan memiringkan kepala. Itu pertanyaan yang tidak terduga. Namun, ia bersyukur. Setidaknya pertanyaan itu menghilangkan keheningan yang terasa berat akibat percakapan mereka sebelumnya. "Bertemu orang yang hamba tidak sukai? Hamba akan menghindarinya sebisa mungkin, Nona." Ia mengusap-usap dagunya. Bukankah itu jawaban yang sudah pasti? "Kenapa Nona tiba-tiba bertanya hal ini?"

Bibir Cordelia kembali melengkung, tersenyum. Namun, tidak dengan matanya. Matanya sekilas menajam. Menajam menatap langit kereta.

"Entahlah. Hanya penasaran?"

Daerah Istana Airezo bagian barat dipenuhi kehidupan prajurit dan kesatria berpangkat tinggi hingga sangat tinggi yang keluar masuk tanpa henti. Loyalis di bawah titah Istana. Terbaik di kelasnya. Dan sangat beruntung. Tidak semua diizinkan berlatih langsung di kawasan militer istana dibandingkan di Kastel Tebing--kumpulan kastel militer--yang berada di luar area tempat tinggalnya keluarga terpenting di seluruh penjuru Airez, tepatnya di sisi kiri dan kanan Gerbang Luar Istana yang berdiri tepat di tengah sepasang tebing.

Namun, terlepas dari posisi kawasan militer istana yang tidak sepuitis Kastel Tebing, kawasan ini memiliki reputasi yang jauh lebih terkenal. Pun kontroversial. Kawasan militer istana memiliki dinding-dinding batu menjulang tinggi, hitam dan mencekam, yang dikelilingi menara jaga yang terletak di setiap sudut. Tak heran kawasan ini disebut Daerah Hitam Istana Airezo, atau Paviliun Lutorezo. Cordelia sendiri tidak begitu setuju akan sebutan itu. Paviliun adalah kata yang terlalu ... cantik untuk hal yang terjadi di dalam sini.

Terlalu cantik untuk suara bising dentingan besi dan irama ratusan langkah kaki yang beraturan di telinga Cordelia saat ia menampakkan kaki di lapangan utama. Seruan perintah dan teriakan yang begitu bersemangat. Keributan yang perlahan tergantikan dengan seruan namanya.

"Hei, hei! Bukankah itu Nona Maranth?"

"Nona Maranth datang?"

"Nona Maranth? Nona Maranth!"

Para prajurit maupun kesatria yang melihat kemunculan Cordelia segera memberi penghormatan. "Selamat pagi, Nona Maranth!" pun "Selamat pagi, Nona Ketua!", begitulah salam yang terus Cordelia dengar sepanjang kakinya melangkah.

"Selamat pagi," atau "Selamat pagi juga, Tuan," adalah balasan yang dilontarkan Cordelia tergantung kepada siapa yang menyapanya. Lengkap dengan senyuman sopan yang melekat di wajah gadis itu. Tentu semua itu hanya formalitas belaka. Namun tetap saja, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikutinya, bukan?

Cordelia terus melangkah dan membalas sapaan hingga memasuki kawasan yang jauh lebih sepi dibandingkan lapangan utama. Kakinya mengikuti jalan berbatu hingga sampai pada gerbang biru tua. Cordelia berhenti sejenak sebelum melanjutkan langkahnya kembali, memasuki gerbang tanpa pintu tersebut. Memasuki kawasan yang hanya berisi sebuah gedung yang tidak dapat dimasuki sembarang orang.

"Selamat pagi, Nona Maranth!" Kedua prajurit yang berada di samping pintu gedung membungkukkan badannya saat melihat Cordelia melangkah mendekati gedung. "Mohon katakan tujuan Nona."

Cordelia menyunggingkan senyumannya. Lagi. "Selamat pagi. Aku kemari untuk menemui Komandan Maranth. Apa beliau ada di kantornya?" tanya Cordelia.

Kedua prajurit terdiam sejenak, terbuai akan suara nona di depannya. Benar yang dikatakan prajurit yang lain, Cordelia memiliki suara yang indah. Mereka berdua mensyukuri nasib mereka yang mendapatkan tugas menjaga pintu gedung utama pagi ini sehingga dapat bertemu dengan salah satu bangsawan muda yang sangat terkenal ... sebelum kesadaran akhirnya menampar mereka akan status Cordelia. Gadis itu adalah seorang Bangsawan Tinggi, lebih-lebih putri dari pimpinan mereka. Kedua prajurit itu dipastikan akan mati di tempat jika tidak sengaja mengucapkan hal yang salah atau menyinggung Cordelia.

"Maafkan kami, tetapi Komandan Maranth sedang tidak ada di kantor, Nona," jawab si prajurit di sebelah kiri seraya menundukkan kepala.

Cordelia mengembuskan napas begitu mendengar jawaban atas pertanyaannya. "Begitu?"

Pandangan Cordelia teralih pada bangunan di depannya. Gedung bercat biru tua itu berdiri dengan kokoh. Ukurannya cukup besar, dengan dua lantai di dalamnya. Iris gadis itu terus bergerak naik hingga berhenti pada jendela besar. Jendela itu tertutup korden dan terlihat gelap.

Mereka tidak bohong.

Cordelia kembali menatap kedua prajurit di depannya. "Sayang sekali. Sepertinya aku salah memilih waktu," ucapnya. Suaranya terdengar kecewa, tetapi tidak dengan matanya. Tidak ada kekecewaan yang terlihat pada pandangan gadis itu. Namun, kedua prajurit penjaga pintu itu sepertinya tidak menyadarinya karena kepala mereka tertunduk hormat dengan raut wajah yang terlihat kecewa setelah mendengar ucapan Cordelia.

"Apa ada pesan yang bisa kami sampaikan pada Tuan Komandan, Nona?" tanya prajurit di sebelah kanan.

Cordelia terdiam, terlihat menimang tawaran prajurit di hadapannya sebelum berkata, "Tolong katakan pada beliau bahwa aku akan pergi ke Porta hari ini. Itu pesanku." Cordelia mengangguk kecil. "Selamat bertugas kembali." Ia membalikkan badannya dan melangkah menjauhi gedung sebelum sebuah suara menghentikannya, tepat saat kakinya baru saja melewati gerbang.

"Corde ... lia?"

Langkah Cordelia seketika terhenti. Napasnya seakan tercekat, pun pikirannya terencat. Hingga perlahan ingatan Cordelia menampilkan sesosok wajah tidak asing yang telah lama tidak ia lihat. Wajah sang pemilik suara hangat yang baru saja memanggil namanya.

"Ternyata itu benar kau, ya, Lia."

Cordelia masih berdiri mematung meskipun ia mendengar dengan sangat jelas langkah kaki yang kian mendekat dari arah kiri. Mematung begitu mendengar panggilan yang lama tidak ia dengar. Mematung dikarenakan orang itu berani sekali mengucapkan nama panggilannya di tempat seterbuka ini.

Namun, itu tidak berlangsung lama. Iris Cordelia perlahan melirik ke arah kanan. Tidak ada orang yang akan melewati daerah ini. Dua prajurit di dalam gerbang juga berada cukup jauh dari tempatnya berdiri dan hanya dapat melihat punggungnya dari pos jaga mereka. Cordelia bisa saja memilih untuk menghindar, tetapi ia mengurungkan niatnya. Itu hanya akan memperlambat agendanya, dan dia tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Sang gadis menarik napas panjang sebelum sudut bibirnya perlahan terangkat, membentuk senyuman sopan yang lebih menawan dari biasanya. Cordelia menghadap ke arah sumber suara dan dengan sigap melakukan gerakan yang sudah teringat di luar kepala; kaki kiri berada di belakang kaki kanan, menekuk kedua lutut perlahan, dan menundukkan sedikit kepala sembari kedua tangan mengangkat sisi gaunnya. Pandangan sang bangsawan lurus ke bawah. Namun, tanpa dilihat pun, Cordelia sepertinya tidak akan pernah bisa melupakan suara pemuda itu.

"Hamba menghadap Bulan Sabit Kerajaan. Selamat pagi, Yang Mulia Pangeran Mahkota Marco de Fydor."

Marco menghentikan langkahnya. Sebelah alisnya terangkat, diikuti tawa kecil yang terdengar begitu bahagia keluar dari mulutnya. Tawa renyah yang tidak pernah berubah, terlebih di hadapan gadis berambut merah itu. "Lama tidak bertemu denganmu, Nona Cordelia la Maranth," sapa Marco saat tawanya berhenti. Iris ungu sang pangeran berpendar menatap wajah gadis yang sedikit lebih pendek di hadapannya.

"Kau semakin cantik."

Suasana taman dalam Istana Airezo terlihat sepi seperti biasanya. Tidak ada pelayan atau penjaga yang berlalu-lalang pun melintasi taman bernuansa ungu ini. Tidak ada, kecuali dua insan yang sedang melangkah dengan pelan. Kicauan elodus, kumpulan burung-burung melodi, menghiasi pendengaran Cordelia dan Marco. Burung-burung dengan berbagai bentuk dan jenis suara itu menyanyikan lagu yang diyakini sebagai lagu cinta yang merdu--belum ada yang bisa menerjemahkan bahasa yang digunakan elodus. Juga, emento, bunga-bunga instrumen, tak mau kalah, ikut mengiringi langkah dua bangsawan dengan memainkan irama musik yang menyerupai piano dan harpa, menambah keromantisan nyanyian para elodus.

Cordelia menatap kagum juga heran ke arah sekelilingnya. Para elodus seakan bekerja sama dengan emento untuk menciptakan suasana romantis bagi mereka berdua. Memang, burung melodi dan bunga instrumen adalah satu kesatuan, tetapi kenapa mereka sepakat memainkan lagu seperti ini? Di tengah pikiran Cordelia yang cukup kalut, ia menatap ke samping kirinya. Lirikan yang sedikit tersembunyi, terima kasih pada pemilihan topi besar Cordelia--aksesoris yang wajib dikenakan gadis bangsawan Airez. Matanya menajam saat melihat wajah pangeran berpakaian serba ungu itu. Kenapa Marco tidak memerintahkan mereka untuk diam?

Pemuda yang setahun lebih muda dari Cordelia itu terlihat tersenyum tipis sepanjang perjalanan. Matanya terpejam meskipun kakinya terus melangkah. Rambut peraknya bergerak mengikuti irama angin. Marco menikmati semua ini. Sangat menikmati. Angin yang tidak begitu keras maupun pelan, melodi indah yang memanjakan telinga, hingga tatapan tidak-begitu-tersembunyi Cordelia yang seakan-akan ingin membunuh pemuda itu. Meskipun tidak membuka matanya, Marco yakin, seratus yakin, Cordelia sedang mengutuk dirinya lewat tatapan gadis itu. Bahkan, jika saja mereka tidak berada di ruang seterbuka ini, Cordelia mungkin tanpa sengaja bisa menancapkan kuku tangan tajam nan indahnya pada lengan Marco yang sedang ia gandeng.

Suara dehaman kecil tiba-tiba tertangkap oleh telinga Marco. Ah, suara yang begitu indah. Melodi yang begitu memabukkan.

"Tuanku, kita sudah mau mendekati ujung taman."

Langkah Marco seketika terhenti. Ujung? Kelopak matanya sontak terbuka. Ia mengerjapkan mata sebelum fokus pandangannya kembali. Ternyata benar. Mereka sudah hampir sampai ke ujung taman. Astaga, berapa lama dirinya menutup mata? Bibir Marco melengkung ke bawah. Tidak, ini terlalu cepat, sangat cepat. Sepertinya ia perlu memanjangkan taman indah ini. Benar, ia harus merenovasinya. Taman ini terlalu kecil.

Cordelia memperhatikan tingkah pangeran tunggal kerajaan Airez di sampingnya. Lirikannya kini dibuat dengan kentara. Pandangannya memerhatikan ekspresi yang ... ekspresif. Setelah sedikit terlihat kesal dari bibir yang sedikit melengkung ke bawah, Marco akhirnya tersenyum, lagi, senyuman yang Cordelia amat kenal. Sang pangeran sedang tersenyum ... malu? Malu dan senang. Senyuman yang dalam kamus Cordelia berarti senyuman idiot.

Tawa hangat--yang Marco harap tidak terdengar canggung--keluar dari mulut sang pangeran. Matanya terlihat berbinar saat menoleh ke arah Cordelia. Menatap tepat ke bola mata biru sang gadis. "Waktu terasa lebih cepat saat bersamamu, Lia." Waktu yang dengan senang hati Marco bekukan, jika saja ia dapat melakukannya. "Terlalu cepat."

Cordelia terdiam. Membeku, mungkin. Napasnya seakan terhenti saat ditatap ... seindah itu. Tidak. Cordelia tidak menyukai tatapan itu. Ia akhirnya dapat menarik napas. Jemarinya yang sepertinya mati rasa akhirnya terbebas saat dirinya menarik sopan tangan kirinya dari siku Marco, tidak lupa dengan menyunggingkan senyum yang anggun. Etiket yang merepotkan. Andai ia bisa melepaskan tangannya daritadi. "Tuanku mengatakan ingin berbicara pada hamba tadi. Katakan, jangan bilang Tuan Muda membawa hamba sejauh ini hanya untuk mengatakan itu?"

Marco meluruskan kembali siku lengan kanannya, sudah tidak ada lagi alasan untuk menggandeng Cordelia. Ah, etiket sialan yang sangat mengesalkan. Sepertinya Marco perlu merombak buku tebal itu dan menitahkan beberapa alasan lagi agar perempuan dan laki-laki yang terhormat dapat bergandengan tangan sedikit lebih lama.

"Tentu tidak." Marco akhirnya bersua saat sudah memutuskan beberapa alasan yang dapat ditambahkan. Ia menggelengkan kepala, gerakan yang dilakukan tanpa sedikitpun memutus kontak mata mereka berdua. "Aku ingin bicara denganmu. Sudah lama sejak terakhir kali kita berbincang berdua, Lia," jawab Marco. Suaranya mengecil di akhir kalimat.

Cordelia mengalihkan pandangannya, pura-pura menatap bunga instrumen yang masih memainkan irama romantis. Bunga yang tiba-tiba terlihat sangat menarik di matanya. Bunga berwarna putih yang sebersih kulit sang pangeran mahkota ... tunggu. Cordelia mengalihkan perhatiannya pada bunga yang berwarna ungu sekarang, warna yang seindah bola mata ....

"Sudah lama." Cordelia mengeluarkan kipas merah yang berada dalam saku gaunnya. Tangannya bergerak dengan perlahan, mengibas dengan gerakan yang anggun. Gerakan yang membuat setengah wajah Cordelia tertutup, menyebabkan Marco tidak dapat melihat gerakan bibir merah sang gadis yang perlahan melunturkan senyumannya. Kepala Cordelia kembali menghadap Marco, tetapi pandangannya tertuju pada kipas, sikap yang diperbolehkan dalam etiket. "Apa yang ingin Tuanku bicarakan?" tanyanya dengan suara semanis madu, sangat indah saat digabungkan dengan alunan nada yang dimainkan para bunga.

Marco menatap wajah gadis di hadapannya. Iris biru Cordelia menghindari kontak matanya. Pandangan sang pangeran terlihat sayu sebelum akhirnya memutuskan untuk berkata, "Tolong ... jangan bersikap seperti ini padaku. Jangan bersikap formal padaku. Tidak bisakah kau bersikap seperti dulu?"

Hening.

Cordelia belum menjawab pertanyaan Marco. Suasana kedua insan itu berubah tegang. Bahkan burung dan bunga yang sedari tadi bersuara mendadak diam. Sang pangeran masih menatap lekat Cordelia, menunggu jawaban sang gadis. Sedangkan yang ditanya masih kukuh menghindari tatapan Marco. Menatap kain merah kipas dengan pandangan yang tidak menunjukkan emosi.

Apa Marco terlalu terburu-buru? Sedikit rasa penyesalan menyeruak di hati sang pangeran. Harusnya ia tidak mengatakan hal itu. Harusnya ia bersyukur akan kesempatan damai yang ia dapatkan ini. Haruskah ia menarik perkataannya. Tidak. Haruskah ia memohon, mungkin? Memohon maaf, ampun, atau permintaan? Perintah untuk menjawab? Tidak. Mana mungkin Marco memaksa sang gadis? Lebih baik Marco menunggu bertahun-tahun lagi dibandingkan memperlakukan Cordelia seperti subjeknya.

Keheningan masih setia melanda pasangan muda tersebut. Keheningan yang terasa begitu berat nan lama dari kenyataan yang sebenarnya. Keheningan layaknya malam terkutuk. Hingga akhirnya terpecah saat sorot mata Marco bersinar lagi ketika melihat--sekilas dari pelannya gerakan kipas--bibir Cordelia yang bergerak, sebelum kembali redup, lebih redup, saat akhirnya suara manis itu terdengar di telinga sang pangeran.

"Maafkan hamba, tetapi hamba harus undur diri. Hamba harus mencapai Sentras sebelum matahari terbenam esok, Tuanku."

Mata Marco terpejam sesaat, sebelum terbuka dengan cepat untuk kembali melihat fitur samping wajah sang gadis. Senyuman tipis perlahan terukir di wajah sang pemuda. Cordelia menghindari pertanyaannya. Lagi. Dan diri bodoh Marco mengacaukan kesempatan yang ia dapat. Lagi.

"Tentu saja. Maaf telah mengganggu perjalananmu." Adalah kata-kata yang berhasil keluar dari mulut Marco. Perkataan yang begitu sulit, jauh berbeda dari mulut lemas yang biasanya tidak akan pernah kesulitan membalas apapun. Senyum tipis Marco perlahan membesar. Ia tidak bisa terlihat sedih. Wajahnya tidak boleh terlihat menyedihkan untuk diingat Cordelia.

"Selamat pagi, Tuan Muda." Cordelia kembali memberikan penghormatan, sayang sekali untuk Marco dia tidak sedikitpun memandang wajah sang pangeran saat melakukan gerakan tersebut. Cordelia membalikkan badan, menghindari tatapan Marco yang tidak pernah lepas dari dirinya. Tidak memberikan kesempatan untuk menatap wajah masing-masing.

Iris ungu Marco menatap nanar punggung Cordelia yang perlahan menjauh. "Selamat pagi, Nona Cordelia," balas sang pangeran meskipun ia tahu Cordelia tidak akan mendengarnya. Senyuman Marco berubah tawar menatap kepergian sang gadis, sebelum ia ikut membalikkan badan, melangkah membelakangi Cordelia. Mengabaikan hatinya yang seakan diremas oleh efek racun hemon. Mengabaikan sensasi mengerikan yang melanda lengan kanannya yang sempat disentuh sang gadis. Abaikan. Sembunyikan. Hilangkan. Marco harus melakukannya lagi.

Mengabaikan hilangnya sosok Cordelia.

Namun, Marco tidak sendirian. Cordelia merasakan perasaan mengerikan yang tiba-tiba kembali muncul, menyerangnya saat dirinya lengah. Lagi.

Sang gadis mendengar balasan Marco. Mendengarnya dengan begitu jelas. Namun, ia akan menganggap bahwa dirinya tidak mendengar apapun. Ia mempercepat langkahnya agar segera menjauh dari taman terkutuk itu. Menjauh dari perasaan yang ia benci ini. Menjauh. Menghindar. Cordelia akan melakukannya lagi.

Menghindari sang Pangeran Mahkota.

"Kau masih menghindarinya?"

Langkah Cordelia berhenti. Ia melirik ke arah pilar terdekat. Beberapa helai rambut merah muncul dari balik pilar.

"Kau menguping kami? Tidak, kau memata-matai kami." Pandangan Cordelia menajam. Ketidaksukaan terdengar jelas pada suara Cordelia. Beraninya dia melihat itu semua.

Carlos melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. Ia melirik bekas punggung Marco yang sudah tidak terlihat lagi keberadaannya, ditelan oleh koridor seberang mereka berdiri. Ditelan oleh suara pintu yang tertutup. Ia kembali memfokuskan pandangan pada kembarannya yang mulai membara. "Kau masih canggung? Kalian berdua akan segera menjadi keluarga. Kau akan me--"

Kipas kesayangan Cordelia melesat cepat menuju leher Carlos. Namun seperti biasa, Carlos selalu berhasil menghindar dari serangan dadakan Cordelia. Kipas Cordelia hanya menabrak sasaran palsu, menabrak pilar di belakang Carlos.

"Tolong simpan perkataanmu untuk dirimu sendiri, Kakak." Kemarahan terdengar jelas pada suara manis Cordelia. Suara pelan yang dipenuhi bisa mematikan. Pandangan Cordelia mendingin, biru pucatnya layaknya air es di danau terdingin Glacein. Namun, Carlos dapat melihat percikan api yang begitu panas. Api yang begitu identik dengan miliknya.

Carlos melangkah mendekat, langkah pelan tanpa suara, hingga berhenti beberapa langkah dari tubuh sang adik. Ia berdiri tepat di hadapan Cordelia, menunduk melihatnya. Cordelia harus membiasakan diri. Cordelia harus mengontrol emosinya lagi. Emosi yang dapat menjadi senjata untuk menyerang balik diri Cordelia. Dan, Carlos la Maranth tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.

"Hati-hati, Adikku. Kita sedang berada di istana. Kau tidak ingin ada yang melihat ini, bukan?"

Psst! Terdapat glosarium di bab terakhir
:D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top