BAB III - API DAN ES

Suara dentingan besi saling beradu, menggema memenuhi seisi ruangan. Dua sosok berambut merah saling menyerang dan bertahan, bergerak mengikuti irama pertarungan. Sorot mata saling mengintai, satu bagai api, satu bagai es.

Senyuman di bibir Cordelia mengembang begitu berhasil melihat celah pertahanan pemuda di hadapannya. Ia membalikkan pedang tipisnya, menyerang titik buta pertahanan musuhnya, membuat ujung pedang sang gadis menyentuh leher lawannya.

"Menyerahlah." Suara semanis madu gadis berambut merah itu berbanding terbalik dengan tatapan dingin yang masih ia berikan.

Sang pemuda menjatuhkan pedang panjang yang sedari tadi menemaninya, menyebabkan bunyi dentuman yang cukup besar. Suara yang tinggi layaknya alunan lagu terdengar saat ia membuka mulut dan berkata, "Aku menyerah. Kau menang, Cordelia."

Cordelia menjauhkan pedangnya. Ia mengeluarkan sapu tangan merah dari saku celana latihannya dan dengan anggun menghapus keringat yang menempel pada wajahnya.

Iris biru pucat Cordelia melembut saat kembali menatap pemuda di depannya. "Kau seharusnya bisa menghindari seranganku tadi, Carlos. Kenapa kau tidak melakukannya?" tanya gadis itu. "Katakan, kenapa kau bermain-main lagi?"

Carlos menyarungkan pedang kesayangannya sembari menjawab, "Karena kau masih belum siap menghadapiku yang sebenarnya. Kau bisa benar-benar terluka, Adikku. Dan, itu bukan hal yang baik untuk seorang gadis bangsawan." Carlos membalas tatapan Cordelia. Mata dua saudara itu saling beradu. Biru pucat. Identik.

Tatapan lembut Cordelia luntur saat mendengar jawaban kakak kembarnya. "Angkuh seperti biasanya. Luka pada kulit bisa disembuhkan, tetapi luka pada harga diri tidak. Meskipun hanya latihan, berapa kali aku katakan padamu untuk berhenti memperlakukanku seperti anak kecil, Carlos." Terdengar sedikit amarah dalam suara manis Cordelia. "Aku sudah berusia delapan belas tahun sekarang ... jadi perlakukan aku seperti seorang Maranth sejati, Kakak!"

Dalam sekejap, pedang tipis Cordelia kembali melesat menuju leher Carlos. Namun, Carlos yang telah membaca gerakan sang adik berhasil menghalau serangan gadis itu dengan mudah. Pedang Carlos yang masih tersarung dengan cepat mengambil alih serangan. Pedang panjangnya memblokir pedang tipis Cordelia sebelum melakukan gerakan memutar, menjatuhkan pedang Cordelia. Ujung pedang Carlos lalu berhenti tepat di depan leher sang adik, menyentuh leher Cordelia.

Cordelia membeku di tempat. Meskipun pedang Carlos telah disarung, sensasi dingin tetap menerpa leher jenjang Cordelia. Ujung pedang Carlos yang menyentuh--sedikit menekan--kulit krem mulusnya membuat sang gadis menahan napas. Ia kalah. Lagi.

"Lihat? Kau belum siap," ejek Carlos, lengkap dengan seringaian yang terlihat menyebalkan di mata Cordelia. Mata sang pemuda mengilat saat berkata, "Serangan dadakan yang cepat, tetapi masih lambat jika kau berniat untuk melukaiku. Lagipula kau selalu melakukan gerakan yang sama setiap kali kau marah. Perbaiki itu sebelum musuhmu berhasil membacanya, Adikku."

Cordelia mengambil kembali napasnya yang sempat tertunda. Matanya menatap tepat pada mata sang kembaran. Hening. Mereka beradu tatap dalam keheningan. Tidak ada yang berkedip, tidak ada yang menghindar. Hingga akhirnya Cordelia memejamkan mata seraya berkata, "Aku kalah." Kelopak matanya terbuka cepat. "Singkirkan pedangmu."

"Berlatihlah lebih keras lagi, Adikku." Carlos menjauhkan pedangnya. Ia masih memandangi wajah sang adik. Mata yang begitu mirip dengan Cordelia itu memancarkan aura yang membara. "Dan kejarlah aku. Meskipun kau akan jarang menggunakan ilmu berpedangmu setelah kau menikah, kau tetap tidak boleh puas dengan kemampuan yang kau miliki sekarang. Jangan pernah membuat malu keluarga kita, Cordelia la Maranth."

Carlos menatap Cordelia dengan intens sebelum membalikkan badannya dengan cepat. Ia melangkah mendekati pintu dan membukanya dengan keras. Sinar terang mentari langsung menyambut tubuh tegap sang pemuda. Rambut merah darah Carlos terlihat bagai api saat bersentuhan langsung dengan cahaya alami langit. Pun pakaian merah gelap sang pemuda terlihat mencolok di antara dedaunan hijau yang mengelilingi tempat ia berdiri. Api. Carlos bagaikan api yang membara.

Cordelia masih terpaku pada posisinya. Pandangannya tertuju pada punggung Carlos yang semakin menjauh sebelum akhirnya menghilang di sudut jalan.

"Carlos," desah Cordelia. Tatapan gadis itu menajam. Dilihat dari sisi manapun, kembarannya bagaikan api. Cordelia tahu dan sadar betul tentang hal itu. Semua melihat Carlos sebagai percikan api baru yang akan membara hebat. Api baru dari keluarga Maranth. Carlos la Maranth, pewaris keluarga Maranth selanjutnya. Calon komandan yang akan memimpin kekuatan militer Kerajaan Airez.

Kembarannya yang akan bersinar terang seperti ayahnya.

Kekehan kecil terdengar dari mulut Cordelia. Mulutnya tersenyum tipis, tetapi tidak dengan matanya. Tangan halus gadis itu meraih kembali pedang di dekat kakinya. Jemari Cordelia--yang memakai sarung tangan--mengelus permukaan dingin bilah logam paling kuat yang diambil dari gua tambang terdalam Airez itu sebelum menyarungkan pedang kesayangannya.

"Carlos la Maranth, Cordelia la Maranth ... generasi keluarga Maranth selanjutnya. Api kembar yang akan bersinar terang di tempatnya masing-masing." Cordelia melangkah mendekati pintu keluar dan menutupnya perlahan.

"Setidaknya itu yang mereka harapkan."

Aroma manis madu menyeruak masuk memenuhi rongga penciuman. Jendela-jendela besar tertutup rapat, menghalau masuknya sinar mentari. Seorang gadis duduk dengan anggun di depan meja rias. Ia memejamkan matanya, menikmati wangi yang mengelilingi dirinya.

"Nonaku, gaya rambut apa yang Nona inginkan?"

Suara pelan yang mengusik ketenangan Cordelia membuat ia membuka pelan matanya. Gadis itu melirik pelayan paruh baya yang berada di belakangnya melalui pantulan cermin sebelum menjawab, "Aku akan mengunjungi Istana Airezo terlebih dahulu sebelum berangkat menuju Porta." Lirikan matanya lalu kembali menghadap pantulan dirinya. Pantulan rambut merahnya. "Berikan saja gaya rambut yang tidak terlalu formal, tetapi tidak terlalu santai juga. Aku percayakan pada tanganmu, Bibi." Cordelia tersenyum tipis sebelum menutup kembali matanya.

Wanita bergaun hitam itu menggangguk hormat, meskipun ia tahu nonanya tidak melihat anggukan yang ia berikan. Jemari sang pelayan mulai bergerak dengan telaten, menyiapkan alat-alat yang diperlukan untuk mempercantik tampilan sang bangsawan. Rambut merah Cordelia perlahan ditata dengan rapi. Rambut dengan panjang sesiku itu mulai memendek, hingga kini telah berada di atas bahu. Pelayan paruh baya itu mengambil beberapa perhiasan rambut yang telah ia siapkan, memilih dengan telaten sebelum memasangkannya pada rambut sang nona.

"Hamba sudah selesai, Nona."

Mendengar ucapan sang pelayan, Cordelia kembali membuka matanya. Iris Cordelia bergerak, menyusuri pantulan dirinya yang terpantul di cermin.

Rambut merah kesayangan Cordelia telah ditata dalam model sanggul yang populer belakangan ini, gaya yang cocok untuk digunakan di Airez maupun Porta. Beberapa helai rambut pendek di kanan dan kiri telinganya dibiarkan tergerai dengan bebas. Sebuah jepit rambut berukuran sedang terjepit di sisi kanan sanggul. Jepit emas dengan bentuk bunga mawar yang berhiaskan permata biru itu berpendar lembut terkena pantulan cahaya lampu gantung di atas Nona Maranth itu.

Seulas senyuman terpancar dari wajah Cordelia. "Katakan, kenapa kau selalu berhasil membuatku kagum, Bibi?" puji Cordelia dengan suara manisnya.

Sang pelayan menunduk hormat. "Terima kasih, Nona. Hamba hanya menjalankan tugas hamba."

"Sayang sekali kemampuanmu hanya dapat dinikmati olehku dan Mama," lanjut Cordelia. Ia membalikkan badannya, menghadap pelayan yang masih menunduk. Tangannya lalu menggenggam tangan lawan bicaranya, membuat wanita itu sedikit terkejut meskipun ekspresinya kaku seperti biasa. "Jika saja kau memilih menjadi seorang penata rambut, namamu mungkin sudah terdengar di setiap kerajaan yang ada di Thersaga." Cordelia tertawa kecil.

"Pujian Nona terlalu banyak. Tidak perlu terkenal di benua ini, cukup di Manor Maranth saja. Hamba sangat senang dapat melayani keluarga Maranth hingga akhir hidup hamba."

Tawa Cordelia berhenti. "Senang?" Mata sang gadis mendingin sesaat sebelum senyuman manis terukir kembali di bibirnya. "Terima kasih atas kesetiaanmu, Bibi. Keluarga Maranth sangat beruntung memilikimu di sini."

Sang pelayan yang masih menunduk ikut tersenyum, ekspresi yang jarang ia tampilkan. "Mari hamba bantu memakaikan gaun, Nona."

"Ya, tolong." Cordelia bangkit dari kursi rias dan berjalan mendekati kasur besarnya.

"Hamba telah meletakkan beberapa gaun berpergian baru yang dipesan Nyonya beberapa minggu yang lalu." Sang Pelayan lalu memisahkan beberapa set gaun yang tidak sesuai dengan pilihan aksesoris yang Cordelia kenakan ke sofa di ujung kaki kasur. Ia lalu berdiri di samping pilihan gaun-gaun yang tersisa. "Dengan segala pengetahuan rendah hati ini, hamba rasa mereka cocok dengan aksesoris rambut Nona. Gaun mana yang beruntung untuk Nona kenakan sekarang?"

Itu adalah isyarat sang nona untuk membuat keputusan. Cordelia bangkit dari kursi rias dan berjalan menuju kasur besar yang berada di sisi tengah ruangan. Jemari gadis itu menyentuh deretan set gaun berwarna-warni yang telah diletakkan di atas kasur. Katun hingga sutra dengan renda, permata, mutiara, dan sulaman memberikan tekstur yang begitu beragam saat jemari lentik Cordelia bergerak menyusuri permukaan pakaian yang sesuai dengan strata sang bangsawan.

"Mereka semua sangat indah, tetapi gaun ini berhasil menarik perhatianku." Jemari Cordelia berhenti pada sebuah gaun tiga lapis berwarna merah delima. Gaun berbahan sutra berhiaskan renda dan permata biru itu memiliki model yang elegan, tetapi tetap manis. "Katakan, bagaimana pendapatmu?"

"Pilihan yang sangat bagus, Nona. Gaun itu sangat cantik. Lengan panjang dan permata yang menghiasi gaun mewakili identitas mode Airez. Hal yang melambangkan gadis bangsawan kerajaan ini. Sedangkan lebar rok yang kecil, terlihat ringan, dan berbahan tipis adalah gaya khas Porta. Itu adalah gaun yang cocok untuk berpergian di Airez, Porta, maupun Sentras sekaligus."

"Benar." Kepala Cordelia mengangguk dengan gerakan anggun saat secara berurutan mendengar nama kerajaannya, kerajaan yang ia tuju, dan daerah tempat Maharaja memerintah. "Mama semakin pandai memadukan mode kedua kerajaan." Senyuman manis terukir di bibir merah sang bangsawan. Gambaran akan ruang kerja Nyonya Maranth yang dipenuhi dengan berbagai sketsa muncul dalam ingatan Cordelia. "Katakan, Mama pasti akan menjadi perancang busana yang sukses, bukan?"

"Sang Bulan memberkati Nyonya. Nyonya memiliki mata yang tajam soal berbusana." Sang pelayan mengangguk. "Dengan segala keyakinan hamba, mode akhir musim panas di Daerah Perbatasan dan Kapital akan bergeser setelah melihat Anda."

Cordelia tertawa kecil, meletakkan tangan kanannya di depan bibir. "Sayang sekali kita berada di penghujung musim panas, bukan? Jika mereka mengikuti gaya ini dan mendapatkan butik yang bekerja dengan cepat, mereka hanya bisa memakai tiga-empat gaun sebelum daun cokelat pertama gugur. Dan, itu tidak cukup untuk dibilang gaya yang sedang panas.

"Tetapi aku setuju dengan keterampilan Mama. Sayang sekali, statusnya membuat Mama tidak bisa bekerja di bidang ini. Bisa kau bayangkan bagaimana seluruh bangsawan akan memakai jasa Mama meskipun harus menjual seluruh aset mereka demi berada di sisi baik Mama?" Tatapan sang putri Maranth tiba-tiba menajam sesaat. "Menyedihkan, bukan?"

Cordelia menoleh ke arah pelayan di sampingnya. Mata mereka sekilas beradu sebelum Cordelia berkedip dan tatapan ramahnya kembali. "Apa ada mantel berpergian yang cocok dengan ini? Mantel yang belum pernah aku pakai sama sekali."

Penggantian topik yang cepat. Pergantian yang dengan sigap diikuti sang pelayan yang kembali menganggukkan kepalanya. "Sudah hamba siapkan, Nona. Sepuluh mantel baru telah dikirimkan dari butik Madam Wilona pagi ini. Madam juga memberikan koleksi topi terbarunya untuk Anda."

"Mengagumkan seperti biasanya, Bibi." Cordelia tersenyum. "Tetapi, Madam Wilona tidak perlu melakukannya lagi. Kuyakin Bibi sudah mewakilkan ucapan terima kasihku?"

"Tentu saja, Nonaku. Juga, telah menyampaikan bahwa Madam tidak perlu melakukan hal itu, yang mana dia menjawab," sang pelayan menarik napas kecil, "ohoho, tidak masalah! Tidak masalah! Nona Cordelia kita sudah kuanggap sebagai putriku sendiri! Anggap saja ini hadiah musiman dari seorang bibi yang suka menjahit, oho!"

Cordelia mengerjap. Sebelum tawa ringan terdengar dari balik telapak tangan yang dengan cepat berada di depan mulutnya. Sang pelayan menyampaikan jawaban Madam Wilona dengan sangat akurat. Bahkan aksen dan tawanya begitu mirip. "Bibi!"

Ekspresi yang ditunjukkan Cordelia tanpa sadar membuat sudut bibir sang pelayan begerak. "Penyampaian yang akurat adalah salah satu kemampuan yang harus hamba miliki, Nona." Sang pelayan tersenyum. Sebuah senyuman layaknya seorang ibu yang melihat putri kecilnya.

Cordelia berdeham kecil seraya membalikkan badan. "Tentu saja. Bibi adalah pelayan terbaik yang menguasai kemampuan itu." Ia menggeleng pelan. Namun, bibirnya membentuk senyuman kecil.

Cordelia lalu melirik ujung ruangan, tempat lemari-lemari besarnya berjejer. Telunjuk gadis itu bergerak di udara, menghitung deretan lemari berkayu merah. Hmm? Telunjuknya berhenti bergerak. Ada yang kurang.

"Lemari barunya belum selesai?" tanya Cordelia tanpa melihat pelayan di sebelahnya. "Harusnya tadi pagi lemari itu sudah sampai, bukan?"

Sang pelayan menjatuhkan pandangannya. "Benar, Nona. Lemari itu seharusnya sudah sampai tadi pagi," jawabnya. "Namun, hamba dengar terdapat masalah yang terjadi di tempat pengrajin."

Cordelia menyadari perubahan kecil yang terjadi sepanjang kalimat terakhir yang dilontarkan lawan bicaranya. Suara wanita itu mengecil sesaat, perbedaan yang mungkin tidak ditangkap saking cepatnya, tetapi tidak dengan telinga Cordelia. "Masalah apa?"

"Pengrajin yang biasanya ditugaskan untuk mengukir lemari itu jatuh sakit. Salah satu muridnya mengambil alih pekerjaannya dan ... membuat kesalahan dengan lemarinya. Dia salah menghitung jarak ukuran pada lambang keluarga Maranth yang ia ukir di lemari ...."

Cordelia mengembuskan napas. Ia sepertinya sudah tahu kelanjutan cerita yang ia dengar. Namun, sang bangsawan tetap bertanya, "Katakan, bukannya Mama, tetapi malah Carlos yang menginspeksi pekerjaan tukang itu dan dia dihukum karena kesalahan kecilnya?"

Sang pelayan mengangguk kecil. "Benar, Nona. Tuan Muda berkunjung ke tempat pengrajin pagi buta tadi. Ia melihat kesalahan tukang itu dan langsung menghukum pemuda malang itu dengan cambuk. Namun, hukuman itu tidak berjalan lama. Nyonya datang dan menghentikan Tuan Muda saat cambukan ke enam puluh delapan. Tuan Muda akhirnya benar-benar berhenti saat pemuda malang itu menerima tujuh puluh cambukan."

Cordelia memejamkan mata. Ibunya berhasil menghentikan kemarahan Carlos. Dan jika Nyonya Maranth sudah turun tangan, maka pemuda malang itu pasti sudah dirawat dengan baik. Namun tetap saja, Cordelia sepertinya harus menambahkan agenda padatnya dengan kunjungan ke rumah pengrajin dan melihat kondisi pemuda malang itu secara langsung.

"Sungguh kabar yang menyedihkan. Enam hari lagi aku akan berkunjung ke rumahnya setelah aku kembali dari Porta. Tolong siapkan buah-buahan terbaik dari perkebunan keluarga Rivera." Ucapan Cordelia berhenti sebelum dirinya tersenyum tawar. "Dan jangan sampai Carlos mengetahui hal ini."

"Baik, Nonaku." Sang pelayan mengangguk hormat. "Nona sungguh baik sekali padanya, padahal pemuda malang itu ... bisa dibilang menghina keluarga Maranth."

Cordelia menoleh ke arah pelayan paruh baya di sebelahnya. Iris biru pucat gadis itu menilik wajah wanita yang telah mengasuhnya sejak bayi. Pujian yang dilontarkan wanita itu entah kenapa justru membuat diri Cordelia tidak senang. Sang pelayan telah mengenal dirinya, melihat pertumbuhannya, dan mengetahui perubahannya.

Wanita itu tentu tahu bagaimana sifat Cordelia.

"Itu hanya kesalahan yang tidak disengaja. Kesalahan kecil yang bisa terjadi kapan saja. Lagipula, tidak akan ada yang mengukur besar kecil api dan pedang secara terperinci dalam lambang keluarga yang terukir di lemari yang akan diletakkan di ruanganku seumur hidupnya." Kepala sang gadis bangsawan menggeleng dengan gerakan yang anggun. "Aku tahu Kakak jenius dalam matematika, tetapi apa ia benar-benar tidak memiliki kerjaan sampai mengukur hal-hal kecil?" Cordelia memejamkan mata sejenak sebelum membukanya perlahan. Pandangannya tertuju tepat di mata sang pelayan. "Katakan, kau juga memahami hal itu, bukan?"

Belum sempat pelayan itu menjawab, Cordelia kembali berucap, "Ah, aku hampir lupa. Bicara tentang api, ambilah satu mantel baru itu untukmu, Bibi. Lalu bagikan sepuluh mantel lamaku di lemari paling ujung pada para pelayan yang pantas." Senyuman manis kembali terlihat di wajah sang bangsawan. Pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya dilupakan begitu saja. "Musim gugur akan segera tiba, bukan? Kuil Agung Bulan telah mengeluarkan ramalan bahwa tahun ini akan menjadi musim gugur terdingin yang pernah kita saksikan."

Mulut wanita paruh baya itu tertutup, mengurungkan niat menjawab pertanyaan Cordelia sebelumnya yang memang sudah tidak dianggap lagi oleh sang gadis. Lagi-lagi, ia dibuat terkejut oleh Nona-nya hari ini. Memberikan pakaian bekas bangsawan pada pelayan dibandingkan mendaur ulang untuk membuat pakaian yang baru adalah hal yang sangat jarang terjadi, seberapapun kayanya sang bangsawan. Ini tindakan yang intim. Hal yang spesial. Sebuah kehormatan yang langka, bahkan bagi seorang Cordelia la Maranth.

"Terima kasih banyak, Nona." Sang pelayan menundukkan kepalanya, memberikan penghormatan sekaligus rasa terima kasih pada nonanya. "Belas kasih Nona sungguh besar."

Cordelia mengangguk kecil. Ia kembali meraba permukaan atas gaun yang akan ia gunakan. Jemari lentiknya lalu berhenti bergerak, tepat di atas sebuah gaun berwarna merah darah. Warna yang familiar. Warnanya. Tatapan sang gadis terlihat jauh, seakan sedang menerawang pada memori lampau. Hingga tiba-tiba fokusnya kembali saat ia mengerjapkan mata.

"Sayang sekali aku tidak bisa mengenakan gaun favoritku." Cordelia menarik napas. "Aku tidak tahu aku akan bertemu dengan siapa di perjalanan nanti, jadi aku tidak bisa mengenakan gaun yang ... beberapa kali telah aku gunakan. Sepertinya setiap tahun aku akan benar-benar memesan lemari baju. Merepotkan sekali." Ia tersenyum kecil.

Namun, pelayan di sampingnya menunjukkan ekspresi yang berlawanan. "Tidak sepantasnya mengatakan hal-hal seperti itu, Nona. Nona akan segera menduduki status sosial yang lebih tinggi--"

"Bibi," Cordelia memotong ucapan wanita di sampingnya, "tolong bantu aku memakaikan gaun ini."

Sang pelayan menutup mulutnya. Suara Cordelia terdengar sangat manis saat meminta pertolongannya. Namun, Cordelia bukan tipe orang yang memotong perkataan orang lain. Sebagai seorang pelayan senior dalam keluarga Maranth juga pengasuh Cordelia sejak bayi, ia tahu betul bahwa ia telah salah berkata. Ia lupa. Cordelia tidak suka membahas posisi yang akan ia tempati kelak. Cordelia membenci hal itu.

Dan, Cordelia telah memberi sang pelayan sebuah peringatan.

"Baik, Nonaku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top