BAB II - JANJI

Kabut tipis menyebar menutupi pandangan. Temperatur udara mendingin. Sunyi. Tidak ada sepatah suara. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Ini Glacein?

Liam mengerjapkan matanya. Iris ungu tua sang pangeran memandang sekeliling. Bukit-bukit tinggi terlihat dari kejauhan, membelah awan-awan yang menutupi langit biru. Putih. Hamparan salju membentang sepanjang mata memandang. Tidak ada tumbuhan yang tumbuh, tidak ada binatang yang berlalu-lalang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Dingin.

Tempat yang dingin.

Ini Glacein. Tidak salah lagi. Di benua Thersaga hanya daerah Glacein yang terus tertutup salju sepanjang waktu. Liam mengembuskan napas panjang, membuat gumpalan asap putih keluar dari bibir pucat sang pemuda. Namun, anehnya, Liam tidak merasa terlalu kedinginan seperti seharusnya.

Sang pangeran kembali memandang ke arah sekelilingnya. Kosong. Putih. Salju.

"Endain," desis Liam.

Endain, atau lebih sering dikenal sebagai Daerah Mati. Bagian utara dari daerah Kerajaan Glacein yang tidak memiliki kehidupan. Kosong. Hampa. Endain hanya ditemani salju abadi dan udara yang melimpah, bahkan tidak ada mata air di daerah ini. Daerah yang paling ditakuti oleh semua petualang dari seluruh penjuru Thersaga. Tempat dilahirkannya badai salju. Daerah yang jauh berbeda dari tempat Liam berasal.

Benar, tempat Liam berasal. Tempat dirinya berjalan-jalan dengan Esmeralda. Liam mengerjapkan matanya. Kenapa ia bisa berada di sini? Seharusnya ia sedang bersama Esmeralda saat ini. Terlebih lagi, di mana Esmeralda?

"Apa yang terjadi?"

Liam mengernyitkan dahi. Ia menundukkan kepala sebelum menyadari adanya bayangan lain yang terlihat dari bentangan salju di bawahnya. Sedetik kemudian, ia sontak mendongakkan kepala ke atas, melihat gumpalan awan kelabu yang telah siap untuk meledak. Langit biru yang semula Liam lihat kini perlahan menggelap.

Menakjubkan.

Pandangan Liam tetap terfokus pada langit di atasnya. Kaki sang pangeran membeku ditempat, seakan-akan terhipnotis pada fenomena alam yang sedang terjadi. Fenomena yang sangat jarang ia saksikan.

Tes

Mata Liam mengerjap, terbebas dari lamunan. Ia menyentuh keningnya, merasakan sensasi dingin yang menyentak diri. Salju. Kepingan salju yang terus berjatuhan. Hujan salju, bukan, akan terjadi badai salju.

Petaka.

Liam memejamkan mata. Jika ia mengingat peta wilayah Glacein dengan benar, maka pemuda itu hanya perlu berjalan terus ke arah barat lalu ke selatan agar dapat keluar dari Endain untuk menuju Hutan Perbatasan Porta-Glacein. Rencana yang sederhana. Mata Liam kembali terbuka sebelum dirinya mengambil napas dalam. Kaki panjangnya lalu bergerak, melangkah cepat menjauhi gumpalan awan di atasnya.

Langkah Liam semakin cepat, beradu dengan kepingan-kepingan salju yang mulai berjatuhan. Semakin cepat, semakin banyak. Semakin kuat, semakin liar.

Semakin dingin.

Apa-apaan ini? Badai itu harusnya bergerak ke timur. Kenapa malah mengejarku? pikir Liam.

Liam menggelengkan kepalanya. Terperangkap dalam badai salju di Endain sama saja dengan berdansa bersama kematian. Dan, Liam tahu betul akan hal itu. Tubuh tegap sang pemuda terus melaju, melawan serangan salju yang semakin menggila. Sesekali ia menghalau serangan salju dengan tangannya, membentuk perisai sekadarnya.

"Liam."

Langkah Liam melambat. Telinganya menangkap sebuah suara. Sepertinya ada yang memanggil namanya. Ia menoleh ke arah kanan. Dari sana?

"Liam."

Liam mengerutkan dahi. Suaranya masih samar, tetapi lebih jelas dari yang tadi. Suara yang sangat familiar.

"Liam."

Tidak butuh waktu lama sebelum dengan sigap sang pangeran melesat ke arah kanan, setengah berlari menuju sumber suara.

"Liam ...."

Langkah Liam seketika melambat. Alisnya mengerut saat ia berusaha menajamkan pendengarannya kembali. Suara angin semakin kencang. Namun, entah mengapa, suara lembut yang memanggilnya kini berhasil menembus ributnya angin, berhasil menarik perhatiannya dibandingkan suara sebelumnya.

"Liam ...."

Esme? Liam membalikkan badannya. Dari sana! Ia berlari ke arah berlawanan.

Semakin ia melangkah mendekati sumber suara, semakin deras juga hujan salju yang menyerangnya, mengaburkan pandangan sang pangeran. Gawat. Angin bertiup semakin kencang, memaksa Liam untuk menjauh. Namun, Liam tidak memedulikan semua itu. Ia menambah kecepatannya, berusaha melewati badai salju di depannya. Berusaha sekuat mungkin menggapai suara yang memanggilnya.

"Liam!"

Suara Esmeralda kian melengking. Gadis itu terdengar seperti akan terjatuh dari atas tebing. Esmeralda dalam bahaya. Liam dapat merasakan itu.

Liam mempercepat langkahnya, terus berlari sekuat tenaga melewati rintangan di depannya. Angin dan salju semakin menggila, membentuk pusaran-pusaran mengerikan. Liam terperangah. Badai salju menyambut dirinya, mengurung sang pangeran dalam kedinginan. Liam menghentikan langkahnya. Ia terjebak. Napas Liam memburu. Ia harus melewati badai ini. Cintanya dalam bahaya. Bahaya yang besar.

"Liam!"

"Esme!"

Kilatan cahaya memaksa Liam memejamkan mata. Diam. Jeritan Esmeralda menghilang. Bisingnya badai lenyap begitu saja. Temperatur udara perlahan ... menghangat.

Mata Liam sontak terbuka, lebih lebar dari biasanya. Warna putih telah berganti menjadi biru. Salju digantikan dengan ... air.

"Kau bercanda," Liam melirik sekelilingnya, "kenapa sekarang aku terdampar di Perairan Ventos?"

Liam mendesah. Birunya laut, angin berembus kencang, dan teriknya sinar matahari tentu merupakan ciri Perairan Ventos. Perairan yang berbatasan langsung dengan Kerajaan Porta, tempat asal Liam.

Aroma khas laut memenuhi rongga penciuman Liam. Ia memejamkan mata, mengambil napas panjang. Aroma asin laut selalu menghiasi penciuman seluruh penjuru wilayah kerajaan ini. Aroma asin laut selalu berhasil menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat berada di Glacein, ia tidak menyangka akan merindukan bau ini.

Mata sang pangeran perlahan terbuka, bersamaan dengan napasnya yang berembus. Perlahan, Liam melirik ke arah langit. Hangat. Hangat yang menyengat. Hangat yang nikmat. Kehangatan yang tidak pernah lepas meramaikan Porta sepanjang tahun. Kehangatan yang dirasakan Liam dan Esmeralda tadi pagi.

Benar, bersama Esmeralda.

"Esme," desis Liam. "Dari wilayah Endain di Glacein hingga Perairan Ventos di Porta, mimpi macam apa ini?"

Embusan angin kembali menerpa wajah Liam, membuat rambut hitam sang pangeran menari-nari mengikuti irama. Liam mengembuskan napas. Ia tidak mengerti. Kenapa mimpi ini aneh sekali? Dari sekian banyak tempat, kenapa pikiran bawah sadarnya memilih Glacein dan Porta? Kenapa memilih tempat yang bertolak belakang? "Kenapa Esme dan--"

Jatuh. Mata Liam membulat. Ia terjatuh dari tebing tempatnya berdiri. Ia didorong dari tempatnya berdiri.

Sepasang mata memandangi jatuhnya sang pangeran dari atas. Suara percikan air terdengar, diiringi gelombang kecil yang kian membesar. Perairan biru yang begitu jernih perlahan berubah menjadi lautan merah mengerikan. Menyaksikan pemandangan yang terjadi, siluet itu perlahan tersenyum sebelum lenyap disapu angin.

Lenyap meninggalkan noda merah.

"Liam ... bangun ...."

Kelopak mata sang pangeran terbuka perlahan. Pandangannya kabur. Badannya letih dan terasa perih.

Di mana? Liam mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan penglihatannya yang kabur.

"Maaf ... maafkan aku ...."

Kepala Liam bergerak pelan menuju sumber suara. Esme?

Esmeralda membenamkan wajahnya pada kasur tempat Liam berbaring. Punggung gadis itu bergetar hebat. Isak tangis terus terdengar dari mulut Esmeralda, menyerukan nama Liam berkali-kali.

Jemari panjang Liam bergerak perlahan, berusaha mendekati tangan sang gadis, jangan menangis, dan menggapainya.

"Esme."

Punggung Esmeralda berhenti bergetar. Dalam sekejap, kepala Esmeralda terangkat. "Liam! Kau sadar?"

Liam tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. Iris ungu tua pemuda itu beradu pandang dengan iris hijau Esmeralda. Mata gadis itu sembap dan merah, menandakan bahwa ia telah menangis tanpa henti. Wajah Esmeralda terlihat kacau, dipenuhi dengan air mata dan riasan wajah yang telah luntur. Bahkan sanggul rambut Esmeralda yang biasanya selalu terlihat rapi kini sudah tidak pantas disebut sanggul lagi.

"Jangan ... menangis, Esme," bisik Liam dengan napas yang tercekat.

Esmeralda tersenyum getir. "Jangan menangis? Bagaimana bisa aku tidak menangis? Kau tahu betapa takutnya aku, hah?!" jerit Esmeralda sembari mengelap sudut matanya, menghapus air mata yang hendak keluar lagi.

Liam memerhatikan gerak gadis di hadapannya. Esmeralda menangis, itu sudah jelas. Sang kekasih menangis karena dirinya. Menangisi pria yang bahkan tidak bisa menghindari anak panah berkualitas rendahan. Pria macam apa dia? Dengan tenaga yang berhasil ia keluarkan, jemari panjang Liam bergerak menyentuh pipi Esmeralda, membuat gadis yang sedang sibuk menghapus air mata itu terkejut.

Sang Pangeran Porta menyeka lembut air mata Esmeralda yang berhasil mengalir. "Esme," ucap Liam lembut, "kubilang jangan menangis." Air matamu terlalu berharga untuk menangisi diriku.

Esmeralda menggeleng cepat. Ia menggenggam erat tangan Liam. "Aku serasa dikutuk. Aku ... saat melihatmu terkena panah tadi ... aku benar-benar tidak tahu apa yang akan kulakukan jika aku kehilanganmu. Aku takut, takut sekali."

"Maafkan aku." Pemuda yang berusia tiga tahun di atas Esmeralda itu balik menggenggam tangan sang gadis. "Maaf telah membuatmu khawatir, Esme."

Ekspresi Esmeralda melembut saat mendengar suara sang kekasih. Mulutnya hendak merespon, mengatakan bahwa betapa khawatir dibuatnya oleh sang pangeran, tetapi matanya lebih dahulu menangkap bagian perut Liam saat diri Esmeralda menundukkan pandangan, membuat wajah gadis itu kembali terlihat panik.

"Lukanya!" Tanpa sadar, Esmeralda menjerit. "Apa masih terasa sakit? Apa kau merasakan sesuatu yang aneh? Ingin muntah mungkin? Atau masih terasa pusing? Mual?" tanya Esmeralda bertubi-tubi.

"Luka ...? Ah, tidak begitu. Hanya sedikit sakit dan pusing," jawab Liam. Ia sedikit memiringkan tubuh, berusaha bangkit dari posisi tidurnya. "Sedikit ...."

"Liam!" Esmeralda dengan sigap menahan bahu Liam, menghentikan sang pangeran. "Jangan bangun dulu!"

Liam menggeleng lemah, masih berusaha untuk bangkit. Namun, tangan Esmeralda yang masih menahan bahu kekarnya--cukup kuat--membuat Liam mengurungkan niat.

"Tunggu di sini, Liam. Aku akan katakan pada tabib itu bahwa kau sudah sadar." Esmeralda mulai bangkit dari posisi duduknya sebelum tiba-tiba ia berhenti saat merasakan sentuhan dingin pada tangan kirinya. Pandangan sang gadis sontak beralih pada jemari panjang yang menghentikan gerakannya, sebelum perlahan matanya bergerak naik hingga akhirnya berhenti pada bola mata ungu yang menatapnya balik.

"Tabib? Siapa?"

Esmeralda terdiam. Ia mengalihkan pandangan, tiba-tiba memfokuskan diri pada lantai kayu. "Saat kau terkena panah tadi," ia akhirnya memutuskan untuk menjawab, "aku berusaha membawamu keluar dari hutan sambil berteriak meminta pertolongan." Napas sang gadis mulai terasa berat. Namun, ia tetap melanjutkan, "Tetapi tidak ada yang datang! Aku jadi semakin panik dan berpikir bahwa hanya kita berdua yang ada di hutan pagi itu ... hingga seorang pria tua menghampiri kita.

"Seorang tabib. Ia lalu membawamu ke rumahnya yang terletak dekat sisi luar hutan, dekat dengan garis perbatasan Porta dan Glacein. Kita berada di rumahnya sekarang," papar Esmeralda. Mata hijaunya kembali menatap sang pangeran. Mata hijau yang dipenuhi kelegaan.

Liam menatap sang gadis dengan alis mengerut bersamaan dengan lepasnya genggaman pada Esmeralda, membuat sang gadis langsung merindukan sentuhan yang hilang itu. Namun, Liam segera mengabaikan perasaannya dan memfokuskan diri pada Esmeralda dengan bertanya, "Tabib yang tinggal di dekat Hutan Perbatasan? Maksudmu tabib terkenal itu?"

"Mungkin?" Esmeralda menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku tidak ingat namanya," jawabnya dengan suara yang semakin pelan. Liam menampilkan ekspresi yang aneh padanya. Meskipun ekspresi itu menghilang secepat ia muncul, tetapi tetap saja itu hal yang aneh. Hal yang membuat Esmeralda sedikit ragu dalam menjawab pertanyaan sang kekasih. Apa ia mengambil pilihan yang salah?

Jawaban Esmeralda membuat Liam ikut terdiam. Tatapan pria itu tidak terbaca saat ia kembali bertanya, "Esme, apa kau menyebut identitas kita?"

Esmeralda mengalihkan pandangannya, lagi. Apa ia membuat pilihan yang salah? Pertanyaan ini kembali berputar di benaknya. Pertanyaan yang segera ia tepis. Harus ia tepis. Tidak, ini tidak salah. Esmeralda yakin ini pilihan yang benar.

Perlahan, Esmeralda mengangguk. "Aku panik dan tidak sengaja menyebut nama kita, tetapi jangan khawatir! Tabib itu tidak akan memberitahu siapapun tentang hal ini. Aku sudah membayar jasa sekaligus mulutnya. Bayaran yang besar."

Liam menjatuhkan pandangannya ke lantai. Hutan Perbatasan saat pagi buta memang selalu sepi. Namun, itu bukan jaminan. Terlebih, suara teriakan Esme yang merusak rencana jalan-jalan secara sunyinya. Liam tidak tahu ke mana arah bangsawan dari kerajaan yang terletak berseberangan dari kerajaannya itu mencoba membawa tubuh tak sadarkan dirinya sebelum ditemukan oleh tabib asing. Hanya sedikit sekali rakyat jelata yang tahu rupa Pangeran Porta yang sebenarnya, tentu saja. Tapi jika ada hama yang mendengar ....

Dahi sang pangeran mengernyit. Meskipun Hutan Perbatasan adalah daerah yang sangat aman, terlebih di saat seperti ini--seharusnya, liburan berdua tanpa ditemani pengawal tentu memiliki risiko. Risiko yang tinggi. Namun, kerahasiaan adalah kunci utama. Kerahasiaan akan diri mereka berdua. Kerahasiaan yang jauh melebihi risiko tersebut. Terlalu banyak hama yang menggangu, walaupun itu berasal dari orang terdekat mereka. Hanya mereka berdua yang dapat dipercayai satu sama lain. Dan setelah menghilangkan semua hama itu, ada seorang Tabib yang mengetahui keberadaan mereka. Tabib perbatasan yang loyalitasnya tidak diketahui ke mana. Apakah ke Porta, ke kerajaan tempat gubuk prakteknya berdiri? Atau Glacein, ke kerajaan di mana obat-obatan langkanya dapat ditemukan? Atau mungkin, uang?

Liam hendak membuka mulutnya lagi, tetapi Esmeralda lebih dulu bertindak. Esmeralda yang tidak menyadari pikiran yang menggangu sang pangeran itu menghela napas dan kembali berkata, "Dibanding tabib itu, siapa sebenarnya yang menyerang kita tadi? Pihak mana? Musuhku? Musuhmu? Mata-mata? Pembunuh? Apa dia tahu--"

"Esme." Liam menyentuh lembut pundak bangsawan muda yang kembali panik. Pertanyaan yang menggangu dirinya dilupakan. Liam dapat memikirkan dan mencari tahu hal itu saat ia sudah lebih sehat. Saat ini, Esmeralda lebih membutuhkannya. Trauma gadis itu pastilah bukan hal yang dapat dilupakan dengan cepat. "Tenangkan dirimu. Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu. Aku janji."

Pupil Esmeralda berhenti bergetar. Pernyataan Liam berhasil membuat dirinya merasa lebih aman. Jauh lebih aman.

"Aku akan selalu melindungimu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top