7. Meneroka

Naushad Bertram


🚫🛇🚫🛇🚫🛇🚫🛇

Aleno kini melihat sisi yang lain dari Bertram

Jika menemukan kesalahan penulisan silakan tinggalkan komentar

🚫🛇🚫🛇🚫🛇🚫🛇🚫

Aku datang ke indekos Bertram pukul tujuh malam, selepas sholat isya. Sesampainya di sana, yang membukakan pintu justru Ezra. Keetulan dia hendak pergi untuk bimbel. Ezra sempat bertanya kepadaku mencari siapa dan bertanya kenapa aku memakai sepatu basket dan celana pendek.

"Bertram mengajakku latihan di alun-alun untuk besok seleksi tim."

"Jadi?"

"Ya, Zaky memberiku kesempatan untuk ikut seleksi."

"Oke." Ezra menganggukan kepa seraya membukakan pagar untukku. "Tim futsal masih terbuka untuk kamu jika berubah pikiran." Ezra berjalan masuk kembali untuk menaiki sepeda motornya.

"Kalian sudah seleksi?"

Ezra mendatangiku dengan mengendarai motornya. Dia menggeleng. "Belum."

"Pemain cadangan di tim basket bukan masalah sih buat aku."

"Yasudah, itu keputusanmu." Aku masuk ke halaman rumah indekos ini saat Ezra menutup pagar. Motornya kini terpakir di luar. "Eh, Lek!"

Aku berbalik.

"Bertram masih tidur, kalian buat janji jam berapa?"

"Jam setengah delapan?"

"Ehm, kurasa dia gak akan bangun, tadi habis magrib dia langsung tidur."

"Ha!" Bertram lupa dengan janjinya? Aku sudah keluarkan uang untuk pesan ojek online untuk ke sini.

"Pintu kamar aku kunci," tambah Ezra lalu melaju bersama motornya.

"Hello terus, aku gimana?"

Aku masuk ke ruang tamu dan segera mencari kamar Bertram. Tadi siang saat makan siang dia bercerita kamarnya nomor satu dekt dengan ruang tamu. Tertulis di daun pintu nama Bertram dan Ezra. Kuketuk pintu itu dengan hati-hati. Beberapa kali aku menyebut nama Bertram. Aku juga mencoba membuka gangang pintu dan benar pintunya terkunci.

Aku mengeluarkan ponselku dari dalam waist bag. Nomor kontak Bertram tertera di bagian teratas catatan panggilan jadi aku tinggal memencetnya dan memulai panggilan. Terdengar suara nada dering di balik pintu kamarnya.

Serius! Tiga puluh menit yang lalu dia menelponku dan sekarang dia tidur?

"Bertram!" panggilku dengan keras. Sebenarnya aku takut kamar sebelah terganggu, tapi aku tidak mau rugi dua kali lipat harus pulang dengan ojol lagi. Tadi Bertram sempat bilang dia akan mengantarku pulang selesai latihan nanti.

"Bertramnya tidur kali?" Seseorang keluar dari kamar yang bersebrangan. "Jam segini dia pasti tidur, nanti jam-jam sembilan dia baru bangun."

Aku menggaruk kepala belakangku dengan frustasi.

Aku memandang seorang lelaki yang kira-kira berumur 20-an itu. Aku sungguh berharap dia mempunyai kunci cadangan. Hopeless.

"Ada urusan apa mencari Bertram?" Lelaki itu mendatangiku dan dia mencoba mengetuk pintu kamar Bertram juga. "Dia di dalam kan?"

Aku mengangguk. "Tadi saya sempat menelepon dan ada suara nada dering dari dalam."

"Saya punya kuncinya."

Kenapa gak dari tadi.

Beberapa menit kemudian aku akhirnya berhasil masuk ke kamar Bertram. Lelaki itu dengan santainya masih tertidur pulas, tanpa mengenakan pakaian. Aku tidak tahu apakah dia juga mengenakan celana karena separuh tubuhnya tertutupi selimut. Aku duduk dipinggir temppat tidur. Kupanggil namanya sambil menggoyangkan lengan kirinya.

Bertram menggeliat. "Alek tadi ke sini gak, Ja?" Matanya masih terpejam ketika mengatakan itu.

"Ini aku Aleno!"

"Ohw!" Mata Bertram sedikit terbuka. "Kamu udah datang. Sekarang jam berapa sih?"

"Setengah delapan."

"Yaudah tidur dulu." Bertram menepuk lengan kiriku dengan tangan kanannya. Dia sedikit merapat ke tembok, sisi kanan tempat tidur. "Sini tidur dulu." Ditepuklah bagian tempat tidur kirinya.

Dia memejamkan mata. Tidak lama dia mendengkur.

"Jadi kita latihan jam berapa sih?" desakku. "Tadi katamu setengah delapan, sekarang malah tidur."

"Alun-alun masih ramai jam segini, bodoh."

"Lah, terus?"

"Tidur sini, jangan rewel!"

Aku putar bola mataku. "Serius?"

Dia menggeram.

"Terus ini latihan jam berapa?"

"Sembilan."

Aku menghela napas sedangkan dia langsung memosisikan tidur menyingkur, menghadap tembok. Untuk apa juga aku menunggu orang tidur. Tapi aku sudah di sini, mana mungkin aku pulang. Itu sama saja aku buang-buang uang, atau istilah halusnya memberi sedikit pekerjaan bagi para ojol yang sudi mengantarku pulang.

Tidak banyak yang aku lakukan selain berkeliling menyusuri ruang kamar itu. di meja dekat tempat tidur aku melihat botol obat yang tidak asing. Kuraih botol itu dan memperhatikan tulisan di sana. Benzodiazepin. Tidak ada obat tersisa di dalam botol itu.

Apa dia aman tanpa ini? Aku menoleh ke Bertram, lelaki itu masih dalam posisinya, meringkuk dan menyingkur.

Aku berdiri dan mencoba merapikan pakian yang tercecer di dekat lemari. Melipatnya dengan rapi dan memasukkan ke dalam lemari. Aku tidak tahu sebenarnya mana milik Erza ataupun Bertram. Kurasa mereka sering bertukar pakian tanpa sengaja. Jadi aku jejalkan semua pakaian yang berhasil aku rapikan ke dalam lemari itu. aku juga memrapikan tumpukan buku di kaki meja dengat tempat tidur. Memilah dari nama yang tertera di halaman pertama buku.

Mataku menjelajah ke segala arah. Kamar yang hanya seluas setengah dari kamarku ini tidak lerlalu banyak barang jadi aku mulai kehabisan ide. Apa yang harus kulakukan selama selama satu jam kedepan. Sekarang sudah hampir jam delapan.

Aku akhirnya merebahkan punggung ke tempat tidur. Bertram sepertinya menyadari aku tidur di sebelahnya dia pun berbalik dan meletakkan tangannya di perutku. Pikiranku menjadi liar, apakah Bertram dan Erza tidur dalam posisi seperti ini. Kasur ini kurasa bukan untuk dua orang. Sangat sempat untuk bergerak leluasa.

Aku tidak tahu kapan aku mulai tidak sadarkan diri, karena sekarang Bertram membangunkanku. Dia berdiri di depan lemari dan mengeluarkan jaket. Dia sudah bepakian kostum basket. Lengkap dengan sepatu.

"Ayo!" bentaknya.

"Jam berapa sekarang?" tanyaku sambil berusaha untuk duduk. Kulihat Bertram sudah memakai jaketnya.

"Setengah sepuluh."

"Kamar mandi sebelah mana?"

Hingga akhirnya aku dan Bertram tiba di lapangan alun-alun sekitar pukul 10. Kami sama-sama melakukan pemanasan. Tidak lama setelah itu Zaky datang dan tiga temannya yang bukan murid dari SMA Bhakti Timur.

"Siapa mereka?" Bertram langsung menoleh.

"Mereka dari komunitas pemain basket universitas." Mataku melotot ketika Bertram mengatakan itu.

"Hoi, Bro!" sapa Zaky. "Sori lama."

"Kami juga baru sampai," sahut Bertram. "Nih aku bawain korban."

"Sikat!" Zaky meringis sambil melirikku. "Oke, Lek, kenalkan ini teman-temanku, dari Surabaya."

Mereka satu per satu menjabat tanganku. Laki-laki pertama betubuh tinggi dan berkulit gelap namanya Jody.

Lelaki kedua tingginya hampir sama dengan Jody tapi kali ini rambunya sedikit panjang dan dia mengenakan bandana untuk menyingkap rambutnya kebelakang. Dia bernama Derek

Selanjutnya ada lelaki berkulit putih dan bermata sipit bernama Benji. Lelaki ini tingginya sebatas telingaku.

"Three on Three?" kata Derek.

"Mungkin adu main Theree poin dulu." Sahut Zaky.

Jody mengangguk. Sepertinya dia yang lebih jago di sini.

"Lima tembakan, cukup?" Derek mengeluarkan bola dari kantong. "Yang paling banyak berhak memilih anggota tim."

"Aku bukan proplayer." Aku merasa menciut berada bersama mereka. bagaimana tidak, mungkin hanya aku yang tidak pernah bermain dalam pertandingan.

"Tidak masalah. Maka dari itu kamu harus bisa mencetak angka dan pilih anggota terbaikmu." Benji memulai lebih dulu. Kamu semua menepi menjauh.

Benji berdiri di lingkara tembakan tiga angka. Dia berhasil mencetak empat poin. Dilanjut Zaky hanya mencetak dua dan Bertram tiga. Sedangkan Derek dan Jody lima poin. Aku mendapat giliran terakhir. Saat aku memegang bola dan bersiap untuk melepar, jatungku serasa ingin copot. Bagaimana tidak, berdiri diantara orang-orang berpengalaman. Sungguh membuatklu salah tingkah. Hingga akhirnya aku berhasil mencetak lima angka. Sungguh memuaskan.

"Oke, Derek, Jody, dan Alek. Coba main ulang satu persatu. Yang gagal satu tembakan saja dinyatakan gugur." Benji memerikan bola ke Derek.

Tidak perlu usaha keras bagi Jody melakukan tembakan ke ring demi mencetak angka tiga poin. Begitu pula Derek. Mungkin hanya aku yang perlu sedikit usaha keras. Putaran pertama semua berhasil, hingga ke putaran ke empat. Tapi di putran ke lima Derek melakukan ke salahan. Bola menatap papan pantul dan tidak masuk ke dalam ring. Jody melanjutkan. Dia berhasil. Saat giliranku. Aku gagal.

"Persaingan yang sulit," timpal Zaky. "Aku berharap kamu yang menang, Lek."

"Oke aku bermain menyerang dengan Derek dan Benji." Jody meraih bola dan kami semua bersiap.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top