2. Menduga
Akalanka Aleno Ryzard
☡☡☡☡
Sekarang giliran Bertram angkat bicara
☡☡☡☡
Aku yakin punggunya sakit. Salahnya sendiri berulah di keramaian. Menjatuhkan Balok UNO di warung yang lagi ramai. Jatuh saat dimainkan, mungkin aku bisa memakluminya. sedangkan dia! Dengan tangan ringkih itu, diminta tolong buat megang, malah dijatuhkan. Parah ini anak.
"Kenapa?" tanyaku. Saat ini aku sedang main cacing. Sempat aku lirik dia membusungkan dada sambil memegang pinggang. "Punggumu sakit?"
"Gak," katanya difensif. Tiba-tiba Aleno tidak melakukannya lagi.
"Lemah," kataku berniat mengejek. Aku hanya ingin menguji bagaimana reaksinya.
Ada dua opsi dari apa yang akan dilakukan. Pertama, bersikap difensif dan kedua, diam saja. \
Aleno hanya diam saja.
Mungkin itu caranya bersikap difensif.
"Terus ini, UNO stackonya mau dibuat main atau pajangan aja, hem?" Nada bicaranya tidak enak didengar. Sudah dipastikan dia mau mengeluh karena sudah memungutnya ketika jatuh dan sekarang permainan itu hanya sebagai hiasan di meja.
"Aku haus tunggu teh hangatku datang," jawabku tanpa melihatnya. Cacingku lagi berebut makanan dengan cacing lain dari cancing yang baru saja aku bunuh.
Aleno menghela napas. "Ponselku serius besok pagi udah selesai?"
Aku mengangguk. Ternyata dia pandai mengalihkan pembicaraan. Hebat. Aku sebenarnya masih merasa aneh harus bertemu dengannya jam sepuluh malam hanya karena hendak memperbaiki ponselnya, yang entah tadi pagi dia telah melakukan apa sampai ponselnya tidak mau menyala lagi. Padahal tujuanku adalah memintanya untuk tidak membicarakan kepada siapapun tentang kejadian di kamar mandi masjid siang tadi.
Tapi, sepertinya dia masih aman. Kurasa Aleno bukan tipe cowok tukang gosip. Apalagi teman-temannya juga gak banyak. Paling, Rudy sama Eja. Aku juga tidak pernah lihat dia jalan dengan cewek. Jomblo akut kali nih bocah.
"Kenapa?" tanyaku. Aku merasa dia memerhatikanku.
"Apa?" Lagi-lagi nada tidak mengenakan telinga. Suaranya yang cempreng sungguh aneh untuk postur badan tinggi-tegapnya.
"Kenapa diam?" Cacingku hampir mencapai sembilan ratus ribu. Sekarang aku berusaha melilit empat cacing dalam lingkaran tubuh.
"Gak tahu mau ngomong apa." Dia mulai gabut dengan bermain-main asbak rokok. Kasihan dia gak punya ponsel buat pengalihan kegabutan
Cacingku hampir mencapai satu juta saat mas penjaga warung mengantarkan dua gelas teh hangat. Kita lihat saja pemirsa bagaimana reaksi Aleno karena tadi dia memesan es teh. Sudah menjadi hal biasa kalau mas Toriq mencatat pesanan yang salah untuk pelanggan baru.
"Loh, mas saya kan pesan es teh?" kata Aleno ketika mas penjaga toko baru saja meletakkan dua gelas itu ke atas meja.
"Ini di struknya dua gelas teh hangat meja 19," jawab mas Toriq sambil memeriksa struk.
Sebenarnya perdebatan Aleno dan Mas Toriq seru hanya saja tidak mau cacingku mati. Jadi aku hanya mendegarkan saja tanpa melihat mereka. Tinggal beberapa saat lagi cacingku mencapai satu juta.
"Tapi saya tadi pesan es teh jumbo?" Entah bagaimana caranya Aleno tidak menggunakan suara cemprengnya melainkan suara yang tegas.
"Ini struknya kalau gak percaya." Mas Toriq meletakkan di meja. "Kalau mau pesan lagi silakan ke kasir." Aku melirik ke Aleno yang ekspresinya bingung.
"Tram, kamu tadi pesan teh hangat dua?"
Aku menahan napas agar tidak tertawa. Cacingku hampir mendapatkan satu juta. Jadi aku putuskan untuk menyelesaikan baru menjawab pertanyaan Aleno.
Dia mulai tidak sabar. "Bertram!"
Aku hanya menaikkan alis. Bermaksud mengatakan "apa" tapi bibirku berkerut saking asiknya dengan cacingku. Jika salah mengaturnya bisa menabrak cacing lain dan mati sebelum mencapai satu juta.
"Sebentar tanggung," jawabku akhirnya karena dia kini menatapku dengan tatapan aneh. Aku tidak bisa mendeskripsikan tapi bisa ditebak dia benar-benar menunggu jawaban dariku sebelum dia putuskan untuk turun dan memesan kembali.
"Minum itu aja, enak buat tenggorokan malam-malam seperti ini," kataku sedikit santai karena cacingku sudah satu juta. Aku putuskan untuk menabrakkan diri ke garis tepi untuk mengakhiri permainan. "Jam segini itu minum yang hangat-hangat."
"Sudah kuduga," tandasnya. Aleno meraih teh hangat itu dan meminumnya.
"Gak pesan lagi?" bujukku. "Bilang ke mas Toriq, Quokka yang bayar." Ketika itu aku mengeluarkan sebatang rokok dari saku bajuku. Lalu mengambik korek di saku celana.
"Gak."
Tanganku meraih UNO stacko setelah menyalakan rokok dan menghisap lalu mengeluarkannya. "Jadi main?"
Dia menggeleng.
Baru beberapa saat keluar dengan dia, aku sudah cukup bisa memahami karakternya. Caranya berbicara, caranya menanggapi, memulai pembicaraan, dan gestur tubuhnya sudah bisa aku temukan karakteristiknya. Aku baru menyadari ini semua padahal sudah satu tahun kami belajar dalam satu ruang kelas yang sama. Bahkan untuk mata pelajaran lintas minat.
Aku tidak jadi menata balok itu dan menyerahkan ponselku padanya. "Pakai buat apa aja. Di sini wi-finya lancar."
Aleno menerima ponselku. Padahal aku kira dia akan menggeleng atau mengatakan sesuatu yang artinya sama dengan tidak. Ini satu hal yang tidak bisa aku pahami dari seseorang yang emosinya bisa berubah-ubah. Padahal aku kira tadi dia sedang marah tenyata memang caranya seperti itu untuk tidak mengungkapkan kekesalannya. bahkantidak mengatakan apa-apa.
"Aku mau tanya sesuatu?" Aku meringis setelah mengatakan itu. Dadaku serasa ditekan dengan dorongan hebat.
"Apa?" Aleno sempat menatapku sebelum akhirnya dia mengalihkan pandangan ke ponsel lagi.
Aku mendesisi setelah menghisap rokok dan mengeluarkan lewat hidumg. "Tentang tadi siang?" Bagaimana bisa aku menggunakan nada bertanya.
"Tenang, aku tidak akan membicarakan itu kepada siapa pun." Aku ingin dia menatapku ketika dia mengatakan itu, tapi tidak dia lakukan. Membuatku ragu.
Kumatikan rokokku yang masih separuh ke asbak. Aku tidak berniat mengatakan apa-apa lagi, dia sudah mulai sibuk dengan ponselku. Dan rokok sudak tidak bisa membuatku merasa tenang. Jadi, aku mengambil gelas teh hangat ku dan meminumnya hingga setengah gelas.
Aku merasa canggung sekarang. Aku berharap Aleno memberiku pertanyaan agar aku bisa mengatakan sesuatu. Namun, Aleno bahkan tidak mengalihkan pandangan ke arahku dan justru asik menekan sana-sini di layar ponselku. Aku penasaran apa yang dia lakukan dengan ponselku.
untuk orang yang baru mengenal seseorang. Aleno patut dicungi jempol. Dia tidak canggung bahkan merasa semua aman terknedali. Dia mampu mengendalikan emosinya bahkan keadaan yang tidak mengenakkan seperti sekarang yang aku rasakan. Aku tidak sabar menunggu kapan lelaki di depanku akan tiba saatnya dia mengkhianatiku. Mengingkari kalimatnya sendiri.
"Hey!" katanya tiba-tiba. "Apa ini?"
Mataku terbelalak melihat reaksinya seperti itu. "Apanya?"
Aleno mencondongkan tubuh ke depan. "Kamu stalker Instagramku."
Kuhelakan napas banyak-banyak. Beruntung hanya itu yang dia tanyakan bukan yang lain. "Aku mau cari tahu rumahmu aku kira ada di Instagram. Ternyata gak ada."
"Tapi bagaimana bisa tahu rumahku?"
"Dari Eja."
"Oh iya satu indekos dengan Erza kan ya?"
Ini nih satu lagi keunikan dari Aleno, tidak pernah memanggil nama seseorang dengan nama lapangan. Di SMA Bhakti Timur hanya dia yang memanggilku Bertram sedangakan yang lainnya memamggil Okka. Dari binatang makropoda kecil, Quokka.
"Itu di mana?" tanyanya.
"Yang benar saja, Erza bukannya teman kamu?"
"Aku belum pernah tanya indekosnya di mana."
"Hem," gumamku. "Besok saja aku ajak ke indekosku."
Aleno mengembalikan ponselku lalu meminum teh hangat, yang hampir dingin, sampai habis.
"Pulang?" Aku masih ingin banyak sekali memberikannya pertanyaan soal tadi siang. Nyatanya aku bingung mengatakannya. Aku masih meragu, tidak menyangka ada orang yang tahu bagaimana kondisiku.
Kuraba bekas luka di belakang daun telingaku. Panjangnya mungkin lima sentimeter. Saat aku menyentuhnya, gejolak ingatan lima tahun lalu mulai muncul. Menarikku mundur pada saat aku mendapatkannya. Secelah cahaya hingga sorang pria membuka lemari ketika aku bersembunyi di dalamnya.
"Bertram!" Aleno menyentuh lenganku.
Aku terlonjak menyadari kalau Aleno sudah duduk di sampingku. Kapan dia berpindah tadi? Bagaimana bisa aku tidak menyadari? Aku segera mengambil minum lalu meneguknya hingga habis.
"Kalau masih mau di sini yah gak apa?" kata Aleno meraih ponselku. Dia membuka Youtube. "Aku suka nonton video domino."
Aku diam. Pandanganku masih menerawang. Aku tidak benar-benar ada di warung ini. Entah pikiranku semerawut. Aleno pasti menganggapku cowok aneh. Bisa jadi ini hari terlahirku bisa mengenalnya. Besok ketika di sekolah yang terjadi adalah Aleno berusaha menghindariku.
"Hey!" Aleno menyiku lenganku. "Coba deh lihat."
Aku memandang matanya yang sama sekali tidak memberikan tatapan binggung. Tidak ada keraguan ketika tersenyun. Ini aneh. Aku berusaha masuk dalam pikirannya, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Terlalu rumit.
Dulu Budhe Riana juga melakukan hal serupa, Aleno tidak mungkin memeluk dan mengusap punggungku ketika aku benar-benar merasa bingung tidak karuan. Gelisah tidak tertahan. Dan mencoba untuk kabur namun dunia serasa melahapku utuh. Menenggelamkanku di lembah tanpa nama. Ini tidak adil.
(BERSAMBUNG)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top