1. Menerka
Naushad Bertram
###
☡❌☡WARNING ☡❌☡
KALAU MENEMUKAN KESALAHAN DALAM PENULISAN SILAKAN TINGGALKAN KOMENTAR.
###
Pemandangan apa yang telah aku lihat tadi pagi? Saat ini otakku terasa meleleh dan keluar dari telinga. Seluruh gigiku seolah berlubang hingga gusiku terasa ngilu. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Kendati aku sudah mencoba mencari gajalanya di pencarian daring sore ini nyatanya tidak memberikan hasil yang memuaskan karena bukan itu yang sebenarnya aku cari.
Pagi tadi aku berkeliling untuk mencari nama yang sudi menempatakanku di salah satu ruang kelas. Kepalaku rasanya hendak meledak karena di setiap kelas sudah dipenuhi orang-orang yang hendak melihat daftar nama. Parahnya ternyata kelasku berada di 11 MIA 7, yang artinya aku telah melewati enam kelas dengan lautan manusia ditambah satu kelas lagi.
Lupakan soal berdesak-desakkan itu. Lupakan siapa yang sudi menjadi teman sebangkuku. Ada yang lebih penting. Pertama setelah aku menemukan namaku pada daftar aku pergi ke kamar mandi. Aku sengaja memilih kamar mandi di masjid sekolah yang jauh dari lautan manusia. Meskipun demikian, dari sinilah aku merasakan otakku meleleh dan bukannya hendak meledak. Ketika aku membuka pintu kamar mandi dari deretan bilik aku mendengar suara lirihan. Aku bejalan mendekat hanya ada satu dari empat bilik yang pintuya tertutup. Aku ketuk pintunya dengan hati-hati seolah pintu plastik itu mudah rapuh. Pintunya terbuka sedikit.
"Kamu tidak apa?" kataku dengan cemas sebelu melihat siapa orang di balik pintu.
Aku berani bersumpah saat itu aku seperti terlibat dalam film horor. Sejenak aku lupa kalau sedang menahan kencing. Pikiranku diuji sosok apa yang akan aku lihat. Seseorang yang matanya terbalik dengan kulit hijau dan baju penuh lumpur dan darah. Atau seseorang yang mukanya hancur tidak teridentifikasi mana mata dan mana lubang hidung, atau yang lebih para orang tanpa kepala. Tapi bukan semua itu, yang kulihat adalah seseorang jiwa yang hancur tercabik-cabik.
Aku tahu siapa dia, teman satu kelas ketika masih kelas 10. Setahun berlalu tapi tidak satu kali pun aku melihatya dengan kondisi seperti itu. Tatapannya kosong, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar dan air mata mengumpul di pangkal hidung dan bukannya mengalir di pipi.
"Bertram!" teriakku ketika pintu tebuka lebar. Aku pegang taganya yang meremas botol minum kemasan. Lalu berjongkok di depanya. Dia duduk di atas kloset duduk yang ditutup penutupnya. Tangannya dingin.
"Katakan sesuatu?" desakku. Wajahnya tidak mengekspresikan apa-apa selain tubuhnya yang menggigil seperti kedinginan.
"Katakan aku harus melakukan apa?" Aku semakin tidak karuan ketika dia mulai menatap cemas. "Mau aku panggilkan Airish?"
Airish adalah, yang aku tahu pacarya. Kabar itu sudah menyebar kemana-mana sebab Airish merupakan salah satu anggota OSIS. Sudah tidak asing lagi kalau anak anggota OSIS pasti menyandang gelar siswa populer atau paling tidak semua warga sekolah tahu siapa dia. Sekertaris dua OSIS. Aku tidak tahu sejak kapan Airish dan Bertram berpacaran sebab aku mulai tahu berita itu ketika jam kosong usai ujian kenaikan kelas, Airish dan Bertram duduk di bangku belakang.
"Kalian sedang apa?" tanyaku mendatang bangku Bertram.
"Ini sedang belajar masang kutek kuku." Tangan Bertram memegang kuas kutek berwarna merah bata. Sedangkan jari-jari Airish yang lentik menghadap ke Bertram. Sebagian kuku Airish sudah terwanai.
"Ha?" Aku menggeleng bermaksud menyangkal. Apakah ini yang dikatakan orang-orang tetang definisi sesungguhnya dari bucin.
"Okka bilang ingin masang kutek di kukuku, dia baru lihat tik tok boyfriend-able," sahut Airish.
"Terserah kalian mau ngapain, ini dari Pak Narto kamu remidi matematika." Aku megulurkan kertas soal ujian minggu lalu. "Pulang sekolah dikumpulin ke Rere."
"Siapa saja yang remidi?" bertram meletakkan kuasnya di botol kute lalu meerima kertas itu. membacanya singkat lalu kembali menatapku.
"Kamu, Rudy, Gaia, sama... ehm...." Aku melupakan satu nama. "Keernan," tambahku.
"Kamu bisa bantu aku?" Aku kira dia bicara denganku tapi ternyata tidak. Dia mengajak bicara Airish. Jadi waktu itu aku putuskan untuk meninggalkan mereka.
Bertram menggeleng. Bukan Airish yang dia butuhkan. "Jangan." Suaranya terdegar purau.
"Di mana tas sekolah kamu?" Aku mencari tas sekolah di dalam bilik itu tapi yang ada hanya tempat sampah. "Aku antar pulang?"
Kepanikaku semakin memuncak karena nafasnya semakin menggebuh dan dia memejamkan mata. Berusaha melapas genggaman tangaku, lalu menelungkup wajahnya. Sebelumnya dia melepaskan genggaman pada botol yang sudah kuraih sebelum akhirya menggelinding di pangkuannya.
"Tolong!" teriakku. Berharap ada seseorang atau orang lain yang datang, aku mencoba berdiri berniat untuk keluar. "Tolong, seseorang tolong."
Tangan Bertram menarik lenganku, hingga aku kembali berjongkok didepannya. Segera ia menutup mulutku. "Jangan," katanya purau. Kali ini ekspresinya terlihat panik. "Jangan, sampai ada yang tahu aku," tambahya.
"Katakan aku harus apa? Barangkali ada orang lain yang bisa membantumu." Aku sediri bingung bagaimana cara mengatasi orang dengan serangan panik. Dan kenapa hal itu terjadi padanya. Semua pertanyaan mendesak pikiranku dan tidak ada yang terjawab.
Bertram memelukku. Tangganya menpuk punggunggu. "Terima kasih," katanya, kalau aku tidak salah dengar.
"Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku ketika aku berhasil melepaskan diri dari pelukannya.
Napasnya masih menggebuh dan tatapannya menerawang. Kendatipun demikian dia tetap menelengkan kepala, dan itu justru tidak mengartikan apa-apa. Untung saja aku sempat memikirkan bahwa hal seperti ini tidak mungkin baru terjadi.
Jadi aku pun memutuskan untuk bertanya, "Apa kamu membawa obat atau sesuatu yang bisa membuatmu tenang?"
"Sudah," bisiknya lemah. Kali ini tubuhnya tidak terlihat kedinginan sehebat tadi.
Tidak segaja aku meihat botol obat di samping sepatu Bertram aku segera memungutnya dan sempat membaca sekilas tempelan di botol obat itu. Benzodiazepin.
Sampai di kamar, hebatnya aku masih ingat susunan hurufnya. Obat itu ternyata benar dugaan awalku dia mengalami gangguan panik. Satu pertanyaan kenapa hal itu bisa merenggutnya?
Seseorang menepuk pundakku, ibuku. "Kok ngelamun. Itu loh di depan ada teman kamu."
"Siapa Bu?" tanyaku. Aku meraih ponselku. Tenyata layarnya padam.
"Namanya Bertram." Ibuku sudak berjalan ke pintu kamar ketika menjawabnya. "Kamu jadi kapan ke servis HP?"
Pertanyaan Ibu justru tidak sempat terjawab aku sudah berlari mendahului untuk segera ke depan rumah. Saat menuruni tangga Bertram sudah berdiri di ruang tamu.
BERSAMBUNG
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top