Prolog

Gunung Shasta yang berada di bagian utara California pernah memuntahkan lahar panasnya belasan tahun silam.

Hal itu mengakibatkan puluhan nyawa manusia tewas, akibat tak adanya peringatan dini dari instansi pemerintahan terkait.

Ketika para jasad ditemukan, kondisinya sudah mengenaskan. Kulit dan daging meleleh hingga ke tulang. Menyisakan seonggok tulang belulang gosong yang bahkan tak bisa diindentifikasi siapa pemiliknya.

Hal itu menjadi sejarah kelam, bencana alam yang harus manusia tanggung, sekaligus misteri yang sampai kini tak bisa siapa pun pecahkan.

Orang-orang percaya bahwa alam sedang murka akibat tabiat manusia yang acap kali merusak, sehingga membuat gunung itu erupsi secara mendadak.

Beberapa mitos yang beredar berkata bahwa sesosok iblis telah lahir di dunia seiring keluargnya lahar itu dari perut bumi. Bahkan ada yang mengaitkan peristiwa itu dengan alien, bahwa mahluk luar angkasa sengaja memicu ledakan gunung berapi untuk membumihanguskan umat manusia.

Tak ada yang tahu pasti teori mana yang benar. Namun, kumpulan manusia yang bermukim di kaki gunung tahu apa yang nyata, bahwa tragedi letusan gunung Shasta itu pun melahirkan teror. Kutukan. Rasa takut yang menyebar dari puncak sampai ke kaki gunung.

Para penduduk menyadari, bahwa pada setiap hari selasa malam, pukul satu dini hari, akan terdengar suara jeritan dari hutan di kaki gunung. Tangis pilu dan teriakan meminta tolong.

Lalu, arwah dari para korban letusan gunung belasan tahun silam akan turun dan menebar ketakutan. Menjerit-jerit mengetuk pintu setiap rumah. Membuat kegaduhan. Dan berakhir ketika matahari mulai menampakkan diri.

Selalu seperti itu.

Hal itu sudah menjadi sebuah kebiasaan. Pada hari selasa dan matahari terbenam, semua orang akan masuk ke rumah, mematikan lampu dan tidur lebih awal. Berharap ketika teror para hantu itu dimulai, mereka sudah tidur nyenyak untuk bisa menyadarinya.

Tak ada yang mampu menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Tak ada yang tahu pasti mengapa ruh para korban bergentayangan. Lagi, tak ada warga yang mampu menghentikan serangan hantu tersebut.

Sisi baiknya, tak pernah terjadi kematian akibat dari teror tersebut.

Hingga pada suatu saat, seorang anak menghilang.

"Ini sudah tak bisa dibiarkan!" ucap seorang pria tua dengan uban yang menghiasi kepala hampir botaknya. "Kita bisa biarkan para hantu sialan itu meneror hidup kita selama ini. Tapi sekarang seorang anak hilang, Fergus! Aku yakin para hantu itu yang menculiknya. Kita harus melakukan sesuatu!"

Suasana di ruang pertemuan itu terasa sendu dan muram. Beberapa pria dan wanita dewasa berkumpul setelah mendapat kabar mengejutkan itu. Beberapa orang masih memakai piyama, dengan rasa kantuk yang masih terlihat di guratan wajah. Namun, rasa ingin tidur itu sengaja ditepis demi mendengarkan jalannya diskusi tersebut.

Seorang pria yang duduk di ujung meja menyahut, "Aku tahu. Tapi kita harus mencoba untuk tenang. Jangan sampai kita gegabah. Aku ingin mendengar semua ceritanya dulu." Pria itu melemparkan pandangan pada seorang wanita yang tengah menangis sesenggukan di tengah meja. "Grace, coba kau jelaskan bagaimana kejadiannya saat anakmu menghilang?"

Perempuan bernama Grace ini mendengus, lalu menyeka air matanya sebelum menjawab, "Seperti biasanya, aku dan suamiku memilih tidur lebih awal semalam. Kami juga menyuruh anak kami untuk segera tidur. Dan tak ada hal yang aneh yang terjadi. Tapi, pagi tadi kami terbangun, dan ... dan ...." Tangis Grace kembali pecah.

"Dan anak kami menghilang," sambung seorang pria yang duduk di sisi Grace. Ia mengelus-elus bahu istrinya. "Billy tak ada di kamarnya saat kami akan membangunkannya. Jendela kamarnya terbuka, dan ada bercak darah di sana. Aku benci mengatakan ini, tapi aku yakin para hantu itu yang membawa paksa anak kami."

Fergus mengusap wajahnya. Tak pernah ia bayangkan bahwa dirinya harus menjadi pemimpin dari diskusi aneh ini.

Pria beruban dari seberang meja lagi-lagi bersuara, "Kita harus mengambil tindakan sekarang, Fergus. Sebelum ada korban lainnya."

"Aku tahu itu. Tapi apa? Siapa yang dapat membantu kita dalam menangani masalah ini? Apa seseorang di antara kalian bisa memberi usul?"

Keheningan terjadi di ruangan berpenghuni tak lebih dari dua puluh orang itu.

Kemudian, satu tangan teracung ke udara.

Fergus menatap pemuda yang mengangkat tangan itu. "Ben? Kau punya ide?"

Ben melangkah mendekat, seketika menjadi pusat perhatian. Dengan percaya diri ia berucap, "Aku mengetahui sebuah organisasi yang sepertinya biasa menangani hal ini. Aku cukup yakin mereka bisa membantu."

Posisi duduk Fergus menegak. Usul itu tampak tak meyakinkan. Tapi saat ini dirinya tak bisa memilih-milih bantuan.

Fergus pun berkata, "Beritahu aku, bagaimana caranya menghubungi organisasi itu?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top