Epilog

Teddy Adler Charbonnet meninggal di usia tujuh tahun.

Banyak orang yang telah mencoba meyakinkan Martha bahwa kematian anggota keluarga Cahrbonnet termuda itu bukan salahnya, tapi gadis itu tak pernah bisa menghilangkan perasaan bersalahnya.

Kejadian tragis itu terjadi ketika Martha sendiri baru berusia dua belas tahun, masa-masa ketika dirinya masih berada dalam penyangkalan akan adanya kemampaun istimewa yang diwarisi dari para leluhurnya.

Pada satu pagi, ketika Teddy dan Martha berjalan pergi menuju sekolah yang berjarak tak jauh dari rumah, dalam perjalanan itu mereka berdua melewati sebuah area hijau yang diisi pepohonan. Tak bisa disebut hutan karena tak begitu luas.

“Martha, kau tahu kan di sana ada mahluk menyeramkan yang bisa membunuh anak-anak jika kita berani ke sana?” tanya Teddy menunjuk pada area perkebunan lebat itu.

Martha mendecak. “Tidak, itu bohong. Ibu sengaja mengatakan cerita-cerita konyol itu hanya agar kita tak bermain ke sana.”

Untuk membuktikan perkataannya,  Martha berjalan memasuki area tersebut. Dirinya sudah muak akan peringatan menakutkan yang selalu diberitahu kedua orang tuanya. Tidakkah ayah dan ibunya tahu berkat keanehan keluarganya itu, teman-teman sekelas jadi menjauhinya?

“Martha, apa yang kau lakukan? Martha!”

Kepala Martha menoleh memandang adiknya di belakang. “Jangan jadi penakut! Ayo kemari! Aku akan buktikan bahwa omongan Ibu tidak benar.”

Teddy melangkah ragu. “Tapi, ibu bilang---“

“Jangan pedulikan apa kata ibu, dia menceritakan hal-hal tak masuk akal itu hanya untuk membuat kita takut.”

Dengan berat hati Teddy menyusul saudaranya. Dirinya jelas tak mau ditinggal sendirian.

“Pepohonannya sangat tinggi, aku takut. Ayo kita kembali dan pergi ke sekolah,” ajak Teddy. Pria kecil itu mencoba menngenggam tangan kakaknya, tapi Martha menepisnya.

“Jangan jadi penakut! Itulah alasannya kau tak punya teman, Teddy. Kau harus berani, lagi pula kita masih punya banyak waktu sebelum sekolah dimulai.”

“O-oke,” timpal Teddy gugup.

Kedunya berjalan semakin jauh, tak tentu arah. Martha memandang kagum pada keindahan perkebunan itu, sampai akhirnya dia menyadari  tengah menuju jalan buntu. Ada sebuah tebing tinggi di depan, sungai berbatu di sebelah kanannya terlalu luas dengan arus yang deras untuk dilewati.

“Kurasa sudah tak ada jalan lain lagi, ayo kita kembali.”

Teddy merasa lega mendengar itu, mereka berbalik dan mulai. Namun sebelum terlalu jauh berjalan, sebuah gemerisik semak di tepi sungai membuat tubuh keduanya membeku.

“Martha! A-apa itu,” rengek Teddy ketakutan, semakin merapat ke kakanya.

Martha menatap ke arah semak yang bergetar. “Mungkin cuma tupai atau musang. Ayo kita berjalan lebih cepat.”

Namun kemudian, keduanya menjerit ketika bayangan hitam di belakang semak yang disangka tupai itu mengikuti mereka. Teddy dan Martha berlari panik, tak berani berbalik untuk mengecek apa yang mengikuti mereka.

Suara geraman rendah dan dalam seketika terdengar dari segala arah. Martha cepat berlari demi keselamatan hidupnya, Teddy yang menjerit ketakutan serasa terisak keras tak begitu Martha pedulikan.

Ketika beberapa langkah lagi menuju tepi jalan, Martha tersandung batu dan terjatuh. Dirinya menoleh ke belakang dan menyadari Teddy tidak ada.

“Teddy!” jerit Martha mulai panik. Dengan cepat dirinya bangkit dan memanggil kembali nama adiknya selantang yang ia bisa.”

“Martha!”

“Teddy! Di mana kau?”

Kemudian hening. Tak terdengar apa pun lagi selain kicau burung yang hinggap di atas pohon.

Sekonyong-konyong, terdengar jeritan kembali, melengking tinggi yang bahkan membuat para burung berterbangan. Martha ketakutan setengah mati sehingga berlari menuju rumahnya kembali, meneriakan nama kedua orangtuanya bahwa, memberitahu mereka bahwa Teddy menghilang.

Itulah hari terakhir Martha melihat Teddy. Bahkan Martha tak diperbolehkan melihat jasad adiknya yang telah berhasil ditemukan beberapa jam kemudian. Martha tak tahu Teddy meninggal karena apa, atau ditemukan dengan kondisi apa. Yang Martha ingat dirinya hanya terus menangis histeris sehingga butuh ditenangkan orangtuanya.

Baru ketika kondisi mental Martha mulai stabil, Margareth dan Gerald memberitahunya apa yang terjadi: Teddy adiknya meninggal, dibunuh oleh mahluk penunggu perkebunan itu. Mbirae, nama mahluk itu. Roh gelap terkutuk yang suka memangsa anak kecil yang hilang dari pengawasan. Sang Mbirae sendiri kini telah ditangkap, dikurung dalam sebuah kotak keramat dan disegel dengan mantra Charbonnet, sebagai hukuman karena mahluk itu dengan lancang membunuh anggota termuda dari keluarga Charbonnet.

Kotak yang mengurung Mbirae pun sampai sekarang tersimpan aman di kamar Teddy, dalam rumah keluarga Charbonnet. Sang mahluk pembunuh Teddy pun sejak saat itu menjadi tawanan keluarga Martha.

Selama bertahun-tahun Martha menyiksa diri sendiri dengan perasaan  bersalah itu. Teddy mati karena kebodohannya, dan tak ada yang bisa meyakinkan Martha bahwa itu bukan salahnya. Sang Mbirae yang kini menjadi ‘penghuni’ kamar Teddy pun kerap menganggunya, membuat segalanya menjadi kian buruk.

Namun, sekarang tidak lagi.

Sebulan setelah kembalinya Martha dari misinya di California, perubahan pola pikir Martha menjadi berubah. Rasa bersalah itu tetap ada, tapi tak lagi terus menyiksanya. Gangguan yang sering diterimanya dari ‘tawanan’ itu pun sudah tak terlalu sulit lagi untuk diabaikan.

Apa yang terjadi pada Teddy, sudah tak dapat diubah lagi. Karena Martha sadar dari peristiwa itulah dirinya diajarkan untuk menerima takdirnya. Malah, kini Martha memiliki tujuan hidup sendiri yang akan dipegung teguh sampai kapan pun: mempelajari segala ilmu mistis, menjadi seorang Charbonnet sejati. Menggunakan bakat spesial yang dia punya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang.

Teddy, Billy ... Martha berjanji bahwa akan berusaha semaksimal mungkin agar tak ada seorang anak lagi yang bernasib tragis seperti keduanya.

Keputusan telah Martha buat, dirinya akan tetap bertahan menjadi anggota perkumpulan pemburu hantu. Dirinya akan bersabar menanti misi selanjutnya, yang Martha harap akan menuntunnya kembali untuk bertemu dengan Ben dan Agathos.

Dan saat itu terjadi, Martha berharap keadaan akan jauh berbeda dari pertemuan terakhir dengan mereka dulu.

Di suatu pagi, bahkan saat Gerald Charbonnet masih tertidur, Martha mendatangi ibunya yang sedang berada di dapur.

“Martha? Ada apa kau bangun sepagi ini?” tanya Margareth heran.

“Aku ingin meminta bantuanmu.”

Margareth terdiam, menunggu.

“Aku ingin ibu mengajariku lebih banyak lagi. Semua kemampuan yang dapat seorang Charbonnet miliki, aku ingin  segera menguasainya.”

Bola mata Margareth menelisik sosok putri semata wayangnya. Wanita paru baya itu sadar bahwa ada sesuatu yang berubah dari anaknya setelah Martha pulang dari California. Margareth tak mengerti apa alasan dari perubahan itu, tapi kini sebagai ibu dia hanya mampu memberikan apa yang anaknya butuhkan.

Mulut Margareth tersenyum miring. “Aku kira kau takkan pernah meminta hal itu. Kurasa ada beberapa hal yang bisa kau coba pelajari mulai hari. Kita mulai dengan ....”

TAMAT.
(Akhir Seri Pertama)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top