Chapter Four

"Jadi, kau masih belum tahu misimu nanti apa,” tanya Matteo, masih di dalam pesawat menuju California, tak lama setelah Martha menceritakan kronologi ketika surat dari pos itu datang.

Martha menggeleng. “Aku tak tahu sama sekali. Tak ada instruksi selanjutnya tentang misi apa itu, tapi pasti ada hubungannya dengan ... tahulah, hantu, iblis dan semacamnya.” Martha melihat air muka pacarnya itu tampak kebingungan. “Kenapa? Apa kau mulai merasa menyesal menemaniku dalam perjalanan ini?”

“Apa?” tanya Matteo, tampak kaget. “Tidak, tentu saja tidak. Mengapa pula aku harus menyesal?”

Gadis berambut merah itu menggigit kukunya dengan gugup. “Karena kau mulai menyadari akan menghabiskan liburan panas dengan cara menemaniku menjalani misi berbahaya yang diberikan persaudaraan rahasia?”

Matteo nyengir melihat kegugupan pacarnya. “Tidak juga. Maksudku, yeah tentu saja Brocker Brotherhood ini terdengar seperti sekte sesat yang aneh. Kau bahkan tak diberi seragam khusus atau perayaan tertentu sebagai pertanda kau telah bergabung. Aku hanya bertanya-tanya, mengapa kau bisa seyakin ini? Apa kau yakin masalah yang akan diberikan pada misi nanti akan sanggup kau selesaikan?”

“Aku juga tidak yakin, tapi tak ada salahnya untuk mencari tahu dulu. Dengan segala hal yang telah aku pelajari dari ibu, kurasa masalah apa pun itu takkan membuatku  ... takut.”

Pria berambut cokelat itu mengecup kening Martha pelan. “Kepercayaan dirimu benar-benar membuatku kagum, kau bersikap layaknya Charbonnet sejati. Aku yakin itu.”

Kini Martha hanya dapat terdiam, tak mampu menutupi kulit di pipinya yang kini merah merona.

Sisa waktu penerbangan itu tak diisi lagi dengan pembicaraan yang berarti. Matteo memutuskan untuk tidur dengan kedua tangan mereka yang saling bersentuhan. Hanya dalam hitungan menit, Matteo telah terlelap.

Martha menatap wajah kekasihnya dan merasa sangat bersyukur bahwa komitmen yang baru mereka jalani beberapa bulan terasa sangat lancar. Padahal di awal ketika Matteo mengungkapkan perasaannya, Martha sangat ragu. Dirinya takut pada komitmen serius, tak pernah berpengalaman menjalin hubungan dengan seorang pria. Segala hal yang dijalaninya kini bersama Matteo terasa selalu baru baginya. Perlakuan lembut pria ini dengan perlahan membuat keraguan Martha dalam berkomitmen menghilang.

Beberapa jam kemudian, Martha terpaksa harus membangunkan pacarnya yang masih tertidur pulas karena pesawat akan segera mendarat.

“Jadi, menurutmu di mana si wanita Jill ini menunggu kita sekarang?” tanya Matteo setelah mereka keluar dari pesawat dan berjalan menuju Terminal. Mata dari pria itu mengedarkan pandangan ke orang-orang di sekitarnya.

Tentu saja, yang pertama kali melihat Jill adalah Martha, karena Matteo bahkan tak tahu rupa orang yang mereka cari. Martha melihat Jill tengah menunggu, terduduk di salah satu kursi. Penampilan wanita itu tak banyak berubah dari yang Martha ingat, alih-alih jubah, kini ia memakai jaket serta celana kulit hitam yang tampak kelihatan gerah untuk dipakai di musim panas ini. Rambutnya yang putih keperakan kini diikat gaya kuncir kuda, dengan poni yang nyaris menyentuh mata. Keda bola mata hitam Jill  menatap dengan was-was selagi melihat Martha dan Matteo berjalan mendekat.

Martha juga lagi-lagi merasakan sengatan hawa dingin yang aneh ketika bertemu lagi dengan Jill. Sesuatu di dalam dirinya tetap menjeritkan peringatan. Bahkan ditengah keramaian pun, aura berbahaya yang dipancarkan perempuan itu tetap terasa mencolok.

“Siapa lelaki ini?” tanya Jill tanpa basa-basi setelah Martha berada tepat di hadapannya, telunjuk sang perekrut tertuju pada pacarnya.

Matteo mengulurkan tangan untuk berkenalan. “Jadi, kau Jill? Yeah, aku Matteo. Pacarnya Martha, ya, gadis berambut merah yang akan kau beri misi ini. Aku di sini antuk menemaninya. Senang bertemu denganmu!”

Alih-alih membalas jabatan tangan Matteo, Jill kini menatap Martha dengan kening berkerut. “Ketika kau akan menjalani menjalani misi, ada aturan bahwa kau tak boleh ditemani siapa pun, kecuali orang itu berguna dalam membantumu menyelesaikan misi.”

“Aku tak tahu aturan semacam itu ada,” elak Martha membela diri. Dilihatnya juga Matteo dengan tatapan mencemooh menurunkan uluran tangannya. “Kau tak memberiku instruksi dengan jelas tentang apa yang boleh dan tak boleh kulakukan selama ini.”

Seakan mengakui bahwa pembelaan Martha adalah benar, Jill hanya memutar kedua bola matanya dan berbalik badan. “Ayo kalian berdua, ikuti aku. Orang-orang yang membutuhkan pertolongan itu tak memiliki banyak waktu,” ucapnya sambil berjalan pergi.

“Apa dia selalu bersikap menjengkelkan seperti itu?” cecar Matteo menggaruk-garuk keningnya.

Martha hanya dapat mengeleng lesu dan membujuk pacarnya mengikuti arah Jill berjalan. Mereka bertiga bergerak menuju area parkir, dan Jill mengajak mereka memasuki sebuah mobil Volvo kitam mengkilap.

“Bukan mobil yang buruk, eh?” komentar Matteo melihat-lihat isi mobil dan menempati kursi belakang, sementara Martha duduk di kursi depan samping kemudi. “Para pemburu hantu zaman sekarang sudah memiiki selera yang bagus terhadap mobil rupanya.”

Martha menggigit bibir menahan tawa, dan komentar sambil lalu itu dihadiahi pelototan mengerikan oleh Jill. Mau tak mau dirinya harus mengagumi keberanian pacarnya dalam bersikap kurang ajar di hadapan orang yang bahkan agak Martha takuti.

“Kau banyak omong sekali ternyata, Nak,” cemooh Jill dengan muka masam sambil menempati kursi kemudi. “Kau punya nyali, harus kuakui itu. Kuharap kau masih bisa bersikap berani seperti itu setelah kau tahu apa misi pacarmu itu.”

“Jadi, apa yang sebenarnya harus kulakukan di misiku ini?” tanya Martha cepat sebelum pacarnya bisa berucap sepatah kata pun. Martha yakin bahwa kesabaran Jill pada satu saat akan menemui batasnya, dan dirinya tak mau melihat hal itu sampai terjadi.

Jill tak menjawab pertanyaan itu secara langsung. Dia menghidupkan mesin mobil, menjalankannya hingga keluar dari area parkir yang luas. Baru setelah mobil melesat cepat dengan lancar di jalanan kota San Fransico, Jill berkata, “Martha, aku tak bisa menjelaskan dengan cara halus kepadamu, tapi kau harus membantu orang-orang yang mengalami teror hantu korban letusan gunung berapi.”

“Apa?” Reaksi kejut itu berasal dari Matteo, sementara Martha hanya membisu, menanti penjelasan berikutnya.

Dan lagi, Martha harus mengalihkan perhatiannya dari kemampaun Jill dalam mengendarai mobil. Wanita itu ngebut bagai orang gila.

Jill memilih mengabaikan reaksi pria di kursi belakang. “Teror itu sudah berlangsung beberapa tahun terakhir semenjak sebuah gunung meletus. Banyak korban jiwa dari tragedy itu, dan anehnya, hantu para korban selalu bergentayangan di saat tertentu, mereka turun dari gunung, berteriak menggedor pintu rumah orang-orang yang bermukim di kaki gunung.”

“Para hantu itu selalu bergentayangan di saat tertentu?” tanya Martha meminta konfirmasi.

“Setiap hari selasa malam, jam satu dini hari,” jawab Jill mengiyakan.

“Selalu tepat seperti itu?”

Jill mengangguk. “Dan teror hantu itu selalu berakhir setiap matahari terbit.”

Kedua wanita yang duduk di kursi depan saling menatap, dan di antara keduanya mulai terjalin pemahaman. Martha mengenal pola itu, berkat pelajaran yang diberi ibunya. Teror hantu yang selalu berulang di waktu tertentu kebanyakan karena memang ada orang yang mengaturnya seperti itu. Ada dalang di balik semua teror itu.

“Jadi, mereka seperti mengalami serangan zombie rutin, begitu?” celetuk Matteo di kursi belakang.

Martha yakin Jill akan mengabaikan pacarnya lagi. Dengan begitu Martha merasa berkewajiban untuk menjawab, “Tidak. Kurasa ini bukan zombie, zombie adalah jasad manusia yang dihidupkan kembali dan dikendalikan oleh ilmu hitam. Sementara ini hantu, roh para manusia yang telah meninggal, biasanya bergentayangan karena ada masalah tersembunyi di balik kematian mereka. Kurasa kita sedang berhadapan dengan jiwa-jiwa yang marah karena tak bisa beristirahan dengan tenang.”

Kemudian Martha kembali menatap Jill. “Apa teror hantu ini telah menimbulkan korban?”

Senyum miring menghiasi wajah Jill. “Kau gadis yang pintar, Martha. Ya, bertahun-tahun teror ini ada, tak pernah ada korban jiwa. Tapi baru minggu kemarin dikabarkan seorang anak menghilang. Billy, nama anak itu, dilaporkan menghilang pada pagi hari setelah malamnya teror hantu itu terjadi. Teror yang mulai menimbulkan korban inilah membuat orang-orang bereaksi, mereka meminta bantuan kita untuk menyelesaikan masalah ini.”

Otak Martha mencerna segala informasi dan menyimpulkannya dalam satu kepingan fakta yang utuh. “Jadi ... misiku adalah membantu orang-orang ini menghentikan teror hantu ini?”

“Itu, dan kau juga harus menyelidiki mengapa semua hantu itu bergentayangan di tiap waktu tertentu, dan segera menemukan dalangnya jika teror tersebut dikontrol oleh seseorang.” Jill kini mengalihkan fokusnya dari jalanan dan menatap Martha dengan lekat. “Apa yang kau pikirkan sekarang? Kau sanggup menangani masalah ini?”

Sebelum Martha dapat menjawab, Matteo di kursi belakang kembali melontarkan pertanyaan, “Tunggu, aku ingin tahu. Kau bilang teror hantu ini bermula dari letusnya gunung berapi beberapa tahu lalu. Gunung mana yang dimaksud ini?”

Martha agak kaget ketika Jill berkenan menjawab pertanyaan itu. “Gunung Shasta.”

Sontak Matteo dan Martha membelalak lebar.

Jill yang melihat reaksi keduanya menyeringai senang. “Aku tahu. Bersiaplah, ada perjalanan jauh yang harus kita tempuh.”

Martha semakin mengencangkan sabuk pengaman melihat Jill semakin mempercepat laju mobil itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top