Chapter Five

Mobil Volvo hitam itu terus melaju selama berjam-jam kemudian, bahkan ketika matahari sudah nyaris terbenam di langit barat, jarak yang mereka harus tempuh masih terbilang jauh. Martha tak menduga, bahwa dirinya harus menempuh perjalanan yang teramat panjang lagi sebelum sampai di tempat misinya berada. Setelah menghabiskan waktu lama terduduk dikursi pesawat, dirinya kini harus rela menahan rasa pegal karena duduk di kursi mobil yang cukup lama.

Keperluan untuk mengisi perut, mengisi bahan bakar dan keperluan lainnya di kamar mandi menjadi penyebab mobil terhenti beberapa kali dalam waktu yang tak sebentar. Dengan begitu, mereka baru sampai di tempat tujuan ketika matahari sudah benar-benar tiada dan bulanlah yang merajai langit malam.

Itu adalah kawasan pedesaan yang hijau di dekat kaki pegunungan. Pemandangan Gunung Shasta yang megah berlatarbelakang langit gelap sudah bisa dilihat Martha dengan mata telanjang, deretan pepohonan tinggi di tepi hutan memberi kesan misterius dan sepi. Angin tengah malam membuat sekujur tubuhnya menggigil. Mobil itu terhenti di depan sebuah rumah tua berbahan kayu.

“Kau tidak ikut bersama kami?” tanya Martha menyadari bahwa Jill tak ikut keluar mobil.

Perempuan berambut keperakan itu menggeleng. “Tugasku di sini hanya untuk mengantarmu ke tempat misi, mulai dari sini, kau harus menghadapi segelanya seorang diri,” Jill melirik Matteo yang menguap lebar, “ditemani pria banyak bicara ini tentu saja. Kau tinggal datangi rumah itu. Fergus Hendricson, itulah nama pria yang akan menyambutmu.”

Kemudian, Jill pun pergi bersama mobil hitamnya itu, tanpa mengucakan perpisahan atau kata-kata penyemangat apa pun.

“Serius, berapa umurnya wanita sinting itu?” tanya Matteo setelah mobil Jill hilang dari pandangan. “Dia ngebut bagai orang gila, tak pernah beristirahat, pembawaanya selalu serius ... dan apa dia baru menyebutku pria banyak bicara tadi?”

“Ayolah, mari kita datangi rumah itu,” ajak Martha, rasa lelah luar biasa membuat dirinya malas meladeni segala pertanyaan pacarnya.

Matteo harus memencet bel rumah kayu itu belasan kali sebelum mendapat sebuah respon. Lampu di dalam rumah yang tadinya gelap kini menyala, dan suara pintu terbuka terdengar selagi seorang pria dewasa berteriak lantang, “Siapa kalian? Apa yang kalian mau dariku, mendatangi rumahku malam-malam begini?”

“Hmm, apa Anda Fergus? Fergus Hendricson?” tanya Martha memastikan, kaget dengan sikap defensif yang ditunjukan pria itu. Postur tubuhnya pendek, tapi tetap telihat tegap berwibawa. “Aku Martha, dan pria ini kekasihku. Kami dari ... organisasi pemburu hantu yang Anda panggil. Brocker Brotherhood---“

Binar keterkejutan tampak di wajah pria paru baya itu sebelum Martha menyelesaikan kata-katanya. Dengan cepat dia berjalan mendekati pagar dan membuka kuncinya. “Oh astaga, rupanya kalian. Maaf aku lupa bahwa utusan dari organisasi itu akan datang hari ini.”

“Tak perlu meminta maaf,” elak Martha sopan. “Seharusnya kami yang melakukan itu karena datang di tengah malam seperti ini.

Fergus tersenyum, dan Martha bersyukur kesan galak dari pria itu menghilang seketika. “Oh, tak apa. Aku tahu pasti kalian telah menempuh perjalanan panjang. Mari masuk, udara dingin sekali di luar sini.”

Suasana rumah yang hangat berhasil membuat Martha dan Matteo merasa nyaman. Perapian di ruang depan menyala terang. Dinding kayu rumah yang berwarna cokelat gelap dihiasi berbagai macam lukisan dan bingkai foto. Dua jendela besar menghadap keluar yang anehnya ditutupi semacam papan kayu tebal yang rapat. Jelas membuat jendela itu kehilangan fungsinya. Lampu temaran semakin membuat rasa kantuk menjadi-jadi.

“Mengapa Anda menutup jendela seperti itu?” tanya Matteo penuh rasa ingin tahu, menyerukan rasa penasaran Martha sendiri.

Fergus rupanya memahami rasa ingin tahu itu. “Oh ya, kalian tahu apa yang sedang terjadi di sini. Para penduduk ketakutan, teror hantu semakin ekstrim. Seorang anak menghilang, aku menutup jendela itu untuk pengamanan lebih.” Mata Fergus yang kecil dengan bola mata kelabu menatap Martha dengan lekat. “Untunglah kalian datang juga, kalian ke sini untuk menyelesaikan masalah ini, bukan begitu?”

Martha mengangguk gugup, mulai merasakan beban tanggungjawab yang dipikulnya kini. “Tentu saja Tuan Fergus, itulah sebabnya Anda memanggil kami ke sini.”

“Bagus, bagus. Tapi untuk saat ini kurasa kalian butuh istirahat. Akan aku jelaskan semua hal yang perlu kalian ketahui besok. Air minum ada di dapur jika kalian ingin minum, dan ada satu kamar kosong di belakang, silakan kalian tempati dengan nyaman.”

Sekamar dengan Matteo? Pemikiran itu membuat Martha gugup. Dirinya memang sudah merasa nyaman dengan hubungan pacaran ini, tapi naik setahap dengan tidur sekamar rasanya agak ... terlalu cepat terjadi.

“Kurasa sofa nyaman ini cukup nyaman untuk tempatku tidur,” ucap Matteo santai, kemudian pria itu menatap Martha. “Kau bisa menempati kamar itu seorang diri. Dan kurasa kau benar-benar membutuhkan istirahat untuk malam ini, Sayang.”

Kelegaan hati merambati dadanya. Sekali lagi dirinya merasa bersyukur bahwa Matteo tak seperti pria kebanyakan yang Martha kenal. Dan dipandu Fergus, Martha memasuki kamarnya untuk melepaskan rasa kantuk yang ada.

Malam itu, tidur Martha tak sepenuhnya nyenyak. Meski dirinya dapat terlelap hingga pagi, tapi tidurnya gelisah. Mimpi-mimpi yang acak dan terkesan menakutkan terputar di balik otaknya. Dalam bunga tidur itu, Martha mendengar seorang anak menjerit, kemudian bayangan gelap pria yang menjulang tinggi menampakkan diri, disertai gelegar tawa yang kekuatannya membuat tanang seakan berguncang. Alhasil ketika Martha terbangun, rasa lelah itu tak sepenuhnya hilang.

Keesokan paginya saat keluar kamar, Martha menemukan Fergus dan Matteo tengah berbincang-bincang. Kedua pria itu membicarakan sesuatu yang Martha duga ada kaitannya dengan teror hantu ini. Dan karena Martha tak ingin ketinggalan informasi apa pun, dirinya segera bergabung.

“Sayang, kau sudah bangun,” ucap Matteo setelah menyadari kedatangan pacarnya. “Apa kau ingin kubuatkan teh hangat atau sesuatu?”

“Kurasa teh hangat cocok untuk sekarang,” jawab Martha singkat. Dan Matteo pun segera pergi ke arah dapur, sementara sang tuan rumah masih duduk nyaman di salah satu kursi.

“Tuan Fergus, maaf jika kehadiran kami di sini agak merepotkanmu,” tutur Martha dengan sopan. “Kurasa pacarku sudah terlalu kelewatan untuk menganggap rumah ini adalah rumahnya sendiri.”

Fergus tertawa, dertan giginya yang kekuningan tampak jelas terlihat. “Tak masalah. Aku senang kalau sambutanku bisa membuat kalian nyaman.”

Kursi yang masih kosong dengan cepat Martha tempati. “Jadi, apa yang kalian berdua bicarakan tadi? Apa ada sangkut pautnya dengan masalah yang sedang terjadi?”

“Betul sekali,” timpal Fergus setelah menyeruput tehnya sendiri. “Kurasa kau sudah paham masalah apa yang sedang terjadi, Martha. Tapi tak ada salahnya untukku menjelaskan lagi, tentu kau tahu bahwa gunung Shasta yang ada di dekat kita sekarang pernah meletus dua tahun yang lalu?”

Dengan cepat Martha mengangguk, dirinya ingat dengan tragedi itu. Ramai diberitakan di surat kabar mana pun. “Banyak korban yang berjatuhan seingatku.”

“Banyak sekali,” Fergus membenarkan. “Aku sudah lama tinggal di sini, dan aku tahu persis apa yang terjadi. Gunung itu meletus dengan sangat mendadak pada suatu malam, aku yang dengan cepat menyadarinya langsung mengungsi, mengajak semua orang yang bisa kubawa. Sayangnya, tak semua orang bisa menyelamatkan diri tepat waktu. Ketika lava dan lahar dari gunung itu sudah lenyap, dan pemerintah setempat menyatakan status aman, ada puluhan jasad manusia yang harus dievakuasi agar bisa mendapat pemakaman yang layak.”

“Sampai sekarang tak ada yang bisa menjelaskan kenapa gunung Shasta ini mendadak meletus tanpa ada peringatan sebelumnya, bukan?”

Fergus mengangguk lagi, dan Martha melihat jari-jari pria itu bergetar ketika kembali berkata, “Benar sekali. Banyak teori, mitos dan tak ada yang tahu pasti mana yang benar. Namun, kami yang tinggal kembali di sini menyadari dengan cepat, ada sesuatu yang salah. Hantu-hantu para korban letusan gunung ini meneror kami, turun dari gunung dan menggedor-gedor pintu, berteriak dan menjerit-jerit. Tak butuh waktu lama bagi penduduk di sekitar sini untuk menyadari bahwa teror hantu itu hanya terjadi pada waktu tertentu.”

“Setiap selasa malam, pukul satu dini hari ...,” ujar Martha melanjutkan. “Tak seorang pun di sini memiliki dugaan kenapa seperti itu?”

Ketakutan dan kelelahan di wajah Fergus terlihat makin jelas sekarang. “Tak ada yang tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi. Aku bahkan tak percaya soal keberadaan hantu sebelum teror-teror ini dimulai. Kami beradaptasi tentu saja, karena di mana lagi kami harus tinggal? Ini tahan kelahiranku juga, aku tak ingin pergi ke mana pun. Bagaimana pun juga, kami akhirnya bisa bertahan, menyesuaikan diri dan berdamai, menerima bahwa teror hantu ini menjadi bagian dari kehidupan kami.” Fergus kembali menyesap tehnya, sebagai salah satu cara untuk menenangkan diri. Embusan napas kasar keluar dari mulutnya sebelum kembali berucap, “Dua tahun akhirnya kami terbiasa, tapi keadaan mulai memburuk saat seorang anak menghilang.”

Mendengar cerita-cerita ini entah bagaimana membuat Martha tetap tenang. Dirinya dibesarkan dari keluarga yang sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, ibunya bahkan sudah pernah menangani situasi yang lebih berat. “Aku turut menyesal mendengarnya. Berapa umur anak itu?”

“Tujuh tahun,” jawab Fergus. “Namanya Billy. Kasihan sekali orangtuanya, bahkan Grace, ibu dari anak itu tak pernah bisa berhenti menangis sampai sekarang.”

Biily, tujuh tahun, mendengarnya membuat Martha langsung teringat pada sosok adinya Teddy, yang meninggal di usia yang sama.

“Tuan Fergus, jika boleh, aku ingin bertemu dengan orangtua Billy, kau bisa mengantarkanku?”

“Tentu saja, dengan senang hati aku akan melakukannya,” sahut Fergus, dan tepat saat itu Matteo datang dengan secangkir the manis yang mengepulkan asap.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top