SEANDAINYA TANGAN BISA JADI SAYAP
Sudah dua hari Al di luar kota, sedangkan Lyana disibukkan dengan kegiatannya sebagai ketua event seni dan pameran Tunas Bangsa. Lyana dan kawan-kawan sibuk mencari sponsor sebagai pendukung acara tersebut. Meskipun yayasan sudah memberikan dana sesuai anggaran, namun Lyana dan tim tetap ingin mencari sponsor agar keuangan tetap lancar atau menjadi lebih kokoh. Dukungan bisa berupa uang, tropi atau intensif-intensif lainnya.
"Ly, gimana?" tanya Ria selaku sekretaris saat mereka mengadakan rapat di ruang serba guna kampus Tunas Bangsa.
Lyana yang duduk paling depan memimpin rapat tampak pusing memikirkan target sponsor. Dia memijat-mijat pelipisnya.
"Kenapa nggak coba mengajukan proposal ke kantor suami Lo, Ly?" usul yang lain.
"Bisa sih, tapi owner-nya lagi di luar kota," sahut Lyana.
"Ya kan owner-nya laki lo sendiri, nggak harus sekarang, Ly. Acara masih lama, kita masih punya banyak waktu untuk cari sponsor," sahut Dion sebagai salah satu tim.
Lyana mengangguk paham. "Iya sih. Oke kalau soal itu titipkan saja proposalnya ke gue. Entar kalau dia sudah pulang, gue ajukan," pinta Lyana menengadahkan tangannya meminta proposal itu pada Ria.
"Nah, satu target sudah ada. Cari seponsor yang lain. Buat jaga-jaga aja, kalau proposal kita ditolak. Syukur-syukur di ACC semua, jadi makin rame kan acara kita?" ujar Yono.
"Oke, kalau begitu hal pertama yang harus kita lakukan sekarang menyiapkan banyak proposal. Kita bagi tugas. Siapa yang bertugas riset lapangan?" Lyana menyapu pandangannya menatap satu per satu timnya. "Kita harus melakukan riset lebih dulu pada mereka, apa yang dibutuhkan mereka. Apakah promosi produk mereka, memperkuat public image, atau mendongkrak penjualan mereka," lanjut Lyana menjelaskan tujuan riset.
Semua saling memandang.
"Ya sudah, biar gue sama Ria saja, Ly," sahut Dion.
"Oke. Gimana, Ri?" tanya Lyana memastikan kesediaan Ria.
"Kasih dua temen lagi deh, masak kita cuma berdua orang? Cari informasi itu susah tahu. Kita harus banyak tanya dan berani masuk ke perusahaan," usul Ria.
"Ya sudah, siapa yang mau nemenin Dion sama Ria?" tanya Lyana memandang wajah temannya satu per satu.
"Gue aja," ucap Yono.
"Satu lagi?" Lyana kembali menyapu pandangannya dan berakhir menatap Putri.
"Ya deh, gue," sahut Putri paham dengan arti tatapan Lyana.
"Oke, kita sudah dapat tim riset lapangan. Selanjutnya target, siapa saja target potensialnya? Kemarin yayasan sudah memberikan dana sebesar yang kita butuhkan, hanya saja kan kita cari sponsor untuk memperkuat keuangan dan memeriahkan acara. Mau dari mana calon sponsor kita? Coorporate, instansi pemerintah, atau asosiasi?" tawar Lyana.
Di dalam ruangan hening sejenak, semua berpikir mencari pandangan, begitupun Lyana.
Mengirimkan proposal kepada target itu sangat penting. Pasalnya, proposal bertautan dengan biaya yang harus dikeluarkan.
"Ly, acara kita kan pameran seni dan fashion sesuai jurusan yang ada di kampus. Apa tidak sebaiknya kita cari asosiasi perdagangan atau profesi? Pameran-pameran produk yang biasa disponsori perusahaan penghasil produk itu sendiri. Kan itu juga menguntungkan mereka. Kita cari disainer misalnya, mereka bisa memakai model-model dari mahasiswa dan memamerkan di acara kita. Gimana?" usul Rianti selaku bendahara.
"Boleh juga," sahut Dion.
"Ya, gue juga setuju," timpal yang lain.
"Oke, kalau begitu tim riset lapangan langsung bekerja saja. Yang lain bantu gue cari sponsor untuk pameran seninya. Kalian punya pandangan atau kenalan pelukis nggak?" tanya Lyana menatap teman-temannya yang sedang berpikir.
"Kalau itu biar gue yang cari, Ly. Gue ada teman pelukis," sahut Didik yang kebetulan kuliah jurusan seni.
"Oke, semua sudah dapat tugas. Kita tutup rapat hari ini. Selamat sore," ucap Lyana menutup pertemuan sore itu.
"Soreeee," jawab semua serentak lantas mereka membereskan bawaannya.
Sedangkan Lyana langsung menggapai ponsel yang sedari tadi bergetar namun tak dihiraukannya lantaran sedang memimpin rapat. Ia melihat notif panggilan tak terjawab beberapa kali. Senyum tipis tersungging di bibir merahnya.
Kangen.
Tulisan di layar datarnya.
Sama, aku juga.
Balas Lyana.
"Ly, pulang nggak? Malah cengengesan," ajak Ria yang sudah menunggunya di ambang pintu.
"Ya." Lyana menyahut sembari beranjak dari tempat duduk.
Dia berjalan ke luar ruang sambil mengutak-atik ponselnya. Ria menggelengkan kepala melihat Lyana senyum-senyum tak jelas mengetik sesuatu di ponselnya.
"Awas ada tangga," peringatan Ria saat mereka ingin menuruni tangga.
Lyana mendongakkan kepala melempar senyum lebar pada Ria.
"Kayaknya lagi happy banget, kenapa?" tanya Ria penasaran.
"Nggak apa-apa, biasa urusan suami istri yang sedang dilanda rindu," jawab Lyana menaik-turunkan kedua alisnya penuh arti.
Ria paham maksud teman sekelasnya itu.
"Dasar! Mesum!" cibir Ria menonyor pelan kepala Lyana.
Tawa lepas Lyana menguasai koridor kampus. Ria hanya tersenyum dan menggelengkan kepala tak berkomentar lagi.
"Entar lo juga bakalan ngerasain," seloroh Lyana menggoda Ria.
"Gue belum sampai ke sana, Ly. Gue masih polos, nggak tahu hal begituan," sahut Ria sok lugu.
"Halaaaah! Gaya lo!" cerca Lyana menyenggol bahu Ria dengan bahunya. Ria terkekeh kecil.
Panggilan telepon masuk, Lyana pun dengan cepat melihat layar datarnya.
"Pasti suami lo," tebak Ria.
Lyana tersenyum dan menganggukkan kepala lantas dia menjawab panggilan Al. Ria dengan sabar menemani Lyana melangkah bersama ke parkiran.
"Halo, Om Jang," sapanya bahagia bercampur rindu.
"Kok nggak dibalas chat-ku?" tanya Al terdengar ramai di seberang sana.
"Maaf, tadi lagi ngobrol sama Ria. Kami masih di kampus, ini lagi jalan ke parkiran," jelas Lyana.
"Oh, sudah makan?"
"Belum."
"Kenapa belum?!" tanya Al galak.
"Tadi rapat, ini baru selesai."
Al menghembuskan napas kasar terdengar di ujung telepon Lyana. Hal itu membuat perasaan Lyana tak tenang, takut jika Al akan memarahinya.
"Habis ini makan, jangan lupa obatnya diminum," titah Al tak terbantahkan.
"Ya," sahut Lyana patuh.
"Ly, gue duluan ya?" pamit Ria saat mereka sudah sampai di parkiran.
"Oke, hati-hati, Ri," pesan Lyana melambaikan tangan.
Ria membalas lambaian tangan Lyana, lantas mereka masuk ke mobilnya masing-masing.
"Kamu lagi di mana sih?" tanya Lyana menyalakan mesin mobil.
Dia meletakkan ponselnya dan memasang headset. Mobil pun berjalan pelan keluar kampus.
"Masih di tempat produksi, banyak penjahit yang dibutuhkan di sini," jawab Al.
Selama ini, Lyana tidak terlalu ikut campur dengan bisnis yang dijalankan Al. Dia hanya memperhatikan dan cukup tahu tanpa berniat mencampuri terlalu dalam.
"Om Jang, ada titipan proposal dari event yang akan diselenggarakan di SMA Tunas Bangsa," ucap Lyana membelah padatnya jalan menjelang senja.
Jam pulang kerja membuat jalanan macet, Lyana pun harus sabar mengurai padatnya kendaraan.
"Ya, besok kalau aku sudah pulang kita bahas. Dua atau tiga hari lagi aku pulang."
"Nggak bisa sehari aja?" tawar Lyana.
Al terkekeh geli. "Itu kan maunya kamu. Kangen ya?" goda Al.
"Banget! Nggak biasa bobo sendiri, jadi ada yang kurang," jawab Lyana menambah gelak tawa Al yang ada di seberang sana.
"Sabar, risiko punya suami pengusaha," celetuk Al.
"Iya, iya. Tapi jangan mundur lagi ya? Maksimal 3 hari harus sampai rumah," paksa Lyana.
"Siap, Bu Bos! Diusahakan."
"Tuh kaaaan, ujungnya nggak enak. Kenapa harus ada 'diusahakan'. Kan kesannya nggak meyakinkan," protes Lyana cemberut.
"Ya kan butuh waktu perjalanan pulang, mamanya Cinta. Kalau pesawat delay gimana? Coba aja tanganku bisa jadi sayap, sudah pasti aku akan pulang cepat," terang Al lembut memberi penjelasan Lyana.
"Kesepian tahu tanpa kamu," Rajuk Lyana terus mendesak agar Al pulang cepat.
Lyana belum terbiasa jauh lama dari Al. Biasanya kalau Al ke luar kota, dia selalu ikut. Lyana lebih mementingkan suaminya daripada kuliah. Meskipun begitu, dia juga tidak pernah ketinggalan pelajaran, dia mahasiswa yang aktif.
"Bukannya kamu di rumah Mama?"
"Iya, tapi tetep aja kesepian. Biasanya kalau bobo ada yang elus-elus, ada yang melukin, paginya bangun ada yang ciumi wajah aku, beberapa hari ini terasa banget kehilangan itu. Om Jang, cepet pulang," rengek Lyana melajukan mobilnya lancar setelah lepas dari kacetan.
"Iya, sabar dong. Kamu mau perusahaan yang baru seumur jagung bangkrut? Aku melakukan ini juga buat kamu dan anak-anak kita, Sayang. Ini aset yang bisa kita wariskan untuk anak cucu kita. Sabar ya, mamanya Cinta. Aku selesaikan masalah di sini dulu," pinta Al halus dan penuh kesabaran.
"Ya," jawab Lyana singkat.
Beberapa detik tak ada obrolan, Lyana melajukan mobilnya masuk ke komplek perumahan orang tuanya. Saat melihat ada seseorang yang sedang kesulitan berdiri di samping mobil Brio putih, Lyana pun meminggirkan mobilnya dan berhenti di belakang mobil tersebut.
"Om Jang," panggil Lyana pelan.
"Iya, apa?" sahut Al lembut.
"Aku turun sebentar ya? Kayaknya ada orang lagi butuh bantuan deh," ucap Lyana melepas sabuk pengamannya.
Matanya memerhatikan punggung yang membungkuk seperti sedang kesulitan mengganti ban.
"Emes jangan macam-macam deh. Kalau pulang langsung ke rumah, jangan mampir-mampir, apalagi sok-sokan mau bantu orang di jalan. Kalau penjahat gimana? Di sana juga pasti sudah petang kan, Emes," larang Al.
"Tapi aku kasihan lihat dia kesusahan, jalanan jam segini sepi, Om Jang. Ini juga sudah masuk komplek kok, kalau memang dia penjahat kan aku bisa teriak dan pasti semua orang bakalan keluar. Pos satpam juga dekat kok," bujuk Lyana.
"Ck." Al berdecak kesal. "Kenapa nggak minta bantuan satpam saja sih," gerutu Al sebenarnya tak mengizinkan Lyana.
Coba saja dia sekarang ada bersama Lyana, sudah pasti Al menegasinya.
"Papanya Cinta, sesama manusia kan kita harus saling menolong," rayu Lyana.
"Ya, ya, ya. Tapi jangan matiin teleponnya. Aku juga mau denger percakapan kalian." Terpaksa Al mengizinkannya.
"Siap, papanya Cinta."
Tanpa mematikan telepon, Lyana turun dari mobil dan menghampiri pria itu.
"Mas," panggil Lyana.
Orang itu menegakkan tubuhnya lantas membalikkan badan. Lyana terkejut setengah mati, matanya membulat sempurna.
"Lyana?" lirih orang itu tak kalah terkejutnya.
Lyana mematung, bibirnya kelu, dan bingung.
"Sayang, Emes??? Siapa dia? Kenapa diam?" tanya Al mengkhawatirkan Lyana karena tak bersuara.
#########
Hayoooo, menurut kalian dia siapa???
Jangan macam-macam deh, Ly. Awas sekali bikin Al marah, jangan harap dapat ampun. Hahahaha
Gimana Om Jang dan Emes Lovers, sudah lihat Bapr Balada Al & Prilly Episode 1 'Dendam Si Preman'? Bagaimana menurut kalian?😚
Terima kasih vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top