NEGARA ROMANTIS (PARIS)
-POV LYANA-
Kehangatan sangat terasa di pagi yang indah ini. Suamiku pintar mengajakku berkunjung ke Paris di saat musim panas. Antara bulan Agustus dan September di Eropa adalah puncaknya musim liburan yang artinya jutaan wisatawan dari seluruh dunia berlibur. Ada yang ke pantai dan pedesaan Eropa bagian Selatan. Cuaca yang cerah dan hangat sempurna untuk menjelajahi hampir seluruh bagian Eropa kecuali beberapa daerah yang telah mulai lebih panas seperti Andalusia, Italia Selatan, Yunani, dan beberapa negara lainnya.
"Pagi, Emes," sapa Al keluar dari kamar mandi dengan dada telanjang hanya mengenakan boxer dan handuk tergantung di leher.
"Pagi, Om Jang," jawabku malas masih bergulat di tempat tidur.
Dia menghampiri dan mencium keningku. Segar dan dingin saat bibirnya menempel di keningku, harum sabun mandi menyeruak menusuk hidung.
"Bangun, Emes. Terus mandi. Aku akan buatkan sarapan untukmu. Ayo!" Al membantuku bangun, tapi aku masih enggan meninggalkan tempat tidur yang empuk dan nyaman ini.
"Masih ngantuk, Om Jang. Sebentar lagi ya," tawarku.
Dia menghela napas dalam, ya begitulah suamiku. Dulu dia sangat pemarah tapi sekarang dia berubah menjadi suami yang sabar, siaga, dan penyayang.
"Ya sudah kalau mau tidur terus, tapi aku mau ke luar jalan-jalan." Al beranjak berjalan ke lemari mengambil pakaiannya.
Aku tersenyum dan menggodanya, "Marah ya??? Gitu aja ngambek."
Aku terkikih kecil, turun dari tempat duduk lalu memeluknya dari belakang. Aku memejamkan mata, merasakan kenyamanan saat bersamanya. Punggung lebarnya selalu mampu menenangkan jiwaku.
"Maaf, kalau kamu harus ekstra sabar menghadapiku," ucapku bersalah karena selama ini selalu dia yang memahamiku, tapi aku tidak pernah berusaha memahami keinginannya.
Al membalikkan badan dan membalas pelukanku. Dada bidangnya hangat saat aku menempelkan pipi di dada polosnya.
"Aku selalu berusaha menjadi suami yang baik dan ingin selalu membuatmu nyaman saat bersamaku. Apa pun akan aku berikan dan lakukan untukmu bahagia," ucap Al menyentuh perasaanku.
Dia sangat jauh berbeda dengan Al di masa lampau. Aku menyukai sikap dan sifatnya yang sekarang. Memang dia belum bisa melepas kebiasaannya merokok, tapi setidaknya dia sudah meninggalkan kebiasaan buruknya dulu, yaitu minum-minuman keras.
"Om Jang, kalau kamu melakukan hal itu untukku, apakah selama ini aku sudah melakukannya untukmu? Membuatmu selalu nyaman bersamaku," tanyaku mendongakkan kepala menatap hazel-nya yang mendamaikan hatiku.
Dia tersenyum sangat manis, bibir merahnya tersungging tulus lalu berkata, "Kalau cinta berarti sudah nyaman. Tanpa kamu melakukan hal yang aneh-aneh aku sudah sangat merasa nyaman bersamamu. Justru aku yang takut kamu tidak nyaman bersamaku."
Aku tertawa renyah. "Mana bisa aku nggak nyaman sama kamu. Kamu dekap begini aja sudah membuatku lupa segalanya. Yang aku ingat cuma aku milikmu dan kamu milikku. Dunia berasa milik kita berdua."
Aku semakin mengeratkan pelukanku, Al malah tertawa lepas.
"Kalau begitu yang lain cuma numpang dong? Egois amat," selorohnya.
"Bodoh amat!" sahutku tak peduli dengan omongan orang ataupun pikiran orang tentang kami.
Al semakin tergelak dan mengacak-acak rambutku asal.
"Ya sudah, sana mandi!" Al meregangkan pelukanku.
"Sebentar, mager." Aku enggan melepas pelukanku dan masih bergelayut di tubuhnya.
Al melangkah berjalan ke kamar mandi dengan posisi aku masih memeluknya. Aku pun berjalan mundur mengikuti langkahnya.
"Ayo mamanya Cinta, mandi. Keburu siang nanti kita nggak bisa nonton bioskop terbuka," bujuknya memaksa melepas piyamaku.
Iya! Itu salah satu rencana kami hari ini. Setiap tahun mulai dari pertengahan Juli hingga pertengahan Agustus, digelar acara nonton film bersama di salah satu taman terluas di Paris, Parc de la Villette. Film yang diputar pun beragam, tak hanya film Perancis saja, film internasional pun juga diputar.
Dengan bibir cemberut aku melepas pelukanku dan mematuhi perintahnya. Al tersenyum mengawasiku melepas semua pakaian hingga polos tanpa sehelai benang pun.
"Mandiin," pintaku manja.
"Mandi sendiri ah! Udah gede, aku mau masak buat kamu sarapan," tolaknya ingin meninggalkanku sendiri di kamar mandi.
"Ya sudah, nggak usah mandi," rajukku mengancam sembari menggapai handuk yang tergantung di dinding.
"Hiiiii, jorok. Mandi ah!" Al langsung merebut handuk yang ingin aku lilitkan di tubuh dan mengembalikan ke gantungan dinding.
Aku pun tersenyum puas dalam hati memekik girang, 'Yes! Aku menang!'
Dengan kesabaran dan kasih sayang, Al membantuku menyabuni punggung, kaki, dan mengkremasiku. Hal sepele yang Al lakukan dan aku tidak ingin kehilangannya lagi. Al, selain menjadi suami siaga, ia adalah pria yang merawatku dengan sangat baik dan memanjakanku serta melindungiku segenap jiwa dan raganya.
Lantas apa yang dapat aku berikan padanya? Sampai sekarang aku belum bisa memberikan sesuatu yang sudah dia impikan dan mungkin hal itu yang dapat membuatnya bahagia. Yaitu anak. Aku masih trauma dengan hal yang dulu menimpa Cinta. Suatu penyakit yang merenggut nyawa putri kecil kami.
Setelah semua ritual di kamar mandi selesai, Al lebih dulu ke luar sedangkan aku menggosok gigi.
"Emes, kamu mau sarapan apa?" pekik Al.
"Omelette," jawabku dengan mulut masih tersumpal sikat gigi.
Usai menggosok gigi aku ke luar kamar mandi, aroma telur menyeruak membuat perutku keroncongan. Aku segera berpakaian, menyisir rambut dan memakai body lotion, lalu menghampiri Al ke dapur. Aku tersenyum bahagia melihat Al berdiri di depan kompor sedang serius menggoreng omelette. Aku berjalan mendekatinya dan memeluknya dari belakang.
"Lapeeeeeer," rengekku manja.
"Iya, ini sudah matang. Tolong ambilkan piring," titahnya.
Dengan segera aku mengambilnya dan Al pun menuangkan omelette di atas piring.
"Wow, aromanya bikin cacing di perut aku teriak minta makan," ucapku menghirup dalam aroma omelette.
Al hanya tersenyum lebar dan mencium keningku singkat.
"Sana duduk, aku bereskan ini dulu," perintahnya lalu mencuci teflon dan spatula.
Aku pun membawa omellete ke meja bar, penyekat dapur dan ruang tamu yang juga berfungsi sebagai meja makan.
"Om Jang, kamu cuma bikin satu? Terus kamu sarapan apa?" tanyaku bingung karena hanya melihat satu omelette.
"Kamu makan saja, aku mau makan roti gandum," jawabnya.
Aku paham, Al tidak terlalu suka telur. Sarapannya pun sepele, hanya roti, kadang cuma susu. Aku pun mengambil dua potong roti dan mengolesinya dengan selai coklat.
"Ini," ucapku meletakkan roti di piring.
Setelah mencuci alat masak Al mengelap tangannya dengan lap kering. Dia mengecup pelipisku singkat dan berucap, "Terima kasih mamanya Cinta."
Hatiku selalu menghangat saat ia menyebutku 'mamanya Cinta', seakan rinduku pada Cinta terbasuh.
"Sama-sama papanya Cinta," balasku.
Kami pun duduk dan sarapan sembari bercengkrama, bercanda dan tertawa. Aku bahagia bersama dia.
***
Indah bagaikan surga, begitulah julukan bagi kota Paris di musim panas. Musim panas memang saat yang paling tepat untuk mengunjungi Paris, terutama bagi orang Indonesia karena temperatur udaranya sesuai dengan orang Indonesia yang biasa tinggal di negara tropis, tidak terlalu dingin maupun tidak terlalu panas.
Pont des Arts atau Passerelle des Arts adalah jembatan khusus pejalan kaki yang menghubungkan Institute de France dan Louvre Museum melintasi sungai Seine di Paris. Terletak di antara dua landmark Paris, Pont des Arts menjadi salah satu jembatan paling terkenal di Perancis. Kami bergandengan tangan menikmati hangatnya negara romantis.
Di tempat ini sangat ramai, banyak orang dari belahan dunia berkumpul. Selain sebagai tempat jalan-jalan dan memasang gembok cinta (dalam bahasa Perancis cadenas d'amour), Pont des Arts juga populer sebagai tempat pameran seni, tempat piknik saat summer, dan studio terbuka bagi para pelukis, seniman, dan fotografer yang mengagumi sisi artistik jembatan ini dan keindahan panorama di sekitarnya.
Tergantung ribuan gembok cinta bermacam warna bertuliskan inisial bahkan nama, yang menutupi dan menghiasi kedua sisi pagar kawat jembatan Pont des Arts, Paris, dekat Louvre Museum.
"Om Jang, ke sana yuk!" ajakku menunjuk seorang pria paruh baya yang menjual gembok warna-warni.
Al pun mengindahkan ajakanku, tak pernah sedikitpun ia melepas genggaman tangannya. Kami mendekat dan membeli satu gembok berwarna ungu, warna favoritku. Aku menuliskan namaku dan nama Al di kedua sisi gembok, kami berdua mencari ruang kosong di antara ribuan gembok. Setelah dapat aku dan dia menguncikan gembok itu bersama-sama.
"Aku harap cinta kita terkunci untuk selamanya dan sampai kapan pun kita akan selalu bersama," doaku dengan penuh harapan dan keyakinan.
Al tersenyum sangat manis lantas ia menimpali doaku, "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu walaupun 1000 alasan untuk menyerah, aku akan selalu bisa menemukan satu alasan untuk bertahan bersama kamu."
Air mata haruku menggantung, pandanganku mengabur tanpa bisa aku bendung, langsung aku berhamburan memeluknya dan menangis terisak di sela-sela lehernya. Al menegakkan tubuhku.
"Aku sangat mencintaimu, Om Jang," ucapku dalam tangis bahagia.
"Aku juga sangat mencintaimu, Emes. Jadilah istri yang bisa menciptakan suasana rumah selalu menyenangkan dan jadilah wanita yang bisa membuatku selalu beralasan ingin cepat pulang," pintanya sederhana.
"Sesederhana itukah permintaanmu, Om Jang?" tanyaku meregangkan pelukan kami dan aku menatap wajahnya lekat.
"Iya, hanya itu yang aku mau darimu. Aku nggak menuntut kamu pintar memasak, pintar merawat rumah dan pintar mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Karena aku menjadikan kamu istri untuk mendampingiku, mendukungku, menemaniku sampai tua dan mati dalam pelukmu. Walaupun nanti rambut kamu berubah putih, gigi kamu ompong, kulit mulusmu keriput, mata indahmu mengabur, aku berharap kita masih saling menginginkan dan saling mencintai."
Aku terharu dengan semua kata-katanya. Bibirku bergetar menahan isak bahagia.
"Aamiin. Aku pun juga berharap begitu. I Love you, papanya Cinta," ucapku mengecup kedua pipinya.
"I love you more, mamanya Cinta," balas Al mencium bibirku dan memagutnya lembut.
Selama ini aku selalu berpikir bagaimana bisa membuat Al bahagia. Ternyata keinginannya sangat sederhana tapi itu juga berat untukku. Hal yang terlihat sepele tapi kadang sulit terwujud seiring berjalannya waktu dan padatnya kesibukanku sebagai mahasiswi.
Perlahan Al melepas bibirku, kami saling melempar senyum bahagia.
"Buang kuncinya ke sungai yuk!" ajakku.
Kami pun melempar kunci gembok itu di sungai. Ini adalah sebagai simbol cinta dan harapan kami. Semoga cinta kami abadi.
"Setelah ini mau ke mana lagi?" tanya Al merangkul bahuku.
"Mmm ...." Aku berpikir sejenak. "Louvre Museum, Institute de France, Katedral Notre Dame, dan lanjut ke pulau Ile de la Cite," pekikku girang.
"Wah, wah, wah, tapi nggak belanja ya? Cuma jalan-jalan," wanti-wantinya.
"Yaaaaah, nggak asyik," sahutku pura-pura ngambek.
Al malah tertawa lepas, lalu dia mengacak rambutku dan mendekapku.
"Dasar, bocah!" cibirnya mengajakku melangkah melanjutkan perjalanan kami.
"Biarin! Bocah begini juga kamu cinta!" balasku.
"Iyalah! Kalau nggak cinta ngapain juga aku nikahi dan hamili kamu." Al tertawa lepas dan menggemas pipiku.
Sampai-sampai aku memekik, "Om Jang!!!! Sakit!"
Aku mengejar dia yang melarikan diri setelah menggemas pipiku. Beginilah kehidupan kami sekarang, tanpa Cinta tapi kami tak pernah melupakannya. Bagi kami, dia masih hidup di hati selamanya.
#########
So sweet. Kangeeeeeeen. Duuuuh, nggak kebayang gimana kalau Emes dan Om Jang di dunia real. Bisa-bisa aku setiap hari kejang-kejang lihat keromantisan mereka. Hahahaha
Makasih untuk vote dan komentarnya. Oh iya, aku mau tanya, ada yang dari Salatiga????
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top