MANJA ITU PENTING

Meskipun sedang menemani istri, Al tidak bisa bersantai seperti Lyana. Saat ini mereka sedang berada di ruang tengah menonton acara televisi. Lyana berbaring di sofa panjang dan paha Al sebagai bantalannya.

"Kecilin volumenya," pinta Al pelan sembari mengutak-atik benda lebar, datar, dan canggih. Ipad!

Lyana mengurangi volume suara televisi, dia menoleh melihat Al yang serius menatap layar datar. Bibir Lyana tersungging senyuman manis. Dia paling suka kalau melihat Al memakai kacamata baca. Ketampanannya menjadi berlipat-lipat ganda. Terlihat dewasa, pintar, dan maskulin.

"Om Jang, kapan kita liburan? Sudah lama kita nggak berlibur," rengek Lyana manja melentangkan tubuhnya menatap Al teduh.

"Kapan kamu libur?" tanya Al melepas kacamata bacanya dan meletakkan di meja sekaligus ipad-nya.

Walaupun dia sibuk mengerjakan banyak hal di sela kebersamaan mereka, tapi jika Lyana mengajaknya mengobrol, Al menghargainya. Dia akan menunda pekerjaannya dan memilih mendengarkan setiap kata yang terlontar dari bibir istri tercinta.

"Setelah ujian, dua minggu lagi," jawab Lyana meraba wajah Al lalu memainkan kumis tipis yang mulai tumbuh belum sempat Al cukur.

"Ya sudah, nunggu kamu selesai ujian dulu baru kita liburan. Kamu pengin ke mana?" Al menyingkirkan tangan Lyana dari wajahnya dan mencium telapak tangannya lembut.

Darah Lyana berdesir hangat, tubuhnya seperti tersengat aliran listrik, merinding dan telapak kakinya terasa seperti ada yang menggelitik, geli.

"Aku pengin ke Jepang, kalau nggak ke Paris, gimana?" Lyana memainkan dada Al yang sekarang kembali kekar dan bidang, nyaman untuk bersandar.

"Jepang apa Paris??? Pilih salah satu. Jangan dua-duanya, biar bisa menikmati liburan kita. Sekalian honeymoon," imbuh Al menaik turunkan kedua alisnya menggoda Lyana.

"Iiiih... apaan sih. Honeymoon mulu! Kan sudah honeymoon waktu itu ke Thailand." Lyana tersenyum malu-malu. Pipinya merah seperti cangkang kepiting yang direbus.

"Ya kan nggak apa-apa. Emang nggak pengin bikin adik buat Cinta? Pasti Cinta juga sudah pengin punya adik." Al sejujurnya sudah merindukan buah hati lagi hadir di tengah-tengah mereka.

Lyana terdiam, dia menatap Al penuh arti. Dari sorotan mata itu ada sesuatu yang mengganjal.

"Kenapa? Kok diam?" tanya Al mengelus kepala Lyana sayang.

"Om Jang, kalau kita punya anak lagi, apakah dia akan sakit seperti Cinta? Aku takut," ucap Lyana was-was dan trauma dengan masa lalunya.

"Jangan berpikir sesuatu yang belum mungkin terjadi," sahut Al membelai sayang kepala Lyana.

"Tapi aku kan juga punya penyakit talasemia alfa minor."

"Tapi itu kan talasemia ringan, tidak menyebabkan gangguan fungsi kesehatan tubuh kamu," sangkal Al. "Yang penting kamu jaga pola makan sama jangan lupa selalu konsumsi obat penambah darah. Sudah ah, ayo tidur! Udah pukul 10 tuh!" Al menunjuk jam dinding dengan dagunya.

Lyana mendongakkan kepala melihat jam itu. Lantas dia bangkit dari pangkuan Al.

"Gendong," rengek Lyana manja.

"Yaaa, ayo!" Al memasang punggungnya membelakangi Lyana.

Dengan girang Lyana berdiri di atas sofa dan naik ke punggung Al. Mereka masuk ke kamar, sebelumnya mematikan televisi dan lampu.

***

"Mama!!! Paaaaa!!!" pekik suara melengking mengiringi kakinya masuk ke rumah Taufik.

Dia berjalan berjingkrak seperti bocah yang sedang kegirangan mencari orang tuanya ke ruang tengah. Tidak ada orang, Lyana pun mencari-cari seraya berseru memanggil Ratna dan Taufik.

"Maaa!!! Paaa!!!" pekiknya lagi sampai memekakkan telinga.

"Masya Allah, datang-datang mengucap salam dulu kek, ini langsung teriak-teriak kayak di hutan saja. Kenapa sih?" omel Ratna muncul dari pintu samping, tangannya kotor berlumuran lumpur.

"Iiiih... Mama habis ngapain tuh!" tanya Lyana jijik melihat tangan mamanya diselimuti lumpur.

"Habis coba-coba bikin sesuatu dari tanah lihat. Lihat ke samping sana, Papa kemarin beli alatnya, baru sempat kita coba," jelas Ratna jalan ke belakang mencuci tangannya.

Lyana melihat ke samping rumah, di sana ada Taufik sedang serius membentuk tanah lihat di atas alat yang berbentuk melingkar dan bisa diputar.

"Papa, lagi buat apa?" tanya Lyana berjongkok di sampingnya.

"Ini lagi iseng bikin asbak dari tanah liat. Kamu ke sini sama Al?" Taufik menoleh mencari-cari keberadaan Al.

"Nggak, aku sendiri. Kak Al jam segini masih di kantor dong, Pa. Tahu sendiri jadwal dia itu selalu padat. Ngurus yayasan, masih ngurus perusahaan. Sibuknya mengalahkan presiden."

"Dia bekerja kan juga buat kamu, yang sabar. Jadi istri itu harus bisa memahami kesibukan suami. Sudah bilang Al kalau kamu ke sini?"

"Sudah kok, Pa. Nggak izin beeeeeh... singa dalam tubuhnya bisa ngamuk. Sereeem." Lyana bergidik, Taufik terkekeh. "Oh iya, Pa. Aku sama Kak Al mau ke Paris minggu depan setelah aku selesai ujian. Boleh ya, Pa?" izin Lyana merengek seperi bocah.

"Ya boleh dong, kenapa nggak boleh? Kan pergi sama suamimu sendiri. Kecuali kalau kamu pergi sama orang lain, sudah pasti Papa melarang."

"Iya juga sih." Lyana menyengir cengengesan memamerkan giginya yang rapi.

Taufik bahagia melihat putrinya sekarang sudah bangkit dari keterpurukan. Dia bisa move on, melangkah jauh meninggalkan masa buruknya.

"Ly, kamu sudah makan belum?" tanya Ratna dari ambang pintu.

"Sudah sih Ma, tapi aku kangen sama masakan Mama. Mama masak apa hari ini?" Lyana menghampiri Ratna memeluknya manja berjalan ke ruang makan.

"Mama masak kesukaan kamu, kebetulan kamu datang. Ada ayam goreng, pepes ikan kembung sama sayur lodeh. Mbak Tata masak apa?" Ratna membuka tutup saji.

Tergelar semua makanan yang dia sebutkan tadi di atas meja makan. Lyana duduk di kursi mengambil kerupuk udang di stoples.

"Mbak Tata tadi masak ayam mentega sama sayur bayam. Paling juga nggak kemakan itu. Soalnya Kak Al pulang kerja langsung aku suruh mampir ke sini. Mobilku masuk bengkel, kemarin akinya soak," ujar Lyana mencentongkan nasi ke piring.

Ratna tersenyum dan menggelengkan kepala. Setelah menikah bukannya semakin dewasa malah makin manja. Itu karena Al yang keliru mendidik Lyana. Dia kurang berani dan terlalu takut membentak dan menegasinya. Al juga selalu memanjakan dan menuruti semua kemauan Lyana. Jadi Lyana sudah ketergantungan dan merasa apa yang dia mau selalu keturutan.

"Punya mobil perasaan sering banget masuk bengkel?" gumam Ratna memerhatikan Lyana makan dengan lahap.

"Maklum dong Ma, aku kan cewek tahunya tinggal pakai. Kak Al juga salah beliin mobil. Sudah tahu aku kan penginnya yang biasa bukan yang matic," sangkal Lyana tak acuh sambil menikmati masakan mamanya.

"Kamu sering ke rumah Mama Tiara nggak?"

"Iya, kadang pulang dari kampus mampir. Kenapa?" tanya Lyana menatap Ratna lalu menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

"Nggak apa-apa. Mama belum ketemu lagi setelah acara nikahan anaknya Pak Samsul. Belum sempat main ke sana juga."

"Nggak apa-apa, Ma. Mama Tiara dan Papa Wira sehat kok. Mama lagi punya hobi baru."

"Hobi apa?" sahut Ratna cepat.

"Lagi hobi koleksi anggrek. Gara-gara dikasih Kak Al anggrek dari Malaysia, oleh-oleh karyawannya yang pulang liburan. Malah kebablasan memburu anggrek sampai sekarang," cerita Lyana dengan tampang polos.

Ratna tertawa menempeleng kepala Lyana pelan yang justru membuatnya ikut tertawa.

"Assalamualaikum," ucap seseorang datang bersama bayi berusia kurang lebih 3 bulan.

"Waalaikumsalam," jawab Ratna dan Lyana bersamaan.

"Iiiiihhhh, Branded gemeeeees." Lyana langsung menyambut bahagia putra pertama Rani dan Andra.

Dia mencium dan menggemas pipinya yang seperti bakpao.

"Makan dulu! Habisin!" perintah Ratna menjawil pinggang Lyana.

Rani tersenyum senang jika melihat Lyana bertemu dengan Branded langsung jiwa keibuannya muncul.

"Iya, Ma." Lyana menghabiskan makannya, dia tidak sabar ingin bermain bersama Branded.

Itu salah satu cara dia mengobati rindu kepada Cinta. Kehadiran Branded sedikit membasuh rindu Lyana pada Cinta.

"Ajak ke ruang tengah sana. Mama nemenin Lyana makan dulu," suruh Ratna mengelus kepala Branded lembut.

"Iya, Ma," sahut Rani lantas mengajak Branded ke ruang tengah.

"Pelan-pelan makannya." Ratna memperingatkan Lyana.

"Iya, Ma."

Setelah selesai makan Lyana membawa piring kotornya ke dapur sekaligus mencucinya.

"Ma, katanya Kak Andra mau pindah ke Surabaya lagi ya?" tanya Lyana mengelap tangannya.

"Iya. Kayanya dimutasi ke sana lagi. Kenapa?" Ratna menoleh Lyana yang berdiri di depan kulkas sedang mencari minuman dingin.

Setelah minum, Lyana menyahut, "Waaah... kalau Kak Andra pindah, terus Branded sama Kak Rani juga ikutan pindah dong?"

Lyana mengikuti Ratna berjalan ke ruang tengah menyusul Rani. Bayi laki-laki itu ditidurkan di bawah beralaskan kasur kecil. Lyana langsung tidur di sampingnya dan mencium gemas. Dia memeluk Branded sampai anak itu merengek hampir menangis.

"Jangan keras-keras, mewek entar," tegur Rani menampar lengan Lyana pelan.

"Gemes tahu, Kak. Entar kalau kalian pindah ke Surabaya gimana kalau aku kangen?" Lyana memainkan kedua pipi gembul Branded.

"Makanya bikin sendiri," sahut Rani ceplas-ceplos.

Ratna dan Rani terkekeh sedangkan Lyana memanyunkan bibirnya kesal. Taufik masuk ke rumah, langsung mencuci tangannya. Setelah bersih dia ikut bergabung di ruang tengah. Lyana menggendong Branded menimang-nimang dan dinyanyikan lagu nina bobo. Semua menatapnya senang bercampur sedih.

"Sudah waktunya dia punya anak lagi." Tiba-tiba Ratna berucap.

"Sabar, Ma. Dia masih menikmati masa kuliahnya," sahut Taufik.

Rani melempar senyum terbaiknya kepada Taufik dan Ratna bergantian.

***

Di bawah lampu temaram, Lyana melendot di dada Al. Ruang kamar itu remang, tenang, mereka berbaring di atas tempat tidur mengobrol kecil rutinitas sebelum beristirahat.

"Om Jang, aku kangen pengin jajanan pasar. Besok pagi kita ke pasar ya?" rengek Lyana memeluk perut Al.

Al mengelus-elus rambutnya pelan, membuat mata Lyana berat tapi dia masih ingin mengobrol.

"Iya, tapi kamu bangunnya pagi ya? Soalnya besok pagi aku mau ke panti asuhan sebelum berangkat ke kantor."

"Iya, iya. Mau ngapain ke panti? Ada masalah?" tanya Lyana mendongakkan kepalanya.

"Nggak kok, cuma ngecek barang-barang yang baru datang. Sekarang di panti asuhan ada tempat khusus untuk memberikan pelatihan anak-anak. Semacam membuat kaligrafi atau pernak-pernik gitu. Namanya bank mandiri. Jadi mereka dilatih membuat sesuatu yang bisa dijual, hasilnya nanti dimasukan ke tabungan dengan nama mereka masing-masing. Itu bertujuan melatih kemandirian dan kreatifitas anak-anak," jelas Al.

"Terus nanti dijual di mana hasil buatan mereka? Siapa yang menjual? Awas loh pelanggaran hukum memperkerjakan anak di bawah umur." Kebiasaan Lyana bertanya bertubi-tubi.

"Yang menjual hasilnya ibu panti dibantu sama pengurus yang lain. Jadi di sana kan punya koperasi dan aku lagi bantu mencarikan tempat pemasarannya biar bisa berkembang," jelas Al.

"Apa itu nggak mengganggu proses belajar mereka? Kasihan juga kalau mereka kehilangan waktu bermain," ujar Lyana.

"Nggak dong. Kan mereka membuatnya kalau pas waktu senggang atau hari libur. Mengisi waktu luang saja. Nggak mewajibkan semua membuat, cuma yang mau," terang Al mencium ujung kepala Lyana.

"Begitu ya?" sahut Lyana. "Besok aku ikut ke panti," imbuhnya.

"Emang nggak kuliah?"

"Aku nggak ada jadwal kuliah, Om Jang. Daripada aku di rumah sendiri. Ya?" rajuk Lyana memohon.

"Iya," jawab Al sangat halus menempelkan keningnya di kening Lyana.

"Terus bagaimana usulan aku waktu lalu? Sudah dibicarakan sama kepala sekolah belum?" tanya Lyana teringat usulannya tidak kunjung ada kabar dari Al.

"Usulan??? Yang mana sih?" Al mengerutkan dahinya mengingat-ingat.

"Iiih... Om Jang sudah pikun! Yang mau bikin acara di SMA Tunas Bangsa melibatkan kampus itu loh," pekik Lyana mencebikkan bibirnya kesal.

"Oh yang itu!" Al menyengir.

"Perasaan aku nggak enak nih kalau sudah tampang begitu," gumam Lyana berfirasat tidak enak melihat cengiran Al.

"Maaf Emes, aku lupa belum membicarakan itu sama kepala sekolah," ujar Al tersenyum kikuk menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.

"Nah kan! Ah, kesel deh!" Lyana mendorong Al dan memunggunginya menarik selimut menutupi tubuhnya sebatas bahu.

"Maaf, Emes," bujuk Al merayu memeluknya dari belakang. "Gitu aja ngambek. Aku kan lupa, Emes. Besok ya aku bicarakan sama kepala sekolah. Jangan ngambek dong," bujuk Al mengguncangkan tubuh Lyana.

Lyana bergeming, tak acuh. Dia marah sama Al. Tapi Al tidak kehabisan akal, dia menggelitik Lyana hingga tubuh mungil itu menggeliat dan tawanya pun pecah sampai memenuhi ruang kamar.

Kenal lama dengan pasangan membuat kita tahu cara bagaimana membahagiakannya dan mengembalikan tawa dia.

############

Ternyata bahagia itu sederhana kan? Berakit-rakit kehulu, berenang ke tepian, bersakit dahulu .... Lanjut sendiri Wkwkkwkwkwk lol

Makasih untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top