JANGAN NGAMBEK
Melalui GPRS yang terpasang di mobilnya, Al mencari keberadaan Lyana. Titik merah di ponsel Al menunjukan keberadaan mobil itu. Ia lantas menuju ke suatu tempat yang Al sendiri belum pernah ke tempat itu. Dia masuk ke pelataran apartemen, melihat Lyana cekcok dengan seorang wanita di lobi. Mereka menjadi tontonan banyak orang.
Al pun memarkirkan mobilnya di sembarang tempat, lalu keluar melangkah lebar menghampiri Lyana yang dipeluk seorang satpam dari belakang. Seorang wanita cantik berpakaian mini yang menjadi lawan Lyana pun dipeluk satpam dari belakang. Mata mereka sama-sama merah, wajah pun mengeras.
Al melepas paksa tangan satpam itu dari tubuh mungil istrinya. Lantas dia mendekap Lyana yang memberontak ingin melukai wanita itu.
"Dasar pelakor!!! Perebut laki orang! Lo yang sudah merusak hubungan gue sama Al!" caci maki Bianca.
"Lo!!!" tunjuk Lyana tajam tak terima. "Dasar wanita jalang!!! Sudah tahu Al itu suami sah gue, tapi lo masih saja terus menggoda dia. Move on dong!" bantah Lyana.
Al berusaha menenangkan Lyana, tapi percuma saja karena Lyana sudah dipenuhi amarah tak peduli Al menahannya.
"Sayang, Emes!!!" sentak Al agar Lyana tenang dan berhenti memberontak.
Lyana menatap Al sendu, Al menunduk memegang kedua bahunya. Bianca menepis tangan satpam itu agar tidak lagi memeganginya. Al menghela napas panjang dan menghembuskan pelan.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Al lembut pada Lyana. "Buat apa menemuinya?" Al menunjuk Bianca kasar.
Lyana tak menjawab, dia malah menunduk dan menangis. Dua satpam yang melerai Bianca dan Lyana, membubarkan orang-orang yang menonton mereka.
"Bianca!" sergah Al menatap tajam Bianca. "Sudah berapa kali aku peringatkan sama kamu, jangan ganggu kehidupku lagi. Jangan lagi kamu meracuni pikiran istriku. Tolong, carilah kebahagiaanmu sendiri, jangan mengusik rumah tangga kami," tegas Al, rahangnya mengeras dan matanya menatap tajam Bianca.
"Tapi dia yang duluan mulai, Al," bantah Bianca menunjuk Lyana.
"Heh! Lo tuh yang mulai! Kalau Lo nggak ganggu rumah tangga gue, nggak bakalan gue giniin lo! Lo yang berusaha hancurin rumah tangga gue dan lo juga yang bilang, kalau suami gue di luar kota sama lo!" Lyana menunjuk-nunjuk wajah Bianca.
Al tercengang mendengar pernyataan istrinya.
"Tunggu, tunggu," sela Al. "Apa maksud kamu, Emes?" tanya Al menuntut. "Aku???" Al menunjuk dirinya sendiri. "Di luar kota sama dia!!" Lalu menunjuk Bianca.
"Iya!" sahut Lyana galak dan judes.
Dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukan pesan-pesan tanpa nama yang selalu mengganggunya saat Al di luar kota.
"Baca tuh!" titah Lyana memberikan ponselnya kasar agar Al membaca semua pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Setelah membaca semua, Al melirik tajam Bianca.
"Jelaskan apa maksud kamu, Bi??!" bentak Al menunjukkan ponsel Lyana di depan wajah Bianca.
Bianca gelagapan dan salah tingkah.
"A...a...aku mmm." Bianca tak bisa menjelaskan.
"Kamu memanfaatkan keadaan??? Hah?!" sentak Al. "Apa yang kamu inginkan dariku, Bi?" lanjut Al berteriak di depan wajah Bianca.
Al tak peduli berapa banyak pasang mata yang melihatnya marah, tapi Bianca memang tidak tahu diri. Dia sengaja meneror dan meracuni otak Lyana agar selalu mencurigai Al. Sedikit celah di antara Al dan Lyana, selalu bisa Bianca manfaatkan.
"Aku melakukan itu biar kita bisa bersama lagi seperti dulu, Al." Bianca mengiba, menangis mencengkeram kerah kaus Al.
Dengan kasar Al menepisnya, dia menggelengkan kepala. "Nggak Bisa!!!"
"Al," lirih Bianca. "Kamu jangan bicara seperti itu. Kamu melukai hatiku. Aku pengin kita kembali seperti dulu, sebelum wanita ini hadir di antara kita." Bianca menunjuk Lyana kasar dengan jari telunjuk. "Dia penyebab semuanya!!! Dia juga yang menjadi duri dalam hubungan kita," bentak Bianca ingin melukai Lyana tapi tangan Bianca dicegah Al.
"Jangan salahkan dia, Bi!!! Aku yang salah, aku yang pantasnya kamu sakiti, bukan istriku! Dia tidak pernah bersalah," bela Al melindungi Lyana di belakang punggungnya.
Lyana diam, bagaimana bisa dia mencurigai Al selama ini? Dia melihat kenyataan, bahwa suaminya selalu membela dia. Jika mereka ada hubungan di belakangnya, tidak mungkin Al mati-matian membela Lyana dan melontarkan kata-kata yang menyakitkan hati Bianca.
"Tapi Al, kamu sudah janji nggak akan pernah ninggalin aku dalam kondisi apa pun. Aku rela melepaskan dia, agar kita bisa bersama seperti dulu lagi. Tapi kamu malah menikahi wanita jalang ini!" Bianca tetap memaksa. Air mata membanjiri pipinya, tapi Al tak luluh dan tetap kokoh pada pendiriannya.
Pilihannya hanya satu, yaitu Lyana. Hanya istrinya yang sekarang memenuhi hati dan otaknya. Tidak ada celah sedikitpun di diri Al untuk memikirkan wanita selain Lyana.
"Itu dulu, sekarang keadaannya sudah berbeda. Memang dulu aku sudah berjanji, tapi sebelum kamu menikah dengan pria itu dan sebelum aku sadar jika cintaku ke kamu itu hanyalah nafsu bukan cinta tulus seperti yang aku rasakan pada Lyana. Maaf, aku tidak bisa, Bi. Aku sudah memilih dan memutuskan, hanya Lyana wanita satu-satunya yang akan menemaniku sampai akhir hayatku." Al menggenggam erat tangan Lyana.
Lyana merasakan ketulusan kata-kata Al, dia menangis menyandarkan keningnya di punggung lebar Al. Lyana membalas genggaman erat tangan Al. Begitu besarkah cinta suaminya untuk dia? Tapi kenapa selama ini Lyana masih meragukannya?
"Maaf, kami harus pergi," pamit Al pelan lantas menggandeng tangan Lyana pergi meninggalkan Bianca yang menangis sesenggukan menerima kenyataan pahit bahwa pengorbanan yang dia lakukan agar bisa kembali bersama Al, hanyalah sia-sia.
Al bukanlah pria bodoh yang bisa dia manfaatkan seperti dulu. Mata hatinya telah tertutup oleh cinta suci Lyana. Ketulusan dan besarnya cinta Al untuk Lyana mampu melawan dan menepis segala godaan yang sewaktu-waktu datang menghampirinya.
"Om Jang," cegah Lyana saat Al membukakan pintu mobil untuknya.
"Kenapa?" tanya Al halus.
"Mobilku?" tunjuk Lyana ke arah mobil yang terparkir asal.
"Biar nanti diambil Pak Sapto ya? Sudah larut malam, kita pulang." Al menggiring Lyana agar lebih dulu masuk ke dalam mobil.
Setelah Lyana masuk dan Al menutup pintunya, Bianca berlari menubruk Al dari belakang dan memeluknya erat. Al terkejut mendapat pelukan mendadak Bianca. Dia melihat perubahan wajah Lyana. Dia sangat kesal dan menahan marah, Lyana yang duduk di dalam mobil melipat kedua tangannya dan memalingkan wajah.
"Jangan tinggalkan aku, Al." Bianca menangis pilu.
Dengan kasar Al melepaskan tangan Bianca yang melingkar di perutnya.
"Apa-apaan sih kamu, Bi!" bentak Al memutar tubuhnya. "Jangan membuat malu dirimu sendiri. Tolong, Bi. Jangan ganggu apalagi mengusik rumah tanggaku. Kamu harus melanjutkan hidupmu, jangan bertahan dengan harapan kosong dan janji-janjiku dulu. Itu sudah berlalu dan kamu harus menerima kenyataan. Kamu berhak bahagia, tapi bukan bersamaku. Aku yakin, kamu pasti bisa menemukan seseorang yang jauh lebih baik dariku," ujar Al berharap Bianca paham dengan maksudnya.
Al tidak ingin melihat Bianca stres dan selalu mengejarnya. Harus bagaimana lagi Al menyadarkan Bianca, bahwa semua sudah berubah. Dia sudah melanjutkan hidupnya bersama Lyana.
"Maaf, aku harus pergi," ucap Al menepuk bahu Bianca dua kali lantas masuk ke dalam mobil.
"Aaaaalll!!!!" teriak Bianca menjerit dan menangis menyayat hati.
Sebenarnya Al tidak tega, begitupun Lyana. Tapi jika tidak seperti itu, Bianca terus akan mengganggu kenyamanan rumah tangga mereka.
Mobil Al lepas dari apartemen tempat Bianca tinggal. Di dalam mobil hening, Lyana memijat pelipisnya. Al melirik sekilas dan mengelus kepala Lyana lembut.
"Bagaimana bisa kamu menemukan tempat tinggal dia dan tahu kalau yang mengirim pesan Bianca?" tanya Al menghancurkan keheningan.
Lyana menghela napas dalam dan menghembuskannya kasar. Dia menoleh Al lemas dan terus menatap wajah lelah suaminya. Dia menyandarkan kepalanya manja di bahu Al.
"Aku kira-kira aja, siapa lagi kalau bukan dia yang menggangguku? Kan selama ini cuma dia yang menggangguku," jawab Lyana.
"Terus ngapain bawa mobilku? Emang kenapa sama mobil kamu?" lanjut Al mengurai rasa penasarannya.
"Buat mancing Bianca. Aku pikir kalau aku menemuinya pakai mobil kamu, tanpa aku keluar dari mobil, dia bakalan mengira kamu yang di mobil dan masuk di mobil ini," cerita Lyana sambil mengerucutkan bibir.
"Terus apa yang terjadi???" tanya Al mengulum bibir menahan tawa.
Lyana menggelengkan kepala. "Dia nggak mengenali mobil kamu. Ya sudah, aku ikuti saja dia ... dari keluar klub sampai di apartemennya."
"Kamu tahu dari mana kalau dia di klub?"
"Dari live story Instagram-nya," jawab Lyana polos menciptakan gelak tawa Al.
"Ciyeeeee, yang diam-diam stalking akun Bianca. Penasaran ya???" ledek Al mencolek hidung Lyana.
"Aaaaaah... Om Jang, nyebelin!!!" Lyana memukul lengan Al kesal.
Al malah tertawa lepas. "Kamu juga aneh-aneh! Tuh akibatnya kalau nggak percaya sama suami. Suaminya kerja bener, nggak neko-neko, setia, masih aja dicurigain. Mau ... aku kayak apa yang kamu pikirkan???" goda Al melirik genit Lyana.
"Nggak mauuuu," rengek Lyana melingkarkan tangannya di lengan Al sambil bersandar manja di bahunya.
"Awas, jangan begini. Masih nyetir, entar aja kalau sudah di rumah," peringatan Al supaya Lyana menegakkan badannya.
"Iya." Lyana menegakkan tubuhnya. "Om Jang, aku laper," celetuk Lyana mengusap perutnya.
Al paham maksud istrinya lantas dia membelokkan mobil di bahu jalan. Di trotoar taman kota ada penjual nasi goreng dan mi goreng menggunakan gerobak.
"Makan di sini saja ya? Tengah malam begini mana ada restoran yang buka, ada sih tapi jauh." Al melepas sabuk pengamannya.
"Nggak apa-apa. Mau makan di mana aja asal yang nyuapin kamu pasti enak."
"Moduuuuuuus! Bilang aja minta disuapin," sahut Al paham dengan kode Lyana.
Lyana terkikih kecil melepas sabuk pengamannya. Mereka keluar dari mobil, memesan nasi goreng dan menunggu di bangku putih di bawah Lampu taman. Selama menunggu, Lyana terus bercerita mengenai kegiatannya selama Al kerja di luar kota. Al menatap kedua mata Lyana, ada sesuatu yang istrinya sembunyikan. Tapi apa?
"Kamu tahu nggak?" sela Al di tengah cerita Lyana.
"Nggak. Memangnya tahu apa?" balas Lyana polos.
Al mengusap pipi Lyana lembut dengan punggung tangannya.
"Tak ada yang lebih indah di dunia ini selain menatap hazel indahmu. Tapi pancaran sendu membuat hatiku pilu. Apakah aku dapat membasuh sendumu?" tanya Al menghapus jarak. Dia menarik kepala Lyana agar bersandar di dadanya.
"Aku cuma kangen Cinta, Om Jang. Entahlah, kangen itu semakin dalam saat kemarin lusa aku pergi ke makam dia. Aku pengin memeluknya seperti dulu, tidur bersama, dan kita lewati hari-hari bersama. Aku bukanlah mama yang baik untuknya," ujar Lyana sedih.
"Jangan bicara begitu, mungkin kamu merindukan adik bayi. Sudah waktunya kita punya anak lagi, Emes." Al mendekap Lyana.
"Mungkin," sahut Lyana menghangatkan perasaan Al. "Tapi tunggu aku lulus kuliah ya?" lanjut Lyana menjatuhkan perasaan dan semangat Al.
Al menghela napas kasar. "Kenapa harus menunggu kamu lulus?" gerutu Al pelan menahan kekecewaan.
"Om Jang, kalau aku hamil, terus punya anak, tapi masih sibuk dengan tugas kuliah, apa kamu nggak kasihan sama anak kita nanti? Aku tuh pengin, kalau nanti punya anak 24 jam bisa menjaganya dan menemani dia. Please, ngertiin ya?" mohon Lyana menangkupkan tangan di depan dada dan menatap Al mengiba.
"Ya, aku tahu. Kita lihat saja nanti, tapi kalau kamu sampai hamil jangan tolak kehadirannya ya?"
"Ya nggaklah. Kalau aku hamil ... ya sudah. Tapi kamu juga jangan mentang-mentang aku ngomong begini terus kamu sengaja bikin aku hamil."
"Loh kan aku melakukan sesuai kewajibanku, masa sih aku buang benih di luar rahim? Kan dosa, buang cairan ya harus pada tempatnya," bantah Al.
"Iya juga sih," sahut Lyana menggaruk kepalanya tak lagi bisa membantah.
Al tersenyum penuh kemenangan.
############
Om Jang moduuuuuuus!!! Bilang aja ... tiiiiiiiiiiiit (sinyal hilang).
Hahahaha
Nunggu lama ya??? Maaf, slow update ya? Yang penting dilanjutkan. Makasih banyak atas vote dan komentarnya.😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top