HATI DISELIMUTI KECEMASAN

Acara demi acara dilalui Lyana dan tim. Mengadakan event besar di SMA Tunas Bangsa melalui persiapan yang sangat matang telah terselenggara. Hati lega meski lelah melanda.

Lyana menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu sesaat setelah dia masuk ke dalam rumah. Cuaca panas di luar membuat tenggorokannya kering, meskipun hari mulai gelap. Usia kandungannya baru menginjak bulan kedua, namun Lyana masih saja disibukkan banyak kegiatan. Dia menegakkan tubuhnya bersandar di sandaran sofa, badannya lunglai dan lemas. Kaki diselonjorkan lurus di sofa panjang sambil dipinjat-pijat sendiri.

"Mbak Tata!" panggil Lyana melengking.

"Iya, Non!" Tata menyahut berlari ke ruang tamu. "Ada apa, Non?" tanya Tata setelah berdiri di samping sofa panjang yang Lyana tempati.

"Mbak, tolong buatin es jeruk dong," pinta Lyana sopan.

"Baik, Non." Tata lantas menuruti permintaan majikannya itu.

Saat Lyana sedang menunggu es jeruk sembari memijat kakinya yang pegal, terdengar suara mobil Al datang. Beberapa menit kemudian Al masuk ke dalam rumah langsung menghampiri istrinya.

"Kenapa?" tanya Al lembut mengelus kepala Lyana dan mengecup pucuk kepalanya sayang.

Lyana menjatuhkan kepalanya manja di perut rata Al.

"Cape," keluh Lyana.

Al tersenyum tipis, lalu dia berjongkok di samping sofa dan memijat kaki Lyana pelan.

"Emangnya tadi acaranya selesai pukul berapa?" tanya Al menatap Lyana teduh menenangkan hati.

"Pukul 4 sore sudah bubar sih tadi. Tapi kan aku bantu-bantu beresin alat-alat dan lain-lain. Kamu tadi ke mana? Habis kasih sambutan langsung pergi," kerling Lyana curiga memanyunkan bibirnya sebal.

Al pindah posisi, dia duduk di sofa dan kaki Lyana ia pangku. Dia menghela napas panjang sebelum menjelaskan.

"Maaf aku nggak bisa mengikuti acara sampai selesai. Soalnya hari ini banyak banget pekerjaan yang harus aku urus. Meeting sama mitra usaha, lanjut ngecek gedung yang rencananya untuk panti jompo. Soalnya bangunan sudah siap, tinggal melengkapi dengan furnitur dan barang-barang perlengkapan lainnya," terang Al mematahkan kecurigaan istrinya.

"Sibuk banget sampe ninggalin istri ngurus event sendiri," cela Lyana melengos pura-pura ngambek.

Al memegang dagunya pelan agar Lyana menatap dia.

"Maaf, Emes. Tapi kan tadi banyak tim yang membantu kamu. Siapa juga yang dulu mengusulkan acara itu dibuat? Kan kamu, jadi kamu yang harus bertanggung jawab," ujar Al lembut agar tak menyinggung perasaan Lyana.

"Iya," sahut Lyana sedikit kesal. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, melirik Al sebal.

Bukannya Al marah, dia malah tersenyum dan menggelangkan kepala.

"Permisi, Non, Den." Tata datang membawa segelas es jeruk pesanan Lyana. "Ini es jeruknya, Non." Dia memberikan gelas panjang yang basah karena embun es.

"Makasih ya, Mbak," ucap Lyana menerima gelas es jeruk dari Tata lantas menenggaknya tanpa menawari Al.

Al memerhatikan Lyana yang terlihat tak sabar dan segar meminum es jeruknya. Seperti seharian berjalan di padang pasir lalu mendapatkan air.

"Pelan," peringatan Al melihat Lyana yang minum sekali tarikan napas dan tak berjeda.

Lyana ngos-ngosan setelah menghabiskan es jeruk satu gelas sekali tenggakan.

"Ah, segar. Hilang dahagaku," ucap Lyana meletakkan gelas di meja.

Dia menjilat sisa es jeruk yang menempel di atas bibirnya seperti bocah. Al yang melihat sangat gemas dan menarik hidung Lyana pelan.

"Aw, atit," rengek Lyana manja dengan suara dibuat-buat seperti anak kecil seraya mengusap hidungnya. Al terkikih kecil mengacak rambut Lyana pelan.

"Naik yuk! Gerah nih, mau mandi," ajak Al menurunkan kaki Lyana dari pangkuannya.

"Ayo!" sahut Lyana tak kunjung beranjak dari sofa, sedangkan Al sudah berdiri.

"Ayo tapi kok pantat masih nempel di sofa," cibir Al menunggu Lyana.

Lyana cengengesan memamerkan barisan giginya yang rajin.

"Aku males jalan, Om Jang. Gendong," pinta Lyana mengulurkan kedua tangannya ke arah Al.

"Haahah! Kebiasaan!" Meski mencerca namun Al tetap memasang sikap kuda-kuda supaya Lyana naik ke punggungnya.

Dengan senang hati Lyana naik ke punggung Al.

***

Mentari mengintip dari ufuk timur, warna oranyenya merekah membelah awan. Embun pagi menyejukan jiwa, sepasang suami istri masih meringkuk damai di atas tempat tidur. Lyana nyaman berada dalam pelukan Al. Matanya perlahan terbuka, pandangannya mengabur, ia mengejap berulang kali hingga pandangannya jelas.

Dia menggeliat dan memutar tubuhnya menghadap Al yang masih setia memejamkan mata. Setiap inci wajah Al, Lyana perhatikan. Alis tebal, hidung mancung, bibir tipis, dan paras tampan yang selalu membuatnya jatuh cinta. Senyum terukir di bibir tipis Lyana kala melihat bola mata Al bergerak-gerak saat masih terpejam.

"Om Jang, aku tahu kamu sudah bangun," ucap Lyana mengelus lembut pipi Al.

Bibir Al tersungging senyum lebar lalu ia membuka matanya.

"Selamat pagi mamanya Cinta," sapa Al mengecup kening Lyana.

"Selamat pagi papanya Cinta," balas Lyana mencium kedua pipi Al. "Ayo! Katanya mau ke pasar? Dari kemarin nggak jadi terus." Lyana menyibak selimut tebalnya. Saat ingin beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba dia memegangi kepalanya yang terasa berat.

"Sayang," panggil Al menyentuh lengannya. "Kenapa?" timpal dia membimbing Lyana agar kembali berbaring.

"Om Jang, kepalaku pusing banget," keluh Lyana kembali berbaring seraya memijat-mijat keningnya.

"Sebentar, aku ambilkan minum." Al bergegas ke luar kamar mengambilkan Lyana minuman hangat.

Dia kembali ke kamar memberikan air mineral hangat pada Lyana.

"Om Jang, kepalaku terasa berat dan pusing kalau buat bergerak," keluh Lyana merintih.

"Ya sudah kamu boboan lagi aja." Al membaringkan kepala Lyana pelan di atas bantal.

Seperti tersengat aliran listrik, sekonyong-konyong perut Lyana kram dan sakit. Dalamnya seperti diaduk-aduk, dan rasanya melilit, nyeri, serta kaku.

"Aw, aw, aw, Om Jang, perut aku kram," rintihan Lyana memegangi perut bagian bawahnya.

Al yang siaga dan sigap langsung mengambil minyak angin lantas dioleskan di perut Lyana.

"Om Jang, sakiiiiit," rintih Lyana menangis dan terus geliang-geliut sambil memegangi perutnya.

"Iya, Emes," sahut Al bingung melihat Lyana kesakitan, dia menggaruk rambut belakangnya yang tak gatal. "Aku harus gimana ini?" gumam Al. "Kita ke rumah sakit ya?" tawar dia yang sudah sangat mencemaskan keadaan Lyana.

Lyana menganggukkan kepala. Al mengambilkan pakaian yang pantas untuk dikenakan istrinya pergi ke rumah sakit.

"Ayo ganti dulu baju tidur kamu." Dia membantu Lyana duduk lalu membuka baju tidurnya yang transparan memperlihatkan bra dan celana dalam.

Setelah baju tidur berwarna cerah itu terlepas dari tubuh Lyana, betapa terkejutnya Al melihat bercak darah di bagian pantat gaun tidur Lyana.

"Emes," gumam Al membulatkan matanya sempurna. Dia langsung mengecek bagian bawah Lyana, ternyata sprei yang diduduki Lyana terdapat bercak darah.

"Aw, sakit. Om Jang...." Lyana mencengkeram baju Al. Perutnya terasa tegang dan kaku. Semakin lama menjalar ke seluruh tubuhnya menjadi pegal-pegal.

Segera Al memakaikan daster Lyana lalu diangkatnya turun ke lantai bawah.

"Mbak Tata!!!" panggil Al keras seraya menuruni tangga.

"Iya, Den." Tata mendekat dan berdiri di samping Al.

"Tolong bersihkan sprei di kamar," titah Al sedikit meninggikan suaranya karena kalang kabut mencaskan kondisi Lyana dan bayi dalam kandungan istrinya.

Tanpa menunggu jawaban Tata, Al berlalu melangkah lebar ke garasi. Sapto yang sedang mengelap bodi mobil terkejut melihat Al pagi-pagi berpakaian santai dengan wajah kaku bercampur tegang serta cemas sambil membopong Lyana ke garasi.

"Selamat pagi, Den," sapa Sapto ramah sedikit membungkukkan badan.

"Pagi, Pak Sapto. Tolong bukakan pintunya," pinta Al buru-buru.

Dengan cepat Sapto membukakan pintu mobil. Al menurunkan Lyana yang sudah terkulai lemas dan wajah pucat pasih di jok belakang, lalu ia menyusul masuk.

"Pak Sapto, tolong antar kami ke rumah sakit," pinta Al dengan wajah tegang dan perasaan kalut.

"Baik, Den," sahut Sapto cepat lantas masuk ke dalam mobil.

Di dalam mobil Lyana berbaring, paha Al sebagai bantalannya. Dia terus merintih memegangi perut bagian bawah.

"Om Jang, sakit banget," rengek Lyana memeluk pinggang Al.

"Sabar, Sayang. Tahan ya? Bentar lagi kita sampai rumah sakit." Al berusaha menenangkan Lyana yang terus merintih kesakitan seraya menangis.

"Aku takut, gimana kalau aku kegu---"

"Ssssssssttt." Al memotong ucapan Lyana. "Jangan bicara sesuatu yang belum pasti," timpal Al dalam hati dia pun mencemaskan hal yang sama seperti Lyana.

Apakah impiannya ingin menjadi seorang ayah lagi akan pupus? Impiannya ingin segera menimang anak akankah musnah? Al belum siap menerima semua itu. Dia sudah sangat merindukan buah hati kembali.

Siapa pun akan takut sekaligus panik saat mengalami perdarahan ketika hamil. Pada kasus-kasus tertentu, perdarahan saat hamil bisa jadi merupakan tanda akan terjadinya keguguran atau kondisi ibu hamil yang memerlukan perawatan secepat mungkin.

"Tapi, Om Jang. Darahnya keluar terus, perut aku juga sakit banget. Aku kayak nggak kuat menahan sakitnya," keluh Lyana semakin menangis histeris memilukan hati Al. Peluh keluar membasahi sekujur tubuhnya dan bercucuran di kening meski mobil ber-AC.

"Jangan bicara seperti itu, Emes. Kamu harus menahannya, sebentar lagi kita sampai, Sayang. Please, tetap sadar," mohon Al memeluk kepala Lyana. Air matanya luluh tak tertahankan. Hatinya diselimuti perasaan takut dan cemas yang tinggi.

Ingatannya kembali ke beberapa tahun silam. Bayang-bayang Cinta terngiang kala ia dan Lyana dulu berlari di bawah teriknya matahari demi ingin menyelamatkan buah hati mereka, namun duka yang mereka dapat. Al tak sanggup jika itu menimpanya lagi.

"Ya Allah, jangan lagi itu terjadi. Aku sangat mencintai istriku. Jika memang Engkau menghendaki kami harus kehilangan anak lagi, hamba ikhlas, asalkan jangan Engkau ambil istri hamba," doa Al dalam hati yang nyeri, melihat Lyana kesakitan.

Al memeluk Lyana yang semakin terkulai lemas hingga tak sadarkan diri. Air mata semakin banjir membasahi wajah tamannya.

"Emes," panggil Al lirih mengguncangkan tubuh Lyana. "Sayang," timpal Al memanggilnya lagi. Tapi tubuh Lyana lemas dan matanya terpejam rapat. "Sayang, jangan bercanda, aku nggak suka bercandamu," pekik Al menegakkan tubuh Lyana dan mengguncangkannya. Tapi Lyana tetap diam tanpa merespon.

Tangis Al pecah mendekap tubuh Lyana yang terkulai tak berdaya. Kekhawatirannya semakin menjadi saat tangan Lyana mulai terasa dingin. Sapto mempercepat laju mobil agar segera sampai di rumah sakit.

##########

🙊🙊🙊🙊🙊🙊🙊🙊
Lyana??? Ada apa denganmu??? Sabar ya Om Jang, kami berdoa semoga semua akan baik-baik saja. Aamiin. Good night all, sweet dream. 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top