TEGAR UNTUK BERPISAH

Kopi bercampur susu di atas meja mulai menghangat. Si pemilik mendiamkannya, mereka malah justru saling membisu, dahinya mengerut seakan sedang berpikir sesuatu.

"Sepertinya usaha kita selama ini akan sia-sia, Om. Lyana bersikeras ingin tetap bercerai," ujar Andra.

Wira menarik napas dalam dan menegakkan tubuhnya. Selama ini diam-diam mereka bekerja sama untuk mempertahankan pernikahan Al dan Lyana. Sejak awal Wira tidak begitu yakin jika Al bersama Bianca. Namun setelah semua kejadian yang menimpa Al dan Lyana, Wira semakin memperkuat keyakinannya agar Al berpisah dengan Bianca dan tetap mempertahankan rumah tangganya bersama Lyana. Apalagi sekarang anak mereka sudah lahir, Wira dan Andra sangat berharap mereka dapat menghempaskan ego dan sifat keras kepala mereka.

"Terus bagaimana dengan papamu? Apa dia masih enggan untuk memaafkan Lyana?" tanya Wira mengingat penolakan Taufik beberapa bulan lalu saat dia menemuinya dan ingin mengobrol mengenai anak-anak mereka.

"Mama sudah berusaha meyakinkan Papa dan hasilnya tetap sama, Om. Papa belum bisa memaafkan Lyana dan masih berkeras hati tidak mau menemuinya," jelas Andra sedih.

Ratna dan Andra sudah sering mencoba berbicara kepada Taufik dan menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya terjadi kepada Lyana dan Al. Tapi, sepertinya Taufik tetap setia menutup mata dan telinga.

"Bagaimana jika kita coba pertemukan Lyana dan Taufik?" usul Wira sudah putus asa dengan cara apa lagi mereka membantu supaya Taufik mau menerima Lyana dan kalau bisa sekaligus Al.

"Kayaknya bukan ide yang bagus deh, Om. Soalnya sampai sekarang kalau aku sama Mama menyebut nama Lyana saja, Papa sudah cemberut dan tiba-tiba jadi emosional. Takutnya kalau mereka ketemu, Lyana semakin tertekan dan sedih karena Papa belum bisa memaafkannya," tolak Andra tak menyetujui usulan Wira.

Wira mengangkat cangkir kopinya yang sudah dingin. Dia menyeruput perlahan sembari berpikir. Suasana di kafe yang tenang menjadi saksi setiap usaha yang mereka kerahkan. Di sinilah tempat biasa Wira dan Andra bertemu dan mengobrol untuk memperbaiki keadaan.

"Om, waktu istirahatku sudah hampir habis. Aku harus kembali ke kantor," sela Andra setelah melirik jam tangannya.

"Baiklah, kalau ada perkembangan tolong kabari ya? Aku akan mencoba bicara sama Al."

"Siap, Om. Semoga saja Al tidak terburu-buru mengajukan surat kesepakatan itu ke pengadilan. Jadi kita masih punya waktu untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Kuncinya di surat kesepakatan itu, Om. Kalau sampai pengedilan mengetahu bukti kuat itu, sudah pasti perceraian akan berjalan lancar," harapan Andra tulus.

"Aku rasa Al tidak akan mengajukannya, Dra," sahut Wira yakin.

Andra mengerutkan dahinya. "Maksud Om? Al tidak akan menceraikan Lyana?" tanya Andra memperjelas maksud ucapan Wira.

"Iya, kalau Om perhatian, Al sudah mulai memperlihatkan tanggung jawab dan perasaannya pada Lyana. Sepertinya Al sudah mulai tertarik dengan istrinya," terang Wira tersenyum manis.

Andra membalas senyumannya. "Memang itu tujuan pertama kita kan, Om? Tapi jujur saja aku masih tidak suka sifat Al yang temperamental. Kalau dia masih saja kasar, Lyana tidak akan mungkin bisa menerimanya."

"Kalau soal itu, biar nanti Om yang bicara sama Al. Sebaiknya kamu kembali ke kantor," ujar Wira mengingatkan.

"Baik deh, Om. Kalau begitu aku duluan ya, Om. Assalamualaikum," pamit Andra beranjak dari duduknya.

"Waalaikumsalam, hati-hati kamu," pesan Wira sebelum Andra pergi meninggalkan kafe.

Selepas Andra pergi, Wira termenung. Dia memikirkan bagaimana masa depan rumah tangga putra satu-satunya.

***

"Kebodohan terbesarku adalah menyia-nyiakanmu. Apakah kamu tidak bisa lagi memberiku kesempatan buat memperbaiki kesalahnku?" Al menengadahkan wajahnya menatap Lyana mengiba.

Lyana bergeming, dia tetap bertahan pada keputusannya.

"Jangan diam saja, beri aku jawaban," desak Al putus asa sudah sering Lyana mendiamkannya dan tidak menghiraukan.

"Aku tetap ingin berpisah, Kak." Lyana menunduk melihat bayi mungil yang ada di pangkuannya.

Hati Al teriris sakit dan sangat perih. Mata Al memanas menahan tangisan. Tiara dan Rani yang mendengar obrolan mereka hanya mematung duduk di sofa tak jauh dari tempat Lyana berbaring.

"Aku permisi dulu." Al berdiri dan langsung keluar dari ruang perawatan Lyana.

Lyana berusaha menahan air mata, dia mengelus pipi bayi merah yang belum diberikan nama. Namun sayang, air matanya tak mampu terbendung lagi, dia meluncur hingga menyesakkan dada. Tiara berdiri menghampiri Lyana. Tangannya terulur mengelus kepalanya sayang.

"Maaf," ucap Tiara menyentuh hati kecil Lyana. "Oma pulang ya, Sayang," sambung Tiara mencium pipi si kecil.

Tanpa menunggu balasan apa pun dari Lyana, dia langsung pergi menyusul Al. Kepergian Tiara semakin merobek hatinya. Bukan maksud dia menolak kehadiran Tiara, hanya saja Lyana masih sakit hati dengan perlakuannya dulu. Dia membelai wajah cantik si kecil dan mencium keningnya. Lyana mencari ketenangan hati dengan mendekap si kecil.

"Ly," seru Rina mengelus bahunya selepas kepergian Tiara.

Lyana menengadahkan wajahnya, pipinya basah air mata.

"Kak," ucap Lyana kembali menunduk melihat bayi mungil yang masih merah memejamkan mata tertidur pulas.

Bahu Lyana terguncang, Rani menarik kepalanya agar bersandar di dada dia. Rani memahami posisi Lyana memang sekarang sulit. Cinta telah hadir di hati Lyana, namun rasa kecewa dan kebenciannya terhadap sifat Al yang temperamental membuatnya sulit untuk menerima dia kembali.

"Apa kamu mencintainya?" tanya Rani pelan mengelus rambut Lyana lembut.

Lyana cepat mendongakkan wajahnya, dia bergeming. Dalam hati menjawab iya, tapi bibir sangat kelu untuk mengakuinya.

"Jangan dijawab kalau sulit mengungkapkan padaku. Kakak tahu isi hatimu. Kamu diam-diam mencintai Al bukan?" tebak Rani tepat sesuai isi hati Lyana.

Lyana semakin terisak dan menelungkupkan wajahnya di dada Rani.

"Tapi aku tidak bisa bertahan dengannya. Dia sudah terlalu sering membuatku sakit hati," ucap Lyana di sela sesenggukannya.

Rani menghela napas dalam, memang sulit jika cinta hadir namun tertahan oleh rasa dongkol.

"Jangan biarkan kebencian menguasai hati kamu. Sekarang sudah ada si kecil, dia butuh bimbingan ayahnya. Jangan egois," nasihat Rani berusaha meluluhkan kerasnya hati Lyana.

"Maaf, Kak. Aku tetap tidak bisa kembali sama Kak Al. Bagaimana kalau dia hanya merasa kasihan padaku dan suatu saat nanti dia mengulangi hubungannya sama Kak Bianca karena mereka masih saling mencintai? Tidak ada yang tak mungkin untuk orang yang berpisah karena terpaksa dan masih saling mencintai. Aku cuma nggak mau Kak Al menerimaku lantaran rasa iba atau sekadar ingin bertanggung jawab." Lyana menyeka air matanya dan menurunkan si kecil di sampingnya.

Dia ikut berbaring memiringkan tubuhnya memeluk si kecil dengan uraian air mata.

"Susah kalau tidak saling terbuka. Coba luangkan waktu untuk kalian ngobrol, saling terbuka. Ungkapkan apa yang kamu mau dan apa yang Al mau. Mungkin kalau kalian sudah saling berbincang, siapa tahu kalian memiliki satu tujuan untuk hidup bersama. Atau mungkin kalian punya solusi terbaik dan jalan keluar tanpa harus bercerai."

"Nggak, Kak. Aku tetap tidak mau." Lyana tetap masih tegar pada pendiriannya.

Rani angkat tangan, susah jika mengobrol dengan hati yang telah diselubungi kebencian.

"Siapa yang bakalan tahu keinginan orang diam? Diam itu awal dari kesalahpahaman, orang perlu berkomunikasi untuk menghindar perselisihan paham. Kalau kamu sama Al tetep sama-sama diam, yaaa... sampai kapan pun kalian bakalan tidak bisa satu pemikiran." Rani mengelus rambut Lyana yang berbaring memunggunginya memeluk si kecil.

Lyana diam mencerna ucapan calon kakak iparnya itu.

***

Wajahnya tegang dan sangat serius, penampilannya pun acak-acakan. Rambut berantakan, kancing baju terbuka setengah memperlihatkan kaus dalamnya, wajah kusam dan hati kalut. Tangannya mengobrak-abrik semua laci dan lemari. Bahkan dia sudah mencarinya di seluruh kamar. Tiara membantunya mencari di seluruh tempat dalam rumah megah itu, begitupun para pekerja rumah tangga yang ada di rumah. Semua sibuk mencari barang penting bagi Al.

"Bagaimana Al? Sudah ketemu?" tanya Tiara menghampirinya ke kamar.

"Belum, Ma," jawab Al menarik sprei dan mengangkat kasurnya, tapi barang yang dia cari tak di sana.

Tiara menghela napasnya lelah, dia menghempaskan pantatnya di kursi.

"Kamu taruh di mana sih, Al? Diingat-ingat lagi," geram Tiara lelah.

Sepulang dari rumah sakit mereka langsung mencari barang yang sangat penting untuk kelangsungan rumah tangga Al dan Lyana.

"Al ingat banget kok, Ma. Setelah Lyana menandatangani itu, langsung Al simpan di laci sini." Al menunjuk laci bufet samping meja rias. "Dan aku nggak pernah keluarkan dari tempat ini," imbuh Al mengacak rambutnya asal dan mengusap tengkuknya yang tegang.

Wira menautkan kedua alisnya bingung melihat kamar Al berantakan dan tak beraturan.

"Ada apa ini?" tanya Wira dengan suara tegas masuk ke kamar Al.

Tiara langsung berdiri dan menghampiri suaminya.

"Pa, surat perjanjian Al sama Lyana hilang. Kami sudah mencari di seluruh rumah, tapi nggak ketemu," jelas Tiara bingung dan ikut merasa cemas.

Wira termangu, ini yang dia khawatirkan. Bagaimana jika surat perjanjian itu ditemukan orang yang tak bertanggung jawab? Setelah Al dan Lyana pindah ke apartemen, tidak ada satu orang pun yang berani masuk ke kamar Al kecuali dia dan Tiara. Kalaupun seorang ART mereka hanya membersihkan kamar. Apa mungkin mereka yang mengambilnya, tapi buat apa? Tidak masuk akal jika ART yang mengambil.

"Memangnya mau kamu buat apa sih, Al?" tanya Wira.

"Al mau bakar, Pa. Biar Lyana tidak punya bukti buat menceraikan Al. Dia tetap mau menceraikanku!!! Pa, aku nggak mau cerai!!!" pekik Al menangis menjatuhkan bokongnya di tepi ranjang.

Dalam hati Wira tersenyum lega, belum juga dia menasihati Al, dia sudah mendapat jawaban yang diharapkan.

"Coba kita cari dulu, siapa tahu kamu lupa menaruhnya atau mungkin jatuh di kolong," ujar Wira ikut serta mencari.

Tiara mengambil sapu dan merogoh semua kolong kamar, tapi hanya debu yang dia dapat.

"Nggak ketemu, Pa," ucap Al lesu.

Wira dan Tiara saling memandang sedih. Biarpun dulu dia sempat tidak menyukai Lyana, tapi setelah melihat perjuangannya, Tiara sadar perlakuannya itu keterlaluan. Apalagi setelah melihat bayi mungil yang cantik mirip dengan wajah Al, Tiara sangat menyesal sudah pernah meragukannya.

"Kamu ingat-ingat lagi Al, di mana kamu simpan," ujar Tiara, wajahnya cemas dan bingung.

"Ma, berapa kali sih Al bilang. Al simpan di laci sana, sampai aku keluarkan semuanya dan aku cek satu per satu kertas-kertas itu nggak ketemu." Al putus asa, dia duduk di lantai bersandar di tempat tidur.

"Sudah, besok kita cari lagi. Sekarang kita ke rumah sakit, malam ini Lyana sudah boleh dibawa pulang kan?" sela Wira lelah mencari surat penting itu.

"Iya, Pa," jawab Al berdiri.

"Ya sudah, ayo Ma, kita siap-siap," ajak Wira.

Biarpun dia terlihat tenang namun hatinya sangat cemas dan was-was. Bagaimana jika yang mengambil kertas perjanjian itu Lyana? Padahal dia bersikeras tetap ingin bercerai dengan Al.

***

Ratna duduk di samping tempat tidur Lyana. Bayi kecil itu terus berada di gendongannya sejak dia datang. Kesempatan Ratna datang ke rumah sakit setelah satu hari Lyana melahirkan. Itu saja Ratna mencuri waktu karena Taufik kini sedang berada di luar kota.

"Sayang, papa kamu emangnya nggak tahu kalau Lyana sudah melahirkan?" tanya Rani ketika mereka merapikan barang-barang yang akan dibawa pulang.

"Aku sudah memberi tahu dan Mama pasti juga sudah membujuk Papa. Tapi kamu tahu sendiri bagaimana kerasnya hati Papa. Dia masih sangat kecewa," jawab Andra sedih sembari memasukkan pakaian bayi ke dalam tas jinjing.

Rani mengelus bahu Andra lembut. "Kamu yang sabar ya? Aku yakin suatu saat pasti Om Taufik akan luluh. Sedikit demi sedikit memberikannya penjelasan, pasti beliau akan memahami. Semangat!!!"

Rani mengangkat tangannya memberikan semangat kepada calon suaminya. Andra tersenyum dan mengacak rambutnya sayang.

"Makasih ya, Sayang. Kamu sudah sabar menghadapi masalah keluargaku dan membantuku menjaga Lyana. Tugas kita bertambah, si kecil butuh perhatian kita," ujar Andra bersyukur memiliki kekasih yang pengertian.

"Iya, itu kewajiban kita sebagai kakak. Itu kan gunanya punya saudara. Bisa saling menjaga dan mengingatkan." Rani tersenyum sangat manis.

Andra membalas senyumannya dan mereka pun melanjutkan mengepak pakaian Lyana.

"Ly, kamu sudah menyiapkan nama untuknya?" tanya Ratna tak bosan-bosannya terus memandangi wajah mungil tak berdosa itu.

"Belum, Ma. Masih bingung dan lagi cari-cari." Lyana duduk di tepi ranjang kakinya menjuntai ke bawah.

"Diskusikan sama Al. Bagaimanapun si cantik juga darah dagingnya. Al juga berhak memberikannya nama," nasihat Ratna pelan-pelan bernada sangat lembut agar tak menyinggung perasaan Lyana.

"Iya nanti kalau dia datang," sahut Lyana memanyunkan bibirnya jika membahas Al hatinya masih dongkol. "Kak, aku langsung ke apartemen Kakak saja ya?" sambung Lyana menatap Andra memohon.

"Loh, kenapa? Al sudah menyiapkan kamar khusus buat si kecil di apartemennya," tanya Andra terkejut.

"Aku nggak mau kembali ke apartemen Kak Al. Izinkan aku tinggal di apartemen Kakak, sementara waktu sampai aku bisa kerja dan mengontrak rumah sendiri," mohon Lyana malah membuat hati semua orang sedih.

Wira, Tiara dan Al mendengar ucapan Lyana dari balik pintu saat mereka ingin masuk ke ruang perawatannya. Wira mengelus bahu Al, dia memberikan semangat dan kekuatan agar Al tak menyerah.

"Jangan bicara begitu, kamu boleh tinggal di apartemen Kakak sampai kapan pun sesuka hatimu." Andra mendekat dan mengelus rambutnya sayang.

"Makasih, Kak," ucap Lyana memeluk Andra.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab mereka serentak.

Wira masuk bersama Tiara diikuti Al dari belakang. Al menunduk sedih dan raut wajahnya sangat berat. Dia menyalami Ratna dan mencium tangannya. Al langsung menghampiri Rani membantunya membereskan barang-barang Lyana. Melihat sikap Al seperti itu ada rasa sedih dalam hati Lyana. Dia sebenarnya tidak menginginkan situasi ini terjadi. Tapi mungkin dengan keputusan berpisah akan lebih meyakinkan hatinya dan perasaan cintanya kepada Al. Lyana ingin mengetahui sejauh apa usaha dan keseriusan Al untuk mengajaknya bersatu. Dengan perpisahan Lyana berharap Al akan menyadari semuanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top