TAK SUDI MENATAPNYA

Samar-samar telinga itu mendengar isakan tangis seseorang. Perlahan dia membuka matanya dan menoleh ke sumber suara. Al menyipitkan mata melihat bahu polos terguncang milik seorang wanita. Dia memegangi selimutnya erat memunggungi Al.

"Hei, siapa kamu?!!" tanya Al terkejut dan langsung terduduk memerhatikan dirinya dan dia.

Tubuh mereka sama-sama polos hanya tertutup dengan bed cover. Wanita itu terdiam dan terus menangis. Al menjenguk melihat pemilik tubuh itu.

"Kamu?!!!" Al shock melihatnya, wanita itu bukanlah Bianca seperti yang dia harapkan. "Kenapa kamu bisa di sini? Terus apa ini? Kenapa kita bisa seperti ini?" sergah Al mengacak rambutnya frustrasi.

Lyana tak sudi memutar tubuhnya, dia masih setia menangis memeluk tubuhnya sendiri. Al memukul-mukul kepalanya, penyesalan tak ada gunanya karena semua sudah terjadi. Lyana semakin terisak-isak hingga dadanya sangat sesak. Al memijat batang hidung di antara dua matanya, lalu dia mengusap wajahnya kasar.

"SHIT!!!!" umpat Al kasar membuka bed cover dan langsung masuk ke kamar mandi.

Lyana memecahkan tangisannya, seluruh badannya sangat sakit dan bagian bawahnya juga perih. Bayangan orang tuanya menari-nari di benaknya, bagaimana jika mereka tahu? Pastilah akan sangat kecewa. Rendra? Pria itu tidak luput dari pikirannya, Lyana merasa tak pantas lagi menjadi kekasihnya. Kesuciannya terenggut oleh pria yang sama sekali tidak dia cinta. Pupus sudah semua harapannya, hidupnya hancur berkeping-keping menjadi puing yang tak berguna.

Keperawanan yang selama ini sangat dia jaga, dengan mudah pria itu merampasnya. Ingin marah? Sudah pasti, tapi dia tidak berani karena Al adalah ketua yayasan tempatnya mencari ilmu. Lantas apa yang harus dia perbuat? Diam dan meratapi nasib malangnya? Iya! Begitulah yang dapat Lyana lakukan. Wisata yang harusnya menggembirakan justru berujung pada kejadian yang tidak pernah dia sangka dan duga. Ini juga bukan maunya!

Al mengguyur tubuhnya di bawah shower, kepalanya masih sedikit pusing ditambah kejadian pagi ini. Betapa hancur hati Bianca jika sampai mengetahui hal itu?

"Bianca nggak boleh tahu soal ini," gumam Al. "Bodooooh!!! Kenapa harus gadis itu!!!" pekik Al menyalahkan dirinya sendiri.

Dia memukul tembok berulang kali melepaskan rasa jengkel dan amarahnya. Al juga mengkerutuki dirinya sendiri sambil menghantamkan kepala pelan ke tembok. Tidak ingin membuat orang curiga, Al lantas segera menyelesaikan mandinya. Dia keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih yang dililitkan di pinggang. Posisi Lyana tidak sedikit pun berubah, dia masih saja memunggungi Al dan terus menangis. Pandangan Al menyipit melihat warna merah di sprei putih. Dia menghela napasnya dalam dan meraup wajah frustrasi. Dia menyisirkan tangannya ke atas hingga menyibak rambut hitamnya.

'Jadi aku yang merenggut keperawanannya? Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini. Bianca saja yang calon istriku sudah tidak perawan saat pertama kali kami bercinta. Tapi sekarang, aku malah merenggut kesucian gadis yang tidak pernah aku kenal dan sama sekali tidak aku cintai.' Al mengusap tengkuknya yang terasa sangat berat.

Tidak ingin berlama-lama di kamar itu, dia pun memungut pakaiannya yang berceceran di lantai lalu mengenakannya. Al mengambil beberapa uang dari dompet, dia menghampiri Lyana dan berjongkok di samping tempat tidur menghadapnya yang terus mengeluarkan air mata. Dadanya penuh tanda merah bekas bercinta mereka semalam, itu semakin mengoyak perasaan Al.

"Saya minta maaf, kejadian ini ketidaksengajaan dan saya sangat memohon, cukup antara kita saja yang tahu. Maafkan saya," ucap Al meletakkan beberapa lembar uang seratus ribuan di samping bantal.

Hati Lyana semakin sakit bagaikan teriris sembilu, perih dan harga dirinya sekejap jatuh seakan terinjak-injak oleh pria brengsek yang sudah merenggut seluruh hidupnya. Al seperti menyamakan Lyana dengan wanita penghibur dan pemuas nafsunya. Tanpa berucap apa pun, dia keluar meninggalkannya. Lyana menangis histeris, apa Al pikir Lyana orang yang tidak memiliki perasaan? Justru dia berhati lembut dan Al sudah menghancurkannya.

***

Musik melantun melo menguasai tempat itu. Banyak wisatawan dari lokal dan mancanegara menikmati sarapan di sana. Di salah satu meja suasana hening tidak ada obrolan. Bianca terus mengerucutkan bibir kesal karena Al semalam tidak jadi berkunjung ke kamarnya. Padahal dia sudah menunggu hingga dini hari. Al datang, tapi sudah pagi selepas dia dari kamar Lyana.

Pikiran Al kalut karena Bianca terus mengomelinya dan sekarang malah ngambek. Saat ingin menyuapkan nasi, tiba-tiba Al mengingat wajah polos Lyana yang sedang menangis. Ada perasaan bersalah menggelayut dalam hatinya. Rasa makanan yang sebenarnya sedap dan lezat, namun bagi Al terasa hambar. Dia kepikiran keadaan Lyana.

"Al, kamu sudah mendapatkan mobil?" tanya Wira. Al tidak menyahut, dia malah melamun.

"Al," panggil Tiara lembut mengelus lengannya.

Al tersentak dan sadar dari lamunannya.

"Iya," sahutnya langsung menegakkan tubuh mendongakkan kepala menatap orang tuanya bergantian.

"Kamu sudah dapat mobilnya belum?" ulang Wira tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala.

"Oh itu, mmm... iya, semalam aku sudah menyewanya," jelas Al tersenyum paksa.

"Ooooh, habis kita sarapan langsung berangkat saja ya? Kita akan menyusul rombongan ke pantai Kuta," perintah Wira.

Semua mengangguk menyetujui Wira, begitu juga Al. Ketika mereka sedang menikmati sarapan, seorang gadis berdiri di samping tempat duduk Al dan sekonyong-konyong meletakkan uang di atas meja. Al terkejut dan langsung mendongakkan kepala menatapnya. Semua mengerutkan dahi bingung, apa maksud Lyana memberi Al uang?

"Maaf, saya tidak bisa menerimanya," ucap Lyana menunduk tak sudi menatapnya.

Jika dia menatap wajah Al, yang ada perasaannya semakin hancur dan dia merasa tubuhnya sangat kotor. Debaran jantung Al berjalan sangat cepat dan susah payah dia menelan ludahnya. Al menundukkan kepala, was-was dan sangat takut jika Lyana akan membongkar kejadian yang baru saja mereka alami di depan calon istri dan orang tuanya.

"Saya permisi dulu," pamit Lyana membungkukkan tubuhnya menyapa Wira dan Tiara.

Tanpa memandang wajah Al, Lyana pergi begitu saja. Al menatap nanar punggung Lyana yang menggendong ransel hitam, keluar dari restoran hotel. Wira mengerutkan dahi dan menatap Al bingung.

"Uang apa itu?" tanya Bianca meliriknya.

Tubuh Al menegang, sebelum menjawab dia berdehem dan meminum air putih agar debaran jantungnya terkontrol.

"Mmm... itu... dia...." Al bingung mencari alasan. Semua menatap Al menunggu jawaban. "Dia kemarin kehabisan uang dan aku meminjaminya. Iya, begitu." Al tersenyum kikuk menjawab asal dan sekenanya.

Bianca melirik Al curiga. "Masa?" tanyanya tak percaya.

"Iya Sayang, masa aku tega sih membiarkan seorang siswi tidak punya uang di tempat jauh begini? Mungkin saja dia baru mendapatkan kiriman dari orang tuanya," rayu Al mengangkat tangan Bianca dan mengecupnya mesra.

Hati Bianca berdesir hangat dan tersenyum tak jelas. Wira dan Tiara tersenyum, mereka menggelengkan kepala. Putranya memang selalu bisa meluluhkan hati Bianca.

"Tapi kenapa Lyana bisa ketinggal rombongan ya?" sela Wira heran.

"Entahlah!" sahut Al mengedikkan bahunya tak acuh. "Sudah yuk, kita berangkat saja," sambung Al mengalihkan pembicaraan.

Al segera ke kasir dan membayar. Saat mereka keluar dari hotel dan berjalan menuju ke tempat parkir, Wira tiba-tiba berhenti melangkah. Pandangannya fokus ke satu titik.

"Ada apa, Pa?" tanya Tiara ikut berhenti.

"Lihat, Ma. Itu bukankah Lyana?" tunjuk Wira ke arah gadis yang berdiri sendiri melamun di pinggir jalan sambil menggendong ransel.

Al ikut melihat arah telunjuk Wira mengacung. Mereka memerhatikan Lyana naik ke dalam taksi.

"Mau ke mana dia?" gumam Tiara.

Tanpa menjawab apa pun, Wira langsung menghubungi Dona.

"Halo, Dona! Saya melihat Lyana pergi sendiri naik taksi. Kenapa dia bisa terpisah dari rombongan?" tanya Wira tegas.

"Oh iya, Pak. Maaf sebelumnya. Kemarin Lyana sakit dan memilih untuk beristirahat di hotel. Terus tadi pagi dia menelepon saya, katanya ingin pulang duluan ke Jakarta. Dia juga sudah memesan tiket pesawat," jelas Dona sungkan dan takut Wira akan marah atas keteledoran panitianya.

"Oh begitu? Kenapa tidak ada pengawas yang menemaninya? Kenapa kamu tidak bilang saya? Kami kan masih di hotel, kalau tahu ada yang sakit setidaknya saya bisa membawanya ke rumah sakit biar mendapat penanganan yang baik," omel Wira.

"Maaf, Pak."

"Ya sudah kalau gitu!"

Wira pun memutuskan panggilannya, dia menghela napas dalam. Baru kali ini karyawannya teledor membiarkan salah satu murid pergi dan mengurus keperluannya sendiri. Al terdiam hatinya gundah dan merasa sangat amat bersalah. Dia tahu, Lyana pulang lebih cepat karena dirinya.

***

Lyana yang biasanya selalu ceria dan suka membaur dengan teman-teman, setelah pulang dari Bali, dia menjadi pemurung dan menarik diri dari lingkungan. Teman-temannya pun heran, Lyana berubah menjadi pendiam.

"Ly, dipanggil Pak Al tuh! Disuruh ke ruangannya," pekik teman yang satu kelas dengannya.

Lyana yang sedang membaca buku di tempat duduknya, tidak memiliki hasrat menemui Al. Dia tetap diam dan tidak mengacuhkan panggilan temannya.

"Ly!!!" panggilnya lagi.

"Apa sih!!!" sentak Lyana kesal membanting bukunya di meja.

Semua teman-teman yang ada di dalam kelas langsung menoleh menatapnya heran. Tidak biasanya Lyana bersikap kasar dan aneh seperti itu.

"Biasa aja kali! Nggak perlu nyolot juga! Gue kan cuma menyampaikan pesan Pak Al." Teman Lyana malah ikut marah, tersinggung karena dia lebih dulu membentaknya.

Entah mengapa sekarang Lyana lebih mudah marah dan suasana hatinya tidak pernah baik. Perasaannya selalu jengkel dan malas berbicara.

"Sudah sono temui dulu!!! Gue nggak mau ya dibilang nggak bisa menyampaikan amanah!" sergahnya melirik tajam Lyana lantas duduk di bangkunya.

Lyana mendengus sebal dan langsung pergi keluar, bukan menemui Al tapi dia malah pergi ke belakang sekolah menumpahkan perasaannya yang tidak menentu. Menangis dan marah! Dia terisak-isak seraya mengomel sendiri agar beban di hatinya sedikit lega.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top