PENJAHAT BERHATI MALAIKAT

Langit gelap dan guyuran hujan tak kunjung reda. Tubuh mungil itu melangkah tanpa ada tujuan. Dia bingung harus pergi ke mana. Sepasang mata berbulu lentik dengan maskara tebal melihatnya dari dalam mobil hitam yang melaju dengan kecepatan sedang.

"Sayang, bukankah itu murid di sekolahan kamu?" tanya Bianca menunjuk ke trotoar.

Al menoleh sekilas menajamkan pandangannya, dia tahu jika itu Lyana.

"Bukan ah, salah lihat kamu," elaknya mengalihkan perhatian Bianca.

"Ya, mungkin aku salah lihat." Bianca kembali menatap lurus ke depan.

Al kembali menoleh memastikan jika yang dilihatnya benar, dia menghela napas dalam dan tiba-tiba hatinya dirasuki perasaan cemas serta bingung. Kenapa gadis itu malam-malam berjalan sendiri di bawah guyuran hujan lebat sambil menangis? Pikir Al.

"Sayang, aku antar kamu pulang ya? Besok siang aku jemput, kita pergi bersama mengecek gedungnya," ujar Al gelisah tak tenang memikirkan Lyana.

"Oke," sahut Bianca tidak memiliki kecurigaan apa pun kepada sikap Al yang sudah gusar.

Bianca kenal bagaimana Al, dia sangat beruntung memiliki calon suami yang perhatian, sayang kepadanya dan menerimanya apa adanya. Meskipun Al tahu dia sudah tidak lagi perawan, namun dia tidak pernah menanyakan siapa orang yang merenggutnya. Al pikir jika itu adalah masa lalu Bianca dan tidak perlu mereka ungkit. Setiap orang memiliki masa kelam, Al menganggap itu sebagai masa abu-abu calon istrinya.

"Baiklah, sekarang kamu turun dan langsung istirahat ya? Jangan pergi ke mana-mana, calon pengantin," goda Al menjawil dagu Bianca genit.

"Aaaah... apaan sih. Iya, kamu juga langsung pulang ya? Jangan main ke klub, calon pengantin harus terlihat segar dan bugar saat di pelaminan nanti." Bianca mengecup pipi Al lantas keluar dari mobil.

Al tersenyum dan melambaikan tangannya menunggu Bianca masuk. Setelah Bianca tak terlihat, Al langsung menancap gasnya dengan kecepatan tinggi. Dia kembali ke jalan di mana tadi melihat Lyana. Al terus menoleh ke kanan dan kiri, hatinya gelisah tak menentu, pikirannya pun kalut.

"Sialan!!! Gadis itu menyusahkanku saja," gumam Al memukul setirnya.

Saat melihat sosok gadis duduk di halte sendiri, mendadak Al menghentikan mobilnya. Untung saja jalanan lengang. Al lantas meminggirkan mobil di depan halte. Dia langsung turun dan berdiri di depan tubuh mungil yang menggigil dengan pakaian basah kuyup.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Al datar.

Lyana menengadahkan wajah, bibirnya biru dan bergetar. Air matanya kembali tumpah, menghempaskan segala rasa yang ada, Lyana berhamburan ke pelukan Al dan menangis histeris. Dia butuh rangkulan dan dekapan sebagai tempat berlindung. Al termangu, dia terkejut Lyana mau memeluknya, padahal selama ini gadis itu kelihatan enggan memandang apalagi bersentuhan dengannya. Al membalas pelukannya, menenangkan tangisannya yang semakin mengiris perasaan.

"Ikut denganku." Al mengajak Lyana masuk ke dalam mobil.

Dia menyelimuti tubuhnya menggunakan jas hitam. Tubuh Lyana semakin menggigil, Al takut jika dia akan sakit. Oleh karena itu Al langsung meninggalkan tempat itu dan membawanya ke hotel. Sesampainya di hotel Al kebingungan, tubuh Lyana sangat dingin dan wajahnya memucat. Jika pakaian basahnya tidak dilepas, dia akan semakin kedinginan dan lama-lama akan mati membeku.

"Maaf," ucap Al melucuti seluruh pakaian Lyana.

Gadis itu tidak sadarkan diri, dia bergeming ketika Al melucuti pakaiannya hingga polos. Susah payah Al menahan hasratnya, dia tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Tak ingin tergoda oleh kemolekan tubuh langsing berkulit putih itu, Al segera menutupnya dengan selimut.

"Ly," panggil Al menepuk pipinya kecil. "Lyana!!! Hei, sadarlah!" Al kebingunan.

Dia mencari sesuatu untuk menyadarkannya, namun di kamar hotel itu tidak didapati minyak angin atau balsam. Al memegangi tangan Lyana, dingin dan buku-buku kukunya memutih. Dia menyelimuti tubuhnya sampai leher dan mengusap-usap tangan Lyana, memberikan kehangatan. Tapi Lyana tetap bergeming malah bibirnya semakin pucat. Al menggelengkan kepala, ada ide gila muncul di otaknya, tapi hanya dengan cara itu dia dapat menghangatkan tubuh Lyana.

"Semoga saat kamu bangun nanti nggak salah paham," ucap Al pelan meloloskan baju dan celananya. Dia hanya menyisakan boxer.

Al merangkak ke atas tempat tidur dan menyusup di bawah selimut memeluk Lyana. Kulitnya merasa dingin ketika bersentuhan dengan kulit Lyana, dia tidak memikirkan apa-apa. Dalam benaknya hanya ingin menyelamatkan Lyana dan menghangatkan tubuhnya. Dia mengeratkan pelukannya ada rasa aneh mencuat dalam dasar hatinya. Nyaman dan menenangkan. Kulit bertemu kulit akan mempercepat kenaikan suhu badan menjadi lebih hangat.

"Maafkan aku, ini gara-gara aku," ucap Al lirih menempelkan pipinya di kening Lyana.

Al memejamkan mata, dia mendekap tubuh mungil itu nyaman di bawah selimut yang tidak begitu tebal namun dapat membantunya menghangatkan tubuh Lyana. Selama memeluk Lyana, benak Al sama sekali tak terbesit bayangan Bianca. Dia hanya merasakan hal yang tidak pernah didapatkan saat memeluk Bianca, yaitu ketenangan dan kenyamanan.

***

Mata Al perlahan terbuka, jendela kecil memancarkan cahaya matahari. Ia sudah siap menyongsong masa depan bersama sang pejuang hidup. Sejak semalam, Al terus memeluk Lyana tanpa sedetik pun memudarkan dekapannya. Al merasakan tubuh Lyana tak lagi sedingin tadi malam, melainkan justru panas. Dia melepaskan pelukannya dan memegang kening Lyana, panasnya cukup tinggi. Dia juga tidak kunjung membuka mata.

"Ly, bangun! Hei, buka mata kamu. Kalau mendengarku tolong bergerak." Tak ada pergerakan dari Lyana.

Al sangat ketakutan, dia menempelkan telinganya di depan dada Lyana, jantungnya berdetak lebih cepat tapi matanya terpejam dan bibirnya memucat.

"Aduuuuh... apa yang harus gue lakukan?" gumam Al menggaruk-garuk kepalanya. "Gue butuh dokter!" Al berniat meninggalkan Lyana dan mencari dokter, namun dia urungkan. "Kalau gue undang dokter ke sini dan menanyakan tentang Lyana...?" Al berpikir keras. "Damn shit! Nggak mungkin, gue nggak bisa. Bagaimana jika sampai keluarga gue tahu apalagi Bianca? Ya Allah!!!" Kepala Al pening, dia memeganginya kesal.

Al mengusap-usap rambut kasar dan mengacak-acaknya frustrasi hingga berantakan. Dia menoleh ke samping, Lyana masih setia memejamkan mata tapi masih bernapas. Itu yang paling penting, yang mampu sedikit melegakan perasaan Al. Itu tandanya Lyana belum meninggal.

Al turun dari tempat tidur dan memakai pakaiannya. Dia masuk ke kamar mandi, mencelupkan sapu tangannya ke dalam air dingin lalu dia peras dan keluar. Sedikit ragu, tapi harus dia lakukan. Al meletakkan sapu tangan itu di kening Lyana.

"Ly." Al memanggilnya lirih.

"Maafin ... Lyana Pa. Maaf."

Al samar-samar mendengar Lyana mengucapkan sesuatu tapi tidak jelas. Al mendekatkan telinganya di depan bibir Lyana.

"... Lyana salah, maaf." Hanya kata itu yang didengar Al.

Al sudah dapat menduga, pasti orang tua Lyana sudah mengetahui tentang kehamilan itu. Buktinya Lyana mengigau meminta maaf seperti itu. Al menghela napas dalam dan menghembuskannya kasar. Dia harus keluar mencari sesuatu untuk Lyana.

"Ly, aku keluar dulu ya?" bisik Al di telinganya.

Meskipun Lyana tidak merespon, namun Al tetap keluar membawa pakaian Lyana yang basah. Dia mengunci kamar dari luar, dengan berat hati Al meninggalkannya.

"Permisi." Al berdiri di depan meja resepsionis.

Hotel yang dia sewa tidak mewah tapi standart. Al tidak ingin menarik kecurigaan orang yang mengenalnya jika melihat dia keluar dari hotel.

"Iya Bapak, bisa saya bantu?" tanya seorang wanita berdandan cantik tersenyum ramah.

"Mmm... hotel ini menyediakan laundry tidak ya?" tanya Al ragu.

"Maaf Bapak, kami tidak melayani laundry. Jika memerlukannya, Bapak bisa ke luar, di seberang jalan sana ada," resepsionis itu menunjuk ke depan.

"Oh begitu, oke terima kasih," ucapnya lantas pergi ke laundry yang wanita itu tunjukan.

Al memasukkan pakaian basah Lyana ke sana, sebelum pergi, dia melihat ukuran bra dan nomor celana dalam Lyana. Al langsung pergi ke toko pakaian wanita, dengan memakai kacamata hitam dan menghempaskan rasa malu, dia membeli keperluan Lyana. Dari pakaian dalam hingga baju dan celana sehari-hari serta piyama.

"Berapa semuanya?" tanya Al membayar ke kasir.

"Totalnya dua juta empat ratus delapan puluh dua ribu, Pak."

"Sudah semuanya kan? Jangan ada yang tertinggal," ucap Al dingin dan wajahnya pun datar.

"Sudah, Pak," jawab kasir wanita itu tersenyum malu seperti menahan tawa.

Al lalu membayar dan membawa 5 plastik penuh dengan pakaian wanita. Dia juga mampir ke minimarket, membelikan perlengkapan mandi dan lain-lain yang diperlukan Lyana. Tidak hanya itu saja, Al juga membeli sarapan untuk mereka. Setelah semua didapatkan, dia kembali ke hotel. Al kerepotan membawa banyak barang.

Saat dia membuka pintu, ternyata Lyana sudah bangun. Dia duduk bersandar di kepala ranjang sambil menelungkupkan wajahnya di sela-sela lutut menangis terisak-isak. Al meletakkan barang bawaannya begitu saja di lantai dan langsung menghampiri dengan wajah cemas.

"Ly, kenapa kamu menangis?" tanya Al khawatir menegakkan kepala Lyana.

"Kenapa Bapak melakukannya lagi? Apa salah saya?!!!" bentak Lyana salah paham.

"Sumpah aku tidak melakukan apa pun! Aku cuma membawamu ke sini dan...." Al terdiam, jika dia mengatakan perbuatannya semalam memeluk tubuh telanjangnya, pasti Lyana akan semakin salah paham. "Iya, cuma itu," sambungnya.

Lyana berhenti menangis menatap kedua bola mata Al. Dia melihat kejujuran di dalam mata hazel itu.

"Yakin?" tanyanya sesenggukan. Al mengangguk. "Terus kenapa aku tidak memakai pakaian? Di mana pakaianku?" tanya Lyana mengeratkan selimutnya.

"Maaf, semalam kamu tidak sadarkan diri, terus aku minta penjaga melepaskan pakaianmu. Kamu menggigil, tidak mungkin kan kamu tidur dengan pakaian basah?" dusta Al padahal dia yang melepaskan pakaiannya. Itu karena Al tidak ingin Lyana semakin marah padanya.

"Terus di mana pakaianku sekarang? Aku nggak mau begini." Suara Lyana kembali bergetar siap menangis lagi.

"Sssst... kamu jangan nangis ya? Kamu tenang saja, aku sudah membelikan pakaian untukmu." Al mengambil belanjaannya dan meletakkan di samping Lyana.

"Bapak yang beli ini semua?" tanya Lyana heran menatap Al.

"Iya, aku tidak tahu merk apa yang biasa kamu pakai. Jadi aku menyamakan dengan merk yang sering aku beli. Terus di situ juga ada sabun dan lain-lain. Mungkin kamu membutuhkannya. Aku akan keluar, nanti kembali setelah kamu berpakaian lengkap," ujar Al tersenyum tipis lantas meninggalkan Lyana.

Ada rasa yang sulit diartikan dalam hati Lyana. Dia pikir Al adalah pria yang lepas dari tanggung jawab, tidak peduli dan egois. Tapi melihat semua perhatiannya kali ini, ada sedikit perubahan cara pandang Lyana kepada ayah biologis dari janin yang sekarang sedang tumbuh dalam rahimnya. Sayangnya, rasa kecewa dan benci Lyana masih menutupi mata hatinya. Sebaik apa pun Al, bagi Lyana dia tetap orang yang sangat bersalah atas semua hal yang terjadi padanya.


Satu jam berlalu, Al kembali masuk ke dalam kamar. Lyana sudah berpakaian lengkap dan wajahnya cukup segar walaupun masih pucat. Dia sedang duduk di sofa menaikkan kedua kaki bersantai menonton televisi. Al mendaratkan bokongnya di samping Lyana.

"Kamu sementara tinggal di sini dulu ya? Aku sudah mengurus keperluanmu selama ada di sini. Kamu jangan memikirkan apa pun, aku janji setelah urusanku dan Bianca selesai, aku akan menemuimu. Kita akan pikirkan bagaimana selanjutnya mengenai kehamilanmu," ujar Al mengingatkan kepedihan yang sebenarnya sudah Lyana lupakan.

Iya! Lyana sempat lupa jika sekarang dirinya sedang hamil anak Al. Hiburan menonton kartun kesukaannya yang membuat dia lupa jika saat ini sedang dihadapkan pada masalah yang berat.

"Berapa lama Bapak akan meninggalkanku di sini?" tanya Lyana ingin mendapatkan kepastian.

"Satu minggu, bagaimana?" tawar Al.

"Tidak bisa lebih cepat? Aku juga masih pengin sekolah, mengikuti ujian dan menyelesaikan SMA-ku. Setidaknya aku harus bisa mendapatkan ijazah SMA," ujar Lyana sedih menundukkan kepala.

Al menghela napasnya dalam, dia menyusun rencana dalam diam. Mereka saling membisu, hanya suara televisi yang terdengar di ruangan itu.

"Kamu tenang saja ya? Aku akan tetap usahakan biar kamu bisa tetap sekolah. Tapi sementara ini, aku mohon berdiamlah di tempat ini dulu. Sampai acara pernikahanku selesai." Al menggigit bibir bawahnya gusar, takut jika akan menyinggung perasaan Lyana.

Lyana diam tidak menjawab, dia masih saja menunduk. Al memberikannya sesuatu.

"Ini ponsel buat kamu, di situ ada nomor teleponku. Kalau ada waktu, aku akan datang ke sini menjengukmu. Ini kartu ATM-ku dan nomor pinnya...." Al mengetik di ponsel yang akan diberikan pada Lyana. "Itu nomor pinnya. Kamu boleh menggunakan uang itu sesukamu. Kalau kurang, kamu tinggal bilang sama aku, pasti aku kirim. Dan ini aku tinggali uang kes."

Al memasukkan beberapa lembar uang di dompet yang baru dia belikan untuk Lyana. Tanpa Al tahu, semua merek yang dia belikan biasa Lyana pakai. Warnanya pun sesuai dengan apa yang Lyana suka.

"Ini ada vitamin, aku tidak berani membeli obat sembarangan." Al meletakkan di atas meja.

Lyana menatapnya, entah apa yang harus dia ucapkan. Berterima kasih atau apa? Di saat dia kehilangan arah tujuan, Al menampung dan memberikan semua kebutuhannya. Tapi jika mengingat perbuatannya, Al tidak pantas dikatakan pria yang baik.

"Kita sarapan yuk! Aku tadi beli bubur ayam, tapi sepertinya sudah dingin." Al berdiri mengambil plastik putih berisi dua sterofom.

Dia membuka satu dan memberikan untuk Lyana.

"Makasih, Pak," ucap Lyana menerimanya.

"Jangan panggil aku begitu, berasa sudah tua."

"Terus?" sahut Lyana melirik Al yang duduk di sebelahnya menyanggah seterofom.

"Kakak, abang atau apalah, asal jangan bapak dan om," ujar Al lalu menyuapkan buburnya ke dalam mulut.

"Kakak," ucap Lyana.

Al tersenyum. "Begitu juga boleh. Aku masih cukup muda untuk kamu panggil Bapak. Karena sebenarnya umurku baru 27 tahun. Kita hanya selisih 10 tahun kan?" Al meliriknya ditambah senyuman manis yang tidak pernah Lyana lihat selama ini.

Lyana tersenyum tipis, Al senang bisa membuat gadis itu tersenyum. Setidaknya mereka sementara ini dapat melupakan masalah dan saling mengobrol jauh mengenai kepribadian masih-masing .

"Ayo, dimakan. Aku sudah habis nih!" Al menyenggol lengan Lyana dengan lengannya.

Tuhan tahu kapasitas umatnya untuk menerima setiap ujian. Dia tidak akan memberikan masalah melebihi kapasitas yang kita miliki. Jika kalian merasa ujian Tuhan terlalu besar dan rumit, berarti Tuhan tahu yakin kalian mampu melewatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top