GEN PEMBAWA

Lyana dan Al duduk di depan meja kerja Dokter Gracia. Wajah mereka tegang dan sangat hati-hati mendengarkan penjelasan dari dokter muda berparas cantik keturunan Cina itu. Karena sedang menjalakan transfusi darah, Cinta mereka tinggal bersama suster di ruang perawatan.

"Talasemia alfa minor ini jenis talasemia ringan yang tidak menyebabkan gangguan pada fungsi kesehatan tubuh. Umumnya memang dimiliki oleh wanita dengan latar belakang memiliki penyakit anemia ringan, kelainan gen ini kemudian akan diwariskan kepada anak. Keuntungan yang dimiliki dari talasemia jenis ini, tidak memerlukan tranfusi darah. Hanya disarankan untuk banyak mengkonsumsi nilai gizi yang seimbang untuk menunjang kesehatan tubuh, dan pengoptimalan sel darah merah yang sehat dari berbagai sumber makanan yang banyak mengandung zat besi, kalsium, magnesium dan lainnya," jelas Dokter Gracia.

"Jadi maksud Dokter ada kemungkinan Lyana menderita talasemia juga?" tanya Al terkejut menegakkan tubuhnya dan menatap tajam Dokter Gracia.

"Pak Al, tenang dulu. Kita perlu tes untuk membuktikannya. Saya akan ambil darah kalian. Dari situ kita akan mengetahui siapa sebenarnya yang menurunkan talasemia pada Cinta."

Lyana menunduk, dia memegangi kerah baju depannya. Pikirannya kacau dan dia juga terkejut dengan analisa dokter. Al merengkuh bahunya dan mengarahkan kepala Lyana ke dada dia.

"Kalau benar aku yang sakit, berarti...." Suara Lyana parau.

"Sssss... jangan bicara apa-apa dulu. Semua butuh pembuktian, jangan menyalahkan diri sendiri. Bisa juga aku yang sakit, atau kita berdua. Masih banyak kemungkinan dan itu hanya bisa terjawab dengan kita melakukan tes. Ya?" jelas Al bijak mengecup pucuk kepala Lyana.

Lyana menangis di pelukan Al.

"Sudah ya? Jangan menangis, kasihan Cinta kalau tahu mamanya nangis, nanti dia ikut sedih." Al menyeka air mata Lyana dengan punggung tangannya.

Lyana menegakkan tubuhnya dan menghapus air matanya.

"Dok, kapan kita bisa menjalani tesnya?" tanya Al.

"Secepatnya. Hari ini juga bisa," jawab Dokter Gracia tersenyum ramah melihat Al dan Lyana bergantian.

"Bagaimana menurut kamu?" Al meminta persetujuan Lyana sebelum mengambil keputusan.

"Ya sudah, lebih cepat mendapatkan hasilnya jadi kita bisa lebih berhati-hati." Lyana menjawab dengan suara bergetar. Harinya risau dan pikirannya tidak menentu.

"Ya sudah, Dok. Kami mau melakukannya hari ini," ujar Al mantap.

"Baik, tunggu sebentar."

Dokter Gracia beranjak dari duduknya. Sembari menunggu Cinta transfusi darah Al dan Lyana mengikuti beberapa tes. Setelah selesai, mereka kembali ke ruang rawat Cinta, menemaninya. Al selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya apalagi menyangkut perawatan Cinta. Hampir setiap satu minggu sekali mereka ke rumah sakit menginap satu hari menemani Cinta transfusi darah.

Anak itu tidur dengan tangan tertancap jarum yang mengalirkan darah ke tubuhnya. Wajah yang tadi pucat pasi, kini sedikit demi sedikit berubah memerah. Begitulah, jika beberapa hari tidak mendapat transfusi darah, kulit Cinta akan memutih pucat dan tubuhnya lemas, wajahnya layu dan lesu. Tapi setelah mendapat darah, wajahnya akan segar dan berenergi. Walaupun rewelnya masih.

"Kakak, nggak balik ke kantor?" tanya Lyana menengadahkan wajahnya lemas duduk di kursi samping tempat tidur Cinta.

"Nggak," jawab Al mengelus-elus pipi Lyana dengan punggung tangan.

"Kenapa?" tanya Lyana.

"Aku pengin di sini nemenin kamu sama Cinta," jawab Al tersenyum manis.

Mereka duduk berhadapan, Al duduk di tepi ranjang tempat Cinta berbaring sedangkan Lyana duduk di kursi. Mungkin karena lelah, Lyana pun menjatuhkan kepalanya di pangkuan Al. Dia memeluk pinggang Al dan memerhatikan wajah polos Cinta yang sedang tertidur. Hati Al menghangat, dia senang Lyana sekarang manja padanya, apa-apa selalu dia yang dicari. Sedikit-sedikit merengek dan hal itu bagi Al sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Al mengelus rambutnya dan mengusap-usap punggungnya pelan.

"Kak, kenapa Cinta yang harus menanggung ini? Dia masih kecil dan bodohnya aku tidak mengetahui penyakit itu dari awal. Ini karena aku terlalu egois," ucap Lyana pelan menyesali tindakannya dulu.

"Sudah, jangan diingat-ingat lagi, yang penting sekarang kita sudah bersama, Cinta akan kuat menghadapi ini kalau mendapat dukungan dari kita."

Lyana menegakkan tubuhnya dan mendongak menatap Al dengan senyum terbaiknya.

"Maaf ya? Sempat tidak mempercayai kamu," ucap Lyana tulus.

Al menangkup kedua pipinya yang sekarang tirus. Berbeda dengan Lyana dulu saat pertama mereka bertemu. Tubuh sitalnya kini berubah kurus.

"Jangan dibahas lagi, yang lalu biarlah berlalu. Hidup itu memang selalu ada proses, anggap itu adalah jalan menuju kebahagian kita. Walaupun awalnya menyakitkan dan menyedihkan." Al mengangkat wajah Lyana agar lebih mendongak ke atas dan dia mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Lyana.

Pelan tapi pasti Al mencium bibir Lyana dan memagutnya lembut penuh perasaan. Mata Lyana spontan terpejam menikmati bibir Al yang lembut dan kenyal menyentuh bibirnya. Beberapa menit menikmati sensasi yang berbeda dan baru kali ini Lyana dengan sadar melakukannya. Dia membuka mata, Al tersenyum sangat manis. Lyana mencubit perutnya dan memelintirnya.

"Aw, sakit," rintih Al memegangi perutnya. "Kok dicubit sih?" tanya Al mengusap-usap perutnya yang sakit bekas cubitan Lyana.

"Kakak lancang mengambil ciuman pertamaku," omel Lyana mencebikkan bibirnya.

"Apa?! Ciuman pertama? Terus waktu malam itu memproduksi Cinta emang kita nggak ciuman?" goda Al mengerling menjawil dagu Lyana.

"Iiiih... katanya nggak boleh bahas masa lalu. Kakak mengungkit-ungkit itu lagi." Lyana melengoskan wajahnya kesal duduk bersandar dan bersedekap.

Al terkekeh kecil menutup mulutnya dengan punggung tangan. Wajah Lyana lucu kalau sedang ngambek, menggemaskan.

"Kan malam itu nggak sadar, kita sama-sama tidak menikmatinya. Gimana kalau...."

"Kaaaak," sahut Lyana cepat meliriknya tajam sebelum Al melanjutkan kata-katanya.

"Kenapa?" tanya Al berlagak tampang polos.

"Kita bukan muhrim, kita sudah bercerai ya? Jadi awas jangan berani macam-macam," ancam Lyana galak.

"Dikit," bujuk Al. "Kamu jadi istriku saja nggak pernah kan melayaniku?"

"Kata siapa? Aku melayani Kakak. Memasak dan memasukkan pakaian ke laundry. Bersih-bersih juga aku aku lakukan."

"Tapi melayani di ranjang???" Al melirik penuh arti.

"Kakak sudah dapat dari Kak Bianca," sahut Lyana sedih menahan nyeri di dadanya.

Al seketika terdiam, buka itu jawaban yang ingin dia dengar. Melihat perubahan wajah Lyana, Al merasa menyesal dan berdosa. Kenapa dulu dia sampai sebodoh itu melakukan zina bersama Bianca? Dari mata Lyana tersorot luka dan seperti menahan sesuatu yang sangat menyakitkan hatinya. Wajahnya murung dan terus menoleh ke arah lain menghindari tatapan Al.

"Jangan dibahas lagi. Maaf ya?" ucap Al mengalihkan pembicaraan.

Dia menggapai kedua tangan Lyana dan menciumnya pelan penuh perasaan hingga terasa sampai ke hati Lyana. Tubuh Lyana merinding dan punggungnya seperti tersengat listrik kecil. Air mata Lyana meleleh seiring bibir Al mendarat menyentuh kulitnya. Al menciumnya lama, menyalurkan penyesalan dan perasaan berdosanya.

"Kita jangan lagi bahas masa lalu, kita kubur dalam-dalam semua itu. Please, agar kita tidak saling menyakiti. Aku yang salah dan aku yang banyak dosa sama kamu. Maafin aku ya?" ucap Al menyentuh dagu Lyana dan mengarahkan supaya menatapnya.

Al menghapus air mata Lyana dan mencium keningnya lama. Lyana langsung memeluk Al dan terhapuslah semua kebencian yang selama ini bersemayam dalam kalbu. Al berdiri di depan Lyana dan membalas pelukannya, dia mencium pucuk kepala Lyana.

"Kita buka lembaran baru dan melupakan masa lalu. Setuju?" tanya Al.

Lyana terisak-isak mengeratkan pelukannya sambil menganggukkan kepala tanda setuju. Al tersenyum lega, ini adalah kesempatan kedua yang Lyana berikan. Jadi Al akan berusaha sebaik-baiknya agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang dulu. Dia harus semakin berhati-hati supaya tidak melakukan kesalahan yang fatal dan akan berakibat buruk untuk semuanya.

***

Matahari mengintip dari ufuk timur, perlahan naik hingga menghangatkan dunia. Mata indah Lyana mengejap, dia menyesuaikan pandangannya. Sampai semua jelas, Lyana menyapu pandangan ke penjuru ruang. Setengah tembok bercat pink dan setengahnya lagi berstiker kartun barbie. Ruangannya bersih dan terawat serta fasilitas memadai.

"Kak?" panggil Lyana pelan.

Al yang memunggunginya, semalaman terjaga tidak tidur sama sekali menemani Cinta duduk di samping tempat tidur, lantai memutar tubuh menoleh Lyana yang berbaring di tempat tidur terpisah dengan Cinta. Dia tersenyum manis dan mengelus rambut Lyana sayang.

"Cinta dari semalam nggak bangun ya?" tanya Lyana mendongakkan wajahnya menatap mata merah Al.

"Bangun semalam, cuma rewel sebentar minta minum. Habis itu bobo lagi," jelas Al mengusap dan memainkan rambut Lyana lembut.

"Kok aku nggak dengar?"

"Kamu bobonya nyenyak banget, kecapean, jadi nggak denger," sahut Al dengan suara pelan.

Lyana melihat Cinta terbaring tidur merentangkan kedua tangan. Tapi, sudah terlepas dari infus darah.

"Kapan dilepas?" tanya Lyana bermaksud menanyakan infus darah Cinta.

"Dini hari, sudah habis tiga kantung. Cinta sudah bisa pulang," jawab Al lesu menguap menutup mulutnya dengan punggung tangan.

Lyana menjadi tidak tega, kasihan melihat wajah kantuk Al.

"Kak Al, ngantuk ya?" tanya Lyana mengelus lengan Al.

Al tersenyum tipis. "Dikit."

"Sini gantian, aku mau beresin barang-barangnya Cinta." Lyana beranjak dari tempat tidur.

Dia menarik tangan Al agar mau tidur sembari menunggu Cinta bangun. Al pun menurut, dia membaringkan badannya. Semalaman duduk membuat otot punggungnya pegal. Rasanya nikmat dapat membaringkan badan.

"Lumayan kan sambil menunggu Cinta? Aku akan urus administrasinya dulu." Lyana ingin pergi, tapi Al mencegah tangannya.

Dia menarik dompetnya dari saku celana belakang dan memberikan pada Lyana.

"Pakai ini, ada uang kesnya, tapi kayaknya kurang. Bayar pakai kartu saja, nomor pinnya tanggal dan tahun lahir Cinta," ujar Al.

"Tapi...." Lyana ingin membantah, namun melihat tatapan mata tajam Al lantas tak jadi. "Ya sudah. Kakak tidur dulu, aku sekalian mau beli sarapan. Semoga Cinta bangun setelah aku kembali," ucapnya mengelus kepala Cinta dan mencium keningnya.

Jika melihat Cinta, hati Lyana sangat miris ada sesuatu rasa cemas yang tinggi. Dia tidak tega jika hampir setiap waktu melihatnya sakit dan harus transfusi darah. Dia akan melakukannya seumur hidup demi kesehatan dan kekuatan raganya.

"Sayang, Mama keluar dulu ya? Kamu sama Papa di sini," bisik Lyana terdengar di telinga Al.

Perasaan Al bahagia, andaikan saja setiap pagi hari-harinya dapat seperti itu. Tapi dengan keadaan yang lebih baik, tidak saat Cinta sakit. Mungkin hidupnya akan bewarna tidak lagi pilu dan sepi. Sebelum matanya terpejam, dia bisa melihat anak dan wanita yang dicintainya. Saat membuka mata, mereka lagi yang pertama dia temui. Pasti hidup Al akan terasa lebih bermakna.

Lyana pergi ke kamar mandi membasuh wajah dan menggosok gigi. Saat dia keluar, Al sudah pindah tempat tidur berbaring di samping Cinta dan memeluknya. Senyum manis tersungging di bibir Lyana. Jika Cinta sudah berada di dekapan Al, pasti tidurnya akan lama dan tidak rewel. Lyana mendekati Al, dia memegang lengannya dan berbisik di telinga.

"Kak, aku keluar dulu ya?" pamit Lyana.

Al masih mendengarnya meski matanya terpejam. Dia tersenyum dalam tidur. Lyana mengelus kepala Cinta lalu keluar dari ruang itu. Lyana lebih dulu mengurus administrasi sebelum pergi mencari sarapan untuknya dan Al. Saat sedang antri, suara berat menyapanya.

"Ly."

Lyana menoleh, seorang pria yang dia kenal berdiri di sampingnya. Jantungnya berdebar-debar dan mulutnya menganga.

"Ngapain kamu di sini?" tanya pria itu.

Lyana langsung memalingkan pandangannya, menghindari tatapan masa lalu dia.

"Aku... mmm... aku... aku...." Tiba-tiba Lyana menjadi kagok dan sulit berbicara.

"Aku apa? Kamu sakit?" tanya pria itu mengerutkan dahinya.

"Nggak! Anakku yang sakit," jawab Lyana memantapkan hatinya walaupun perasaannya tidak karuan ketika berhadapan dengan mantan pacarnya.

Iya! Yang sekarang bersama Lyana adalah Rendra. Pacar pertama Lyana yang dulu dia putuskan tanpa memberi alasan yang jelas.

"Oh," jawab Rendra singkat.

Tanpa ingin mengetahui alasan Rendra berada di rumah sakit itu, Lyana pun pergi ke loket administrasi. Dia menahan sesuatu yang akan mencuak dari permukaan hatinya. Tapi Lyana mencegah dan menahannya, dia tidak ingin berada di situasi sulit jika sampai rasa itu muncul kembali dari hatinya. Lyana meyakinkan diri bahwa hanya Al satu-satunya lelaki yang sekarang menjaga dan menempati seluruh ruang hatinya.

"Permisi, total perawatan pasien atas nama Larasati Cinta Apresio Ferda ruang VVIP kids nomor 5A berapa ya?" tanya Lyana pada seorang wanita yang berjaga di pelayanan administrasi.

"Oh, tunggu sebentar ya, Bu." Wanita itu mengutak-atik komputer.

Lyana menunggu dan menoleh ke samping, ternyata Rendra juga sedang membayar sesuatu. Dia langsung memalingkan wajahnya.

"Ini totalnya." Selembar kertas diberikan padanya.

Lyana membuka dompet Al, tidak sengaja Rendra melihat foto yang ada di dalamnya. Foto itu terlihat jelas wajah Al dan Lyana mengapit wajah Cinta yang sedang tertidur. Mereka tersenyum bahagia. Itu diambil beberapa waktu lalu setelah hubungan mereka membaik.

'Bukannya itu Pak Al sama Lyana? Anak kecil itu....' Rendra membatin dan mengerutkan dahinya heran. Kepalanya penuh tanda tanya.

"Ini." Lyana memberikan kartu kepada pelayan administrasi.

Rendra masih sibuk menajamkan pandangannya, ke dompet yang Lyana pegang dan masih terbuka. Rendra mencurigainya. Lyana yang merasa diperhatikan Rendra menjadi tidak nyaman.

"Bu, ini kartunya dan ini bukti pembayarannya. Lunas," terang sang pelayan memberikan tanda bukti lunas dan mengembalikan kartunya.

"Terima kasih," ucap Lyana menyelipkan lagi kartu itu ke dalam dompet Al.

Tanpa melihat dan menyapa Rendra, Lyana buru-buru pergi menjauhinya. Rendra sangat penasaran siapa sebenarnya suami Lyana. Sejak mereka putus, Rendra tidak pernah lagi mendengar apalagi mengetahui kabar Lyana. Keberadaannya di mana saja, Rendra tidak mengetahuinya. Dia diam-diam membuntuti Lyana yang pergi membeli sarapan di kantin rumah sakit. Lantas Lyana kembali ke kamar perawatan Cinta. Sayang, Rendra tidak bisa melihat siapa yang ada di dalam ruang itu, karena Lyana langsung menutup pintunya rapat.

"Ada hubungan apa Lyana sama Pak Al? Tapi aku yakin foto itu Pak Al sama Lyana. Tidak salah lagi," ucap Rendra mengintai ruang perawatan Cinta.

########

Kenapa mantan muncul semua sih? Kan jadi ribet. 😰😰😰

Makasih untuk vote dan komentarnya ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top