ADA APA DENGAN CINTA?
Acara malam pesta pernikahan Andra dan Rani sangat meriah. Acara yang digelar di ball room hotel berbintang lima dengan dekorasi berwarna putih, biru dan merah jambu. Hiasan bunga-bunga warna-warni memperindah ruangan yang terlihat megah dan mewah. Semua bersenang-senang, tapi tidak untuk Lyana. Dari tadi dia sibuk menenangkan Cinta yang rewel. Dia sedikit-dikit menangis. Al yang sedang mengobrol dengan rekan bisnisnya melihat Lyana kerepotan langsung mendekatinya.
"Kenapa?" tanya Al menghampirinya ketika Lyana menimang-nimang Cinta di samping pelaminan.
"Nggak tahu nih! Nangis mulu dari tadi, heran deh. Padahal sudah minum susu," omel Lyana jengkel.
Al menghela napasnya dalam, dia mengelus dada setiap kali berbicara dengan Lyana. Tidak pernah Lyana berbicara lembut padanya, selalu jutek dan judes.
"Mana, aku ajak dia." Al ingin menggendongnya namun Lyana langsung menengadahkan wajahnya dan mimiknya berubah tajam dan cemberut.
"Nggak usah," tolaknya mengayun-ayunkan Cinta.
Al menyentuh tangan Cinta, panas.
"Ly, kayaknya Cinta sakit deh. Coba kamu sentuh keningnya," titah Al.
Lyana menyentuhnya, dia membandingkan dengan keningnya. Karena belum yakin, dia kembali menyentuh kening Cinta dan membandingkan dengan suhu tubuh Al dengan menyentuh lengan berbulu halus itu.
"Iya, dia sakit," gumam Lyana. "Aku harus bagaimana?" sambungnya.
Al menggelengkan kepalanya, benar-benar anak ini terlalu polos atau memang tidak tahu? Al langsung menggendong Cinta dan menarik tangan Lyana.
"Eh mau ke mana? Aku nggak mau!!!" pekik Lyana sampai beberapa orang menoleh.
Apalagi orang-orang yang di atas pelaminan, mereka mengerutkan keningnya bingung. Al tidak memmedulikan teriakan Lyana. Dia tetap menggandeng Lyana keluar dari ball room itu tanpa berpamitan.
"Mau ke mana mereka?" gumam Tiara langsung mengejar Al disusul Wira.
Semua semakin bingung apalagi Ratna. Tiba-tiba perasaannya tidak enak.
"Pa, kenapa wajah Al kayaknya khawatir begitu ya? Sampai menarik tangan Lyana. Perasaan Mama jadi nggak tenang nih," gumam Ratna meremas-remas tangannya sembari menggigit bibir bawahnya gelisah.
"Ma, kita harus tenang dulu. Sabar, sampai acara ini selesai baru kita nanti tanyakan pada Al," bisik Taufik.
"Yang, ada apa ya sama mereka? Kayaknya Al nggak santai banget mukanya. Kayak tegang gitu." Rani berbisik kecil di telinga Andra.
"Aku juga nggak tahu, apa mereka berantem lagi?" Andra menerka-nerka.
"Bisa jadi. Tapi kayaknya nggak mungkin deh, dilihat dari wajah Al gusar begitu. Pasti ada apa-apa nih," timpal Rani menguatkan kecurigaan Andra.
Mereka saling memandang dan malah perasaannya justru ikut tak tenang.
Wajahnya tegang dan serius fokus menatap jalanan. Lyana malah ikut menangis melihat Cinta seperti orang kesakitan, tapi Lyana tidak melihat ada luka di tubuhnya.
"Ly, tolong jangan ikutan nangis. Aku jadi nggak konsentrasi nih nyetirnya," pinta Al mendengar kedua orang yang dia cintai menangis menguasai mobilnya.
"Kakak ini kenapa sih? Wajar dong kalau aku nangis! Anak aku sakit tapi aku nggak bisa ngapa-ngapain," bentak Lyana memeluk Cinta dan mengelusnya.
"Iya, makanya itu kita bawa Cinta ke rumah sakit. Kamu tenang ya? Jangan ikut menangis, Cinta malah tambah nangis kalau denger kamu terisak-isak," bujuk Al sangat lembut.
Lyana menghapus air matanya, meskipun berusaha tidak menangis tapi tetap saja air matanya keluar. Al mengelus kepalanya, dan menyeka air matanya dengan punggung tangan.
"Udah ah, jangan nangis lagi." Al mengelap ingus Lyana dengan tisu.
"Aku takut," lirih Lyana.
"Takut kenapa?" sahut Al menoleh sekilas lalu kembali memandang ke depan.
"Kalau terjadi apa-apa sama Cinta bagaimana?"
"Ih apaan sih kok ngomongnya begitu? Cinta itu cuma sakit panas biasa. Anak kecil kalau kecapean biasanya begitu. Sudah, jangan mikir yang nggak-nggak," sangkal Al padahal dalam hati dia juga cemas dan sedikit ada perasaan yang mengganjal tapi entah apa itu.
Al memasukkan mobilnya ke suatu rumah sakit. Setelah mobil terparkir rapi, segera dia keluar membukakan pintu Lyana.
"Al!" pekik Tiara berlari kecil mendekat.
"Mama?" ucap Al kecil. "Mama ngapain di sini?" tanya Al bingung. Setahu dia orang tuanya masih mengikuti acara pesta pernikahan Andra.
"Mama mengikuti kalian. Ada apa dengan Cinta?" tanya Tiara mengulurkan tangannya tapi Lyana langsung menarik Cinta dan mendekapnya.
Hati Tiara sangat sakit, rasanya ingin sekali dia menyentuh dan membelai cucunya. Tapi Lyana tidak pernah mengizinkannya.
"Kita bawa dia masuk dulu yuk," ajak Al ingin merangkul bahu Lyana namun dia menolak dan berjalan lebih cepat mendahuluinya.
Al menoleh Tiara, dia tersenyum. Sudah menjadi hal biasa bagi mereka.
"Maafin Lyana ya, Ma," ucap Al.
"Iya, Mama mengerti kok. Ayo, kita susul mereka." Tiara menggandeng lengan Al. "Eh, sebentar. Mama nunggu Papa dulu. Kamu duluan saja, Papa lagi parkir mobil," perintah Tiara teringat meninggalkan Wira.
"Oh ya sudah, Al duluan." Al lantas berlari menyusul Lyana yang sudah sampai di lobi rumah sakit.
"Sus! Tolong anakku," pekik Lyana menangis memperlihatkan tubuh Cinta yang melemas dan tidak lagi menangis.
Al mengikutinya dari belakang, seorang suster membawakan brankar. Lyana membaringkan Cinta yang sudah tak berdaya, wajahnya pucat pasih, serta perut bagian atasnya sedikit membuncit seperti orang kekurangan gizi. Jika kurang gizi sepertinya tidak mungkin, karena Ratna selalu memperhatikan apa pun yang dikonsumsi Cinta. Mereka membawa Cinta masuk ke ruang UGD, sebagai tempat penanganan awal.
"Dok, tolong anak saya," pinta Al setelah melihat dokter wanita paruh baya berkacamata mendekati brankar Cinta.
Lyana terus menangis tak mau jauh dari Cinta. Dia terus menggenggam tangan mungil itu. Al mengelus kedua lengannya dari belakang. Dokter yang bernama Hesti dari name tag-nya menempelkan stetoskop di dada Cinta. Alat itu digunakan untuk mendengarkan denyut jantung, paru-paru dan juga aliran daerah pada pembulus arteri dan vena.
"Bagaimana, Dok?" tanya Al tegang melihat raut wajah Hesti berubah seperti berpikir keras.
"Begini, Pak. Untuk meyakinkan penyakit apa yang anak Bapak derita kami butuh sempel darahnya," jelas Hesti.
"Apa?!!!" NGGAK!!!" tolak Lyana cepat.
"Sssss... Ly, biar dokter bisa mengetahui penyakit apa yang Cinta derita," bujuk Al.
"Tapi, Kak...." Al langsung memutar tubuh mungil nan kurus itu.
Al memegangi kedua bahu Lyana dan menatapnya lembut.
"Dia akan baik-baik saja, percaya sama aku. Ya? Cinta anak yang kuat, cuma dikit saja, biarkan dokter mengambil darahnya ya? Setetes saja," rayu Al.
"Kamu tuh ayah macam apa sih?!!! Cinta ke sini buat berobat bukan malah disakiti!" pekik Lyana memukul-mukul dada Al cukup keras.
"Ssss... iya, iya." Al menahan tangan Lyana.
Dia mengisyaratkan dokter dengan menganggukkan kepala. Hesti memahami maksud kode itu, lantas dia langsung mengambil alat untuk mengambil sedikit darah Cinta. Sedangkan Al menahan bahu Lyana supaya menghadapnya dan membelakangi Cinta.
"Tapi kamu jangan teriak-teriak, di sini banyak pasien. Sudah malam juga, kalau kamu teriak begitu malah menggangu yang lain," ucap Al setengah berbisik.
"Masa bodoh!!!" sahut Lyana jutek.
"Nggak boleh begitu. Ini tempat umum," tegur Al.
Dokter Hesti menganggukkan kepalanya, menandakan tugasnya sudah selesai. Seorang suster memasang infus di punggung tangan mungil Cinta. Al melepaskan bahu Lyana dan memerhatikan tangan kecil itu seperti diberi semacam papan penahan. Lyana membalikkan badan, dia tidak tega melihat putrinya seperti itu.
"Pak, apakah bisa kita berbicara?" pinta Hesti sopan.
"Kenapa harus dia? Saya ibunya," sahut Lyana galak.
"Sssst...," desis Al. "Kamu di sini dulu jagain Cinta ya? Biar aku ikut dokter sekaligus mengurus administrasinya. Oke?" ujar Al sangat lembut.
"Ya sudah!" jawab Lyana ketus.
Al mengikuti dokter, menjauh dari Lyana.
"Begini, Pak. Sementara waktu biarkan anak Bapak opname. Tubuhnya lemah dan sambil menunggu hasil tes laboratorium. Saya belum bisa memastikan apa sebenarnya yang putri Bapak derita, hanya saja saran saya jangan menyepelekan," jelas Hesti.
Perasaan Al tiba-tiba semakin tak tenang.
"Apa ada sesuatu yang mengkhawatirkan?" tanya Al.
"Maaf saya belum dapat memastikan. Kita tunggu saja hasil tesnya. Silakan urus ruang inapnya," ujar Hesti.
"Baik Dok, terima kasih."
Al lantas ke luar UGD, Wira dan Tiara berdiri dan langsung mendekatinya.
"Apa kata, Dokter?" tanya Tiara wajahnya tegang dan tangannya gemetar.
"Mmm... Cinta opname, dia butuh istirahat. Al akan urus ruang inapnya dulu." Al belum bisa banyak berbicara mengenai Cinta, dia sendiri juga masih menunggu kepastian dari dokter.
"Ya sudah, sana. Pilih ruang yang terbaik," pesan Wira menepuk-nepuk bahunya.
"Iya, Pa."
Al pun langsung pergi mengurus semua keperluan Cinta di rumah sakit itu. Dia memilihkan ruang khusus untuk anak yang disediakan rumah sakit. Dengan fasilitas yang tinggi. Al selalu ingin memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang dia kasihi, apalagi ini untuk anaknya.
***
Mata sembap itu masih terjaga meskipun jam menunjukan pukul 03.00 WIB. Dia duduk di samping tempat balita 6 bulan berbaring. Ruangan yang luas dengan dinding berstiker pelangi dan bunga-bunga cat bewarna pink cerah menjadi pilihan Al. Fasilitas di ruang itu cukup mewah, dua tempat tidur satu untuk pasien dan satunya lagi untuk yang berjaga. Satu set sofa membentuk L, lemari kecil, kulkas berukuran sedang, TV, AC, kamar mandi dalam dan lainnya penunjang kenyamanan pasien maupun yang menjaga.
"Kamu bobo dulu sana. Biar aku menjaganya," titah Al tidak tega melihat wajah kusam dan lelah Lyana.
"Nggak," tolak Lyana.
"Jangan keras kepala, kalau kamu sakit siapa nanti yang menjaga Cinta. Sudah sana, bobo," bujuk Al memaksa Lyana.
"Ish!" Akhirnya dia pun mau menurut meskipun dengan rasa sebal.
"Ganti dulu bajunya, mau tidur pakai kebaya begitu?" imbuh Al karena sejak tadi Lyana belum sempat mengganti kebayanya.
Saking khawatirnya sama Cinta, dia tidak memikirkan penampilannya yang sudah acak-acakkan. Make up luntur terhapus air mata, sanggulnya pun sudah tidak terpasang baik, rambut asal-asalan. Lyana bercermin melihat dirinya sendiri.
"Astogfirulloh," ucapnya kaget melihat make up-nya sudah hancur.
Al ingin tertawa tapi dia menahannya takut jika Lyana tersinggung dan akan marah padanya. Biarkan begini dulu, setidaknya dengan situasi itu Al memiliki kesempatan dekat dengan Lyana dan Cinta. Karena setelah Cinta dipindahkan ke ruang inap, Tiara dan Wira langsung pulang. Sedangkan keluarga Lyana belum sempat datang lantaran selesai acara sudah larut malam.
"Memangnya aku punya baju ganti?" gumam Lyana sebenarnya dia bertanya kepada Al, namun karena gengsi dia seolah seperti berbicara sendiri.
Al melepas hemnya menyisakan singlet putih yang menempel di badannya.
"Pakai ini." Dia mengulurkan hem itu pada Lyana yang berdiri memunggunginya.
"Nggak," tolak Lyana hanya melirik hem itu tanpa ada niat menerimanya.
"Jangan bandel, tinggal pakai apa susahnya sih? Daripada tidur begitu. Sudah sana." Al menyampirkan hem itu di bahu Lyana.
Dia kembali duduk di samping Cinta, membelai wajahnya yang pucat dan mengelus rambutnya sayang.
"Jangan khawatir, Papa akan melakukan apa pun untuk membuatmu sembuh," ucap Al terdengar jelas di telinga Lyana.
Hatinya tersentuh dengan kata-kata tulus Al. Tanpa berucap Lyana masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Badan sudah bersih dan hem kedodoran terpasang di tubuhnya, Lyana pun keluar. Al menoleh, sesaat dia termangu melihat Lyana. Hem putih samar-samar bewarna biru kebesaran di tubuh Lyana, seperti memakai blus tanpa bawahan. Bagian bawahnya rendah memperlihatkan bagian pahanya dan bagian dada sedikit memperlihatkan belahannya. Al yang duduk di samping tempat tidur Cinta langsung menyadarkan dirinya dan memalingkan pandangannya.
Lyana tanpa mengajak Al berbicara, dia langsung berbaring di tempat tidur yang berjarak setengah meter dari tempat Cinta berbaring. Dia memiringkan tubuhnya melihat Cinta bayi cantik yang masih polos memejamkan matanya. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, perut bagian atas sedikit menggembung.
"Kak," lirih Lyana.
Al menegakkan kepalanya. "Hmm," gumamnya menyahut.
"Apa kata dokter?"
"Nggak ada, belum tahu. Tadi cuma bilang Cinta disuruh opname. Gitu saja," jawab Al masih menutupi sesuatu yang dia sendiri juga belum mendapatkan jawabannya.
"Yakin?" tanya dia tak percaya.
"Iya. Sudah kamu bobo besok gantian menjaga Cinta. Besok pagi aku pergi ke kantor sebentar ya? Siangnya baru ke sini," jelas Al.
Tanpa menyahuti Al, Lyana pun meringkuk dan memejamkan matanya. Karena matanya sangat lelah dan sepet tidak buruh waktu lama napasnya sudah teratur. Al mendekatinya dan menyelimuti tubuh mungil itu. Senyum tertarik dari kedua ujung bibirnya.
"Semoga sifat kekanak-kanakan kamu cepat hilang ya? Sudah waktunya mengubah sikap menjadi lebih dewasa. I love you mamanya Cinta," ucap Al pelan walaupun dia tahu Lyana tidak akan mendengarnya tapi doa dan harapan kapan pun boleh terucap bukan?
Dengan lancang Al mengecup pelipisnya, dan mengusap-usap rambutnya halus.
Tidak ada yang salah mengulang kembali hubungan yang sempat berakhir. Tidak ada salahnya memberi kesempatan kepada orang yang pernah melukai hati. Asalkan dia sudah benar-benar berubah lebih dewasa dalam hal apa pun, sikap, tindakan, emosional, kata-kata, dan pemikiran. Yang lebih pentingnya lagi dia mau serius, berkomitmen dan bertanggung jawab. Poin besar yang memang wajib dipikirkan sebelum memutuskan kembali.
#########
Apakah...??? Sudahlah!!! Pasti tahu apa yang aku maksud. Hehehe😄😄😄
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top