3. Dokter juga manusia

MASIH SEMANGAT BACA?🤭
KALAU GITU JANGAN LUPA BERIKAN VOTE DAN KOMENNYA, YAA. BIAR KUMAKIN SEMANGAT NGETIKNYA😄

.

.

.

“Saya harus kembali ke rumah sakit, silakan lanjutkan makan siangmu,” ujar Jewi setelah melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sebenarnya dia sendiri merasa aneh menerima ajakan makan siang bersama dengan orang yang baru pertama-kedua kalinya dia temui. Tapi, tidak ada waktu lagi untuk mencari tempat makan lain, dia harus pintar-pintar mengatur waktu sebelum waktu istirahatnya habis.

“Biar kuantar.”

“Tidak usah. Dekat, kok. Saya ke sini juga jalan kaki.”

“Kalau begitu kita jalan-jalan bersama. Saya juga sudah selesai makan.”

Jewi menghela napas panjang. Kenapa lelaki ini terus bersikeras? “Tidak, saya lagi tidak ingin jalan-jalan.”

Rafka menaikkan sebelah alis. Kini dia sudah berdiri dari posisi duduk dan memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. “Katanya mau jalan, kalau begitu mau naik mobil saja?”

Jewi memejamkan matanya sejenak. Laki-laki yang berdiri tegap di hadapannya ini ternyata mahir juga bermain kata. “Saya ingin jalan sendiri. Terima kasih atas ajakan makan siangnya. Permisi.” Tanpa menunggu balasan dari Rafka, Jewi segera pergi dan tidak berbalik lagi barang sekalipun.

Rafka mengangguk pelan lalu segera membayar pesanannya. Buru-buru dia mengejar Jewi yang sudah sedikit jauh darinya. Mendengar langkah kaki di belakangnya, Jewi berbalik dan segera mempercepat langkahnya. Rafka pun tak mau kalah, berbekal kaki panjangnya, tidak sulit untuk mengejar Jewi.

Sadar diri tidak bisa mengalahkan Rafka, akhirnya Jewi berbalik penuh ke arah lelaki itu dan memasang tampang kesal. Otomatis Rafka pun menghentikan langkahnya dan ikut membalas tatapan Jewi. “Kan sudah saya bilang, saya mau jalan sendiri.”

“Ya memangnya daritadi kamu tidak jalan sendiri?”

Jewi terdiam. Dia tidak habis pikir dengan lelaki aneh yang kini menatapnya tanpa merasa bersalah itu. “Jangan mengikuti saya lagi.” Jewi segera pergi dengan langkah cepat, sementara Rafka yang mendapat ultimatum itu pun hanya bisa tersenyum namun tidak berani lagi melanjutkan langkahnya.

“Kak, jangan marah-marah sama pacarnya. Nanti kalau dia pergi sama cewek lain bagaimana?” ucap seorang anak yang jika ditaksir masih berusia enam tahun itu pada Jewi.

“Dia bukan pacar saya, Dek.” Jewi menggigit bibirnya sedikit kesal disangka berpacaran dengan Rafka. “Lagipula, anak kecil kok sudah tahu pacaran,” gumam Jewi dengan suara pelan.

Saat Jewi berlalu dengan cepat, anak kecil itu kembali bertanya pada Rafka yang masih berdiri tegap menatap kepergian Jewi.

“Itu benaran pacar Kakak, kan?” tanya anak itu dengan tampang polosnya. “Masa dia tidak mengakui Kakak sebagai pacarnya.”

Rafka tertawa kecil. Dia lalu menghampiri anak kecil itu dan berjongkok di hadapannya. “Memangnya saya terlihat seperti pacar dia?”

Anak kecil itu mengangguk cepat. Dia lalu menepuk pelan bahu Rafka dan terlihat iba. “Iya. Tapi Kakak yang sabar, ya. Soalnya yang saya lihat kebanyakan cewek memang seperti itu kalau lagi ngambek. Nanti Kakak kasi cokelat atau ice cream saja. Pasti dia nanti bakal senyum dan akan menerima Kakak lagi.”

Lagi, Rafka tertawa melihat tingkah bocah kecil itu. Dia pun segera mengelus kepalanya dan mengeluarkan sebatang cokelat. “Ini buat kamu karena sudah membantu saya.”

“Apa pacar Kakak tidak marah kalau Kakak memberikan cokelat itu pada saya?”

“Nanti saya belikan dia satu truk.”

“Waah, banyak sekali.”

Begitulah, bocil dengan kepolosannya.

***

Setelah benar-benar memastikan Rafka tidak mengikutinya lagi sampai di rumah sakit, barulah Jewi bisa bernapas dengan lega. “Tidak lagi deh menerima ajakan makan dari dia.”

“Dokter! Dokter harus mengecek pasien di ICU.”

“Ada apa, perawat Via?”

“Kadar BUN-nya buruk dan ada pendarahan yang konstan.”

Langkah Jewi terhenti. Dia mencoba mencerna ucapan perawat Via sembari memikirkan jalan keluar yang terbaik untuk pasiennya itu. “Apa dokter Syakila sudah kembali dari London?”

“Dari informasi yang kudengar, dokter Syakila akan kembali tiga hari lagi, Dok.”

Jewi mengangguk pelan. “Dari hasil observasi, sepertinya masih ada kerusakan di bagian paru-paru. Dan segera harus dilakukan lung lobectomy. Saya butuh kehadiran dokter Syakila untuk membantu operasi nanti.”

“Tidak perlu menunggu sampai tiga hari, aku sudah ada di sini.”

Jewi dan perawat Via berbalik secara bersamaan. Tidak jauh dari posisinya, sosok perempuan yang dikenal dengan kecerdasan dan kesholehahannya itu berdiri dengan senyuman lebar di bibir.

“Mbak Syakila?!” ujar Jewi setengah memekik. Beberapa orang yang lewat bahkan sampai menoleh ke arahnya karena kaget mendengar pekikan itu. “Mbak, kamu kapan datang?” Jewi memeluk erat Syakila seolah mereka sudah sangat lama tidak bertemu, padahal Syakila hanya ke London selama lima hari.

“Tadi malam,” jawab Syakila seraya membalas pelukan erat sahabat yang sudah dianggap seperti saudaranya itu. “Kamu apa kabar?”

“Mbak tidak lihat apa? Berat badanku turun drastis karena harus merawat pasien sendirian.”

“Lebay sekali Anda ini. Memangnya dokter yang lain ke mana?”

“Ada. Tapi tidak ada yang sehebat Mbak.” Jewi mengacungkan jempolnya di depan wajah Syakila dan hal itu sukses membuat keduanya tertawa.

“Berlebihan sekali. Ngomong-ngomong, siapa yang akan dioperasi?”

Jewi mengamit lengan Syakila dan membawanya menuju ruang ICU di mana pasiennya sedang dirawat. Selama di perjalanan menuju ICU Jewi menjelaskan keadaan pasiennya itu, sementara Syakila dengan serius mendengarkan semua penjelasan dari Jewi.

“Oke. Jadi, bagaimana keputusanmu? Apakah kamu yakin akan mengoperasinya?” tanya Syakila.

Jewi mengangguk cepat. “Ya. Seperti kataku tadi. Sepertinya di bagian paru-paru pasien mengalami kerusakan.”

“Kalau begitu, kapan rencana kamu akan mengoperasinya?”

“Lebih cepat lebih baik?”

“Oke. Sepertinya kedatanganku disambut langsung dengan pekerjaan yang cukup berat. Tapi, aku akan membantumu.”

Jewi tersenyum lebar. Ini yang dia suka dari Syakila, selain dia cerdas, dia juga cekatan membaca situasi. Jewi merasa tidak perlu membuang-buang waktu jika bersama dengan sahabatnya itu. “Aku akan meminta perawat Via membawa pasien ke ruang operasi. Sampai jumpa di sana.”

“Oke. Segera hubungi aku kalau sudah siap. Aku ke ruanganku dulu, mau melepas rindu.”

“Baiklah, Nyonya.”

***

“Halo semuanya. Apa kabar?” tanya Syakila sesaat setelah berada di ruang operasi.

Semua yang ada di dalam ruang operasi itu tersenyum senang melihat kehadiran salah satu dokter berbakat di rumah sakit Gemilang itu. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, Jewi dan Syakila adalah definisi sepaket yang sempurna, dan tentu saja hal itu sudah diakui oleh orang-orang yang bekerja di rumah sakit itu.

“Senang Dokter sudah kembali dan ikut bergabung lagi bersama kami,” ujar perawat Via dengan nada senang.

“Terima kasih karena sudah menunggu. Mari bekeja keras lagi.”

“Setelah operasi kali ini, kita akan ditraktir makan sama Dokter Syakila. Oke?” ucap Jewi setelah ikut bergabung bersama dengan para dokter dan perawat yang ada di RO. “Katanya minta dihubungi. Malah sampai ruang operasi duluan. Sudah tidak sabar, Bu Dokter?”

Syakila tertawa pelan. “Bisa kita mulai?”

“Dokter Dani?”

“Organ vital bagus. Silakan dimulai.”

“Scalpes.”

Jewi memulai proses pembedahan dibantu dengan Syakila. Ruangan yang tadinya dipenuhi dengan kegembiraan kini berubah menjadi suasana yang menegangkan.

“Bovie.”

Jewi memulai operasi dengan sangat baik, dan hal itu bisa dilihat oleh Syakila sendiri. “Woooah, Dokter Jewi benar-benar berbakat.”

“Jangan begitu, kau tahu aku tidak bisa konsentrasi jika dipuji.”

“Baiklah. Maaf, Dokter Jewi.” Syakila tersenyum kecil. Tapi di dalam hati dia benar-benar bangga dengan kemajuan pesan yang dialami oleh Jewi. Tangannya benar-benar lihai. “Hati-hati dengan bronchial artery saat kau mengangkat adhesion.”

“Terima kasih sudah mengingatkan, Dokter Syakila.” Jewi mengangguk pelan sebagai ucapan terima kasihnya. “Oke, sekarang kita akan memisahkan pulmonary ligament-nya.”

“Tidak ada adhesi dan pendarahannya tidak banyak,” timpal Syakila.

“Kondisi pasien?”

“Baik, Dok.”

Jewi terus melakukan operasi dengan fokus hingga tiba-tiba darah keluar dengan cukup banyak dari pasien. Kepanikan mulai melanda Jewi. Dia segera menatap Syakila yang tampak kaget melihat pendarahan itu.
“Sepertinya aku tidak sengaja menyentuh pembuluh darahnya,” ucap Jewi dengan nada gemetar.

Syakila yang menyadari kepanikan Jewi pun segera mencoba menenangkannya. “Jangan panik. Tetap tenang.” Syakila menatap ke arah perawat Via. “Berikan padaku kasa yang banyak.”

“Baik, Dokter.”

Syakila terus memasukkan kasa hingga darahnya terserap. Di samping itu dia juga mulai mencari bagian mana yang mengeluarkan darah. “Oke. Aku menemukannya. Tolong berikan hemoklip.”

“Apa itu arteri bronkialnya?”

“Ya. Sepertinya begitu,” jawab Syakila membenarkan ucapan Jewi. “Tolong berikan benang bedah.”

Operasi berjalan dengan penuh ketegangan. Beruntung Syakila bisa segera membantu Jewi hingga operasi bisa diselesaikan dengan tanpa terjadi apa-apa pada pasien. Tentu Jewi sangat bersyukur atas bantuan Syakila.

“Terima kasih atas kerja keras dan bantuannya semua,” ucap Jewi pada semua staff yang telah membantu proses operasi hari ini. “Nanti akan saya kirimkan alamat resto untuk merayakan kedatangan dokter Syakila.”

Semua orang bersorak senang dan mengucapkan terima kasih pada Jewi dan terutama pada Syakila yang sudah berbaik hati ingin mentraktir mereka. Sementara Syakila sebagai yang bersangkutan hanya bisa mengangguk pelan dan mengucapkan sama-sama.

"Baiklah, Dokter Syakila. Sampai jumpa nanti." Jewi memberikan hormat pada Syakila sebagai ucapan perpisahan sebelum kembali dengan aktifitas masing-masing. "Nanti kuhubungi soal tempatnya. Oke?"

Syakila berdecih pelan. Belum sempat dia bilang apa-apa, Jewi sudah pergi dengan langkah ringan –gambaran ketika dia sedang senang ketika operasi yang dia lakukan berjalan dengan lancar. "Dasar!"

***

Berhubung Jewi harus memeriksa beberapa pasiennya lagi, dia harus datang terlambat ke restoran Sky –tempat janjian mereka dengan para staff medis. Jangan tanyakan kenapa dia memilih restoran itu. Alasannya tak lain adalah karena makanan yang disajikan sangat enak dan tentu saja dekorasi restorannya juga bikin betah dan nyaman. Sangat cocok untuk mereka yang lelah dan ingin melepas penat karena seharian harus berurusan dengan banyak macam pasien.

Saat Jewi sudah tiba di restoran, dia melihat para staff sudah berkumpul. Namun, dia tidak melihat kehadiran Syakila. "Ke mana dia?" Tak mau banyak berpikir, Jewi segera menghampiri teman-temannya itu. Tapi saat dia sudah berada tidak jauh dari meja yang dipesan, Jewi mendengar obrolan mereka yang cukup membuat hati Jewi terasa dicubit.

"Kamu lihat kan bagaimana paniknya dokter Jewi saat pasien berdarah?"

"Iya. Aku sempat panik."

"Tapi, untung ada dokter Syakila. Jadi, semua bisa berjalan lancar."

"Benar."

"Operasi itu tidak selalu berjalan lancar. Dokter juga manusia biasa, dan melakukan kesalahan adalah hal yang wajar. Namun, yang terpenting adalah ... saat melakukan kesalahan hal yang pertama dilakukan bukan pergi atau kabur. Lihat bagaimana dia menghadapi dan mencoba menyelesaikan masalah yang dia buat. Jika tetap berdiri di sana dan membantu kesembuhan pasiennya, dia patut diapresiasi," ujar salah seorang yang tidak lain adalah Rafka.

Mendengar ucapan itu, tentu saja membuat Jewi merasa terharu. Lelahnya seperti dikuras habis dan berganti merasakan pundak yang ringan. Seajaib itu kah efek dari ucapan laki-laki yang kini terlihat sibuk melayani teman-temannya itu?

Tapi ... kenapa dia ada di sini?

"Selamat datang, Dokter Jewi!" ujar Rafka setelah selesai meletakkan minuman di hadapan masing-masing orang yang ada di meja itu.

***
 
a/n:

Kadar BUN : Nitrogen urea darah (BUN) adalah tes medis yang mengukur jumlah urea nitrogen yang ditemukan dalam darah.

Lung Lobectomy : Operasi bedah di mana lobus paru-paru diangkat

Scalpes : Pisau bedah

Bovie : Alat perlengkapan penunjang bedah yang menggunakan frekuensi tinggi dari arus listrik Bolak balik (AC), untuk memotong (cutting), mengentalkan atau mengeringkan (coagulation).

Bronchial artery : pemasok utama darah beroksigen bertekanan tinggi ke struktur pendukung paru-paru

Adhesion : Sebuah istilah medis untuk kondisi dimana terjadinya perlengketan (menempelnya) dua organ berdekatan sehingga mengganggu fungsinya

Hemoklip : Hemoclip adalah alat endoskopi yang biasa digunakan dalam proses operasi endoskopi eksternal untuk menutup dua permukaan mukosa kecil dengan menggunakan mekanisme mekanis eksternal tanpa perlu penjahitan atau sayatan bedah.

***

Fiuuuuhhhhh
Gimana part ini?
Btw, makasih sudah mampir baca💚
 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top