12. Jalan?


"Are you okay?" tanya Syakila setelah mereka menyelesaikan operasi yang memakan waktu hampir dua jam.

Jewi memijat pelan bahunya seraya menggerak-gerakkan kepala ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah agar rasa kaku di bagian pundaknya bisa berkurang. "I'm okay. Cuma sedikit kaku saja di bagian sini."

"Kamu yakin bisa melakukan operasi kedua?"

"Ya. Aku cuma butuh minum kopi sekarang." Jewi melirik Syakila. "Mbak mau ikut?"

"Dan kamu juga harus makan meski sedikit."

"Tidak ada waktu, Mbak. Mbak tidak dengar tadi operasi kedua dilakukan lima belas menit lagi?" ujar Jewi kemudian memeluk jas dokternya dan berjalan pelan menuju mesin kopi yang terletak tidak jauh dari posisi mereka berdiri.

Syakila tidak melanjutkan ucapannya lagi. Dia hanya mengekor di belakang Jewi berniat untuk ikut memesan meski dia tidak begitu suka dengan kopi.

***

"Terima kasih atas kerja kerasnya," ujar Jewi pada semua rekannya setelah menyelesaikan operasi kedua.

"Kerja bagus," puji dokter Radit.

"Terima kasih juga, Dokter Jewi dan dokter Radit. Selamat istirahat," balas perawat Fina dengan senyuman lebar.

Jewi ikut tersenyum lalu keluar lebih dulu bersama dengan dokter Radit. Dokter Radit adalah dokter senior seangkatan dengan dokter Syakila. Dan karena berteman dengan Syakila lah hingga akhirnya Radit juga jadi mengenal Jewi. Dokter Radit ini tipikal cowok yang tenang dan perhatian, tapi meski setenang apapun Jewi tetap bisa membaca bahwa dia ada feeling sama dokter Syakila. Sayangnya entah disengaja atau tidak dokter Syakila tidak bisa menangkap sinyal itu.

"Terima kasih, Dokter Radit," ujar Jewi setelah berada di luar ruang operasi.

Dokter Radit tersenyum lembut dan mengangguk pelan. "Kemampuan kamu meningkat sangat baik, ya? Wah, aku jadi sangsi, nih. Bisa-bisa nanti kamu mengalahkan saya dan dokter Syakila."

Jewi tertawa. "Mana bisa. Kemampuan dokter Syakila saja tidak bisa kuimbangi, apalagi dokter Radit, tidak akan bisa aku kalahkan."

"Hei, jangan merendah begitu." Dokter Radit menepuk pelan bahu Jewi. "Ngomong-ngomong, hari ini dokter Syakila tidak masuk, ya? Kok aku tidak lihat?"

"Kenapa? Rindu, ya?" ucap Jewi dengan lirikan menggoda. Dokter Radit sampai tertawa melihat kelakuan juniornya itu.

"Ehem."

Jewi dan dokter Radit menoleh bersama-sama saat mendengar dehaman itu –yang ternyata berasal dari dokter Syakila yang berdiri seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Loh, panjang umur. Baru juga digosipin."

"Digosipin?" Kening dokter Syakila mengerut dalam. "Aku baru tahu kalau dokter Radit juga tukang gosip."

"Hei, bukan begitu," balas dokter Radit cepat yang berhasil membuat Jewi tersenyum.

Dokter Syakila menipiskan bibirnya lalu beralih menatap Jewi yang masih dengan ekspresi yang entah kenapa sangat menyebalkan di mata Syakila. "Mama kamu datang. Apa kamu tahu?"

Ekspresi Jewi langsung berubah. "Hah? Yang benar, Mbak?"

Dokter Syakila mengangguk cepat. "Aku juga tidak sempat menemuinya, karena kulihat mama kamu lagi ngobrol sama Rafka."

"Mbak lihat di mana?"

"Di koridor kamar mama Rafka dirawat."

Jewi mengangguk paham lalu segera pamit pada dokter Radit dan juga Syakila. Tumben sekali mamanya berkunjung tidak memberi kabar. Biasanya dia akan membombardir Jewi melalui telepon bahkan chat jika saja mama Jewi tidak mendapat jawaban dari panggilannya itu.

Lokasi di sekitar koridor kamar di mana mama Rafka dirawat memang lumayan sepi, maka itu pula lah Jewi bisa mendengar percakapan antara mamanya dan juga Rafka sebelum Jewi berbelok ke koridor itu.

Jewi menghentikan langkah buru-burunya saat mendengar mamanya sangat antusias bercerita. Bukan menceritakan tentang dirinya, melainkan Bela dan tentu saja juga cita-citanya untuk menjadi dokter. Jewi menyenderkan punggung lelahnya di dinding dan mendengar semua celotehan mamanya yang entah kenapa juga ditanggapi oleh Rafka. Karena mamanya terdengar antusias, Jewi memilih untuk berlama-lama di tempatnya. Menikmati cerita mamanya yang sudah sering didengarnya ketika bertemu dengan orang baru.

Menghela napas pelan, Jewi akhirnya memberanikan diri untuk menghampiri keduanya yang tampak asyik mengobrol. "Hai, Ma."

"Oh, hai, Nak."

"Kenapa Mama tidak bilang mau ke sini?"

"Mama tadi mau nelpon kamu pas di depan rumah sakit, karena mama tahu mamanya Rafka masuk rumah sakit. Kebetulan mama ketemu Rafka di lobi, jadi ya mama tidak jadi telpon kamu."

"Mama sudah menjenguk tante Nisa?"

"Sudah, tapi dia lagi tidur." Jewi mengangguk pelan. "Bagaimana, Rafka. Jewi ini sangat mirip dengan Bela, kan?"

Mulai lagi.

Sadar ekspresi Jewi sangat tidak bersahabat sekarang, Rafka tersenyum tipis lalu berdiri tepat di samping Jewi. Dia menatap Jewi yang entah kenapa daritadi enggan melihat ke arahnya. "Tante jangan tersinggung, ya. Tapi menurutku Jewi sangat berbeda dari Bela. Meski aku tidak tahu aslinya Bela seperti apa. Tapi aku meyakini bahwa setiap orang punya keunikannya masing-masing. Aku bahkan tidak yakin jika Jewi tidak ingin jadi dokter seperti ucapan Tante. Karena yang kulihat, Jewi sangat mencintai profesinya. Saking cintanya aku bisa saja disuntik mati kalau saja meremehkan kemampuannya."

Akhirnya Jewi menatap ke arah Rafka. Sejujurnya Jewi tidak menyangka jika Rafka akan membelanya. Karena biasanya, orang yang menjadi lawan bicara mamanya akan lanjut membahas perihal Jewi yang tidak ingin menjadi dokter berikut dengan alasannya.

"Itu pasti karena Jewi sudah terbiasa di profesi ini, jadinya terbawa kan?" ucap mama Jewi seraya menatap ke arah Jewi seolah meminta persetujuan atas ucapannya.

"Sudah cukup, Ma. Sebaiknya mama pulang, karena aku masih ada kerjaan dan Rafka pasti juga sedang sibuk."

Mama Jewi tampak berpikir sejenak lalu akhirnya mengangguk setuju dengan ucapan Jewi. Dia pun akhirnya memilih untuk berpamitan pada Rafka dan meminta agar salamnya pada Nisa –mama Rafka disampaikan.

"Aku antar," ujar Jewi .

"Tidak usah, kamu pasti sedang sibuk. Biar mama pesan taxi saja."

Jewi akhirnya setuju dan hanya berniat untuk menemani mamanya sampai di depan rumah sakit untuk mencari taxi.

Mama Jewi sudah berjalan lebih dulu, sementara Jewi sengaja memberi jarak sedikit karena ingin berterimakasih pada Rafka. "Thanks.

"For what?"

"Karena suda membelaku."

"Aku tidak membelamu. Tapi itu yang aku lihat."

Jewi tersenyum tipis lalu meninggalkan Rafka yang masih setia berdiri di tempatnya. "Jewi," panggil Rafka.

"Kalau tidak suka, tinggal bilang. Bukan dipendam."

Jewi menghentikan langkahnya dan mencerna ucapan Rafka. Apa cowok itu tahu perasaannya? Apa dia tahu bahwa dia sudah muak dengan kebiasaan mamanya itu? Dan pada akhirnya, Jewi kembali melangkah dengan hati yang entah kenapa terasa ringan. Apa karena dia merasa bahagia karena akhirnya menemukan orang yang memahaminya? Entahlah.

"Jewi," panggil Rafka. Jewi berbalik dan menatap Rafka. "Kalau dilihat-lihat, dari cara jalanmu ... kayak kamu cocok jalan sama aku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top