10. Cantik meski galak


Aneh rasanya jika mereka berada di satu tempat tetapi tidak saling menyapa. Maka, Jewi pun memilih untuk menghampiri Rafka yang kini terlihat sedang duduk sendiri di loby rumah sakit. Dua gelas kopi berada di masing-masing tangan Jewi –dengan niatan segelas untuknya dan segelas lagi untuk Rafka.

“Kamu di sini?” tanya Jewi setelah berada tidak jauh dari posisi Rafka.

Rafka mendongak dan menatap Jewi cukup lama sebelum akhirnya dia tersenyum tipis dan mempersilakan Jewi untuk duduk di sampingnya.

Jewi menuruti dan akhirnya duduk tepat di sebelah Rafka. Agak aneh rasanya, tetapi ya sudahlah. “Kamu minum kopi?” tanya Jewi sebelum mencoba menawarkan.

“Baru saja sudah minum kopi. Kenapa?”

“Oh, tidak apa-apa.”

“Kamu mau berbagi kopi ke aku?” tanya Rafka seraya menatap dua buah kopi yang ada di tangan Jewi.

Jewi tersenyum kecil. “Tadinya begitu. Tapi tidak jadi.”

“Tidak apa-apa. Sini kopinya.”

“Kamu yakin?”

Rafka tersenyum dan mengambil satu gelas kopi di tangan Jewi. Disesapnya sedikit hingga menyisakan setengah gelas. “Hmm, yang ini ternyata rasanya lebih enak. Apa karena kamu yang kasi, ya?”

Jewi memutar kedua bola mata. Bisa-bisanya dalam kondisi seperti sekarang dia masih bisa menggombal. “Ngomong-ngomong, kemarin aku lihat tante Nisa dibawa ke sini. Bagaimana keadaannya?”

“Kamu tahu dan baru menjengukku hari ini?”

“Bukan begitu. Maksudku, aku sibuk kemarin jadi baru sempat datang sekarang,” jelas Jewi. Sebenarnya yang sibuk bukan pekerjaannya, melainkan pikirannya. Jewi terlalu naif untuk sekadar menyapa Rafka di tengah kehadiran dokter Una di sana.

“Oh, begitu. Mama kemarin mengalami kecelakaan mobil. Lukanya lumayan parah, tangannya belum bisa digerakkan. Kalau kata Una, itu hanya cidera kecil. Hanya butuh beberapa minggu agar segera pulih.” Jewi mengangguk paham.

“Lalu, sedang apa kamu di sini?”

“Hanya menghirup udara segar.”

“Lalu tante Nisa?”

“Dia sedang makan.”

“Katanya tangannya sedang sakit?”

“Iya. Ada Una di sana. Jadi aku ambil kesempatan untuk keluar sebentar.”

Mendengar nama dokter Una disebut sukses membuat Jewi terdiam. Tidak salah lagi, mereka berdua –dokter Una dan Rafka pasti punya hubungan dekat. Pacar misalnya.

“Kalau begitu, aku pamit dulu. Aku harus mengecek pasien.”

“Sekarang? Cepat sekali.”

“Iya. Aku sudah janji. Sampai jumpa.”

“Lunch?”

“Hah?”

“Mau lunch sama aku?”

Jewi terdiam beberapa saat dan menimbang-nimbang ajakan itu. Merasa tidak memiliki janji makan siang dengan orang lain, Jewi pun akhirnya mengangguk dan mengiyakan ajakan Rafka.

“Oke. Aku jemput nanti.”

“Tidak usah. Kita ketemu di sini saja,” pinta Jewi yang langsung disetujui oleh Rafka. “Kalau begitu, aku pergi dulu.”

***

“Jangan kira aku tadi tidak melihat kalian berdua di lobi,” ucap Syakila dengan kedua mata dipincingkan.
Jewi yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya hanya bisa bergumam tidak jelas. “Kalian ... pacaran?”

Jewi menghentikan kegiatannya dan beralih menatap Syakila yang terlihat benar-benar penasaran dan menunggu jawaban darinya. “Kenapa Mbak ambil kesimpulan seperti itu?”

“Soalnya kalian tadi terlihat sangat ... apa, ya? Dekat? Romantis?”

“Seharusnya Mbak refreshing. Jangan kebanyakan berfantasi.”

“Aku sedang bertanya. Lalu, apa jawabannya?”

“Jawabannya, tidak.”

“Waah, sayang sekali. Padahal tadi kalian berdua sudah terlihat sangat serasi.”

Jewi menghela napas panjang dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. “Dia cuma mengajak makan siang nanti.”

“Berdua?”

“Mbak mau ikut?”

Syakila tertawa kecil. Dia lalu menepuk bahu Jewi cukup keras hingga Jewi mengaduh. “Kamu ini. Diajak kencan malah mengajak orang lain. Percuma ilmu romantisasi yang kamu dapatkan dari drama Korea yang kamu nonton selama ini.”

“Aku suka drama misteri.”

“Ya. Terserah kamu.” Jewi tergelak. “Ngomong-ngomong. Bagaimana keadaan mama Rafka?”

“Dia baik-baik saja. Hanya saja tangannya masih sakit dan tidak bisa digerakkan.”

“Kamu habis menjenguknya?”

“Belum. Mungkin nanti, setelah makan siang. Lagipula, tadi masih ada dokter Una di sana.”

Syakila makin penasaran. “Sedang apa dia di sana?”

Jewi menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Sedang menyuapi mama Rafka?”

Raut terkejut tidak bisa disembunyikan dari wajah Syakila. Mulutnya bahkan terbuka lebar mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Jewi. Ya, setidakmenyangka itu dengan apa yang baru saja dia dengar. “Hah? Jadi, dokter Una sebenarnya kenal dekat dengan keluarga Rafka?”

“Bisa jadi?” balas Jewi tidak yakin.

“Wah, apa jangan-jangan dokter Una punya hubungan khusus ya dengan Rafka? Tapi, kalau memang seperti itu kenapa Rafka gencar sekali mendekati kamu?”

Jewi mengangkat kedua bahunya tak tahu. “Mungkin dia memang seperti itu ke semua orang.”

“Haishh. Tapi jelas sekali jika Rafka itu menganggap kamu spesial.”

“Ya, terserah lah. Aku tidak mau mengambil pusing.”

“Tapi kamu jangan putus asa. Apalagi overthinking dengan Rafka. Siapa tahu dokter Una keluarga dia, kan? Jadi, masih ada kesempatan.”

Jewi tidak membalas ucapan Syakila lagi karena saat ini dia benar-benar sedang tidak mood membahasnya.

***

Jewi dilanda keraguan. Antara ingin segera ke lobi karena sudah waktunya makan siang, dan mencoba menyibukkan diri agar tidak bertemu dengan Rafka dulu. Karena jujur saja ucapan Syakila terkait hubungan antara Rafka dan dokter Una cukup mempengaruhinya saat ini.

“Apa aku batalkan saja, ya?” gumam Jewi pelan.

Tidak mau merasa terganggu dengan pikirannya itu, Jewi segera mengambil ponselnya dan berniat untuk menghubungi Rafka dan memberitahunya bahwa dia tidak jadi makan siang bersamanya. Namun, niatnya itu harus ditahan setelah mendengar ketukan di pintu ruangannya.

Jewi bergerak dari posisinya dan segera membuka pintu itu. “Maaf tapi sekarangn jam istir-“

“Hai.”

“Loh, Rafka?”

“Tadi aku tunggu di lobi. Tapi aku tidak melihat kamu di sana. Jadi aku ke sini, deh.” Rafka tersenyum lebar. Membuat Jewi sedikit merasa bersalah karena sudah berniat untuk membatalkan janji dengan laki-laki yang ada di hadapannya ini.

Menghela napas pelan, Jewi pun akhirnya mau tak mau harus membatalkan niatnya untuk menolak makan siang bersama dengan Rafka.

“Mau makan di mana?”

“Aku mengikut saja.”

“Oke. Kalau begitu, kita ke resto aku saja. Bagaimana?”

“Oke.”

***

Jewi cukup terkesima dengan menu-menu baru yang semakin berkembang di restoran milik Rafka ini. Lama tidak berkunjung, ternyata selain roti lapis ada juga beberapa menu baru termaksud tonkatsu –makanan favorit Jewi.

“Aku baru tahu kalau di restoran ini ada menu tonkatsu,” ujar Jewi setelah Rafka memesan dua porsi tonkatsu untuk mereka.

“Iya. Itu menu baru juga. Kemarin aku mau mengajak kamu ke sini untuk mencobanya, tapi tiba-tiba mama aku kecelakaan.”

“Hmm, tidak apa-apa. Tapi, apa mama kamu tidak apa-apa ditinggal sendiri?”

“No. Dia tidak sendiri. Dan aku sudah izin dengan mama.”

“Umm, ada dokter Una lagi, ya?”

Rafka menaikkan sebelah alisnya. Dia terdiam beberapa saat lalu melipat kedua tangannya di atas meja. “Bukan. Tapi sama sepupuku.”

“Oh.”

"Kenapa? Cemburu?" tanya Rafka dengan nada tertawa yang entah kenapa sukses membuat Jewi merasa sedikit sebal.

"Kalau iya?"

"Kalau iya, kita nikah besok."

Jewi hampir saja tersedak tonkatsu yang baru saja dikunyah. Dia lalu menatap Rafka yang saat ini menatapnya dengan senyuman lebar. "Mudah sekali ya cara mengajaknya? Seperti anak kecil saja yang mengajak main."

"Kita juga bisa main. Tapi nanti. Setelah kita menikah." Jewi mengerutkan kening dan menatap tak suka ke arah Rafka. "Kamu berpikir apa?"

"Jangan sembarangan!"

"Loh, maksud aku kan kita bisa main juga. Ke Bali, ke Korea, ke mall, atau ... ke mana pun. Kok sembarangan?"

"Sudahlah. Cepat makan. Nanti waktu istirahatku habis."

Rafka melebarkan senyumnya seolah puas melihat raut sebal di wajah Jewi. Namun, hal yang semakin membuat Rafka gemas adalah munculnya semburat merah muda di kedua pipi perempuan yang duduk di hadapannya itu.

Cantik ...

meskipun galak.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top