1. Dokter Jewi
Halo, aku datang dengan cerita baru.
Kali ini aku akan menyajikan cerita dengan latar belakang dunia kedokteran dan psikologi. Tapi di sini aku umumkan bahwa penyakit, proses penyembuhan pasien nggak akan kujelaskan terlalu detail karena takut ada yang ketrigger. Tapi, sebisa mungkin aku akan membuatnya tergambar dan bisa dipahami meskipun nggak terlalu menonjolkan penyakit dan penyembuhannya.
Apabila di sini ada pembaca yang basic-nya adalah seorang dokter dan psikolog atau yang memahami dunia kedokteran, teman-teman sangat diperkenankan memberikan masukan, kritik, dan juga saran apabila saya melakukan kesalahan selama menuliskan cerita ini.
Warning!
Cerita ini hanya fiktif! Semua nama tokoh, tempat, dan kejadian murni imajinasi penulis.
.
.
.
Hari ini rumah sakit Gemilang kedatangan pasien yang lumayan banyak. Pasien itu merupakan korban kecelakaan beruntun yang terjadi tidak jauh dari lokasi rumah sakit Gemilang. Terdapat empat orang lelaki paruh baya, dua orang balita, dua orang wanita paruh baya, dan satu orang lansia. Jewi yang merupakan seorang dokter spesialis bedah jantung pun tidak luput dari kesibukan yang terjadi di sana. Pasalnya, ada dua orang pasien yang terindikasi mengalami hemothorax dan hanya dia satu-satunya dokter bedah jantung yang tidak libur hari ini.
“Kita akan mengoperasi pasien yang ada di ranjang dua. Segera siapkan ruang operasi, saya akan segera ke sana,” ujar Jewi segera setelah melakukan pemeriksaan pada pasien lelaki paruh baya yang ada di hadapannya.
“Baik, dokter.”
“Bagaimana dengan wali pasien?”
“Wali pasien ada di sini, Dokter. Dia salah satu korban kecelakaan juga, tetapi untungnya tidak terluka parah.”
“Baik. Segera hubungi mereka untuk menandatangani surat persetujuan untuk operasi.”
Jewi bergegas menuju loker miliknya dan mengganti pakaian menggunakan scrub. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Jewi segera menuju ruang operasi dan segera masuk setelah melakukan cuci tangan bedah terlebih dahulu.
“Bagaimana kondisi pasien?” tanya Jewi setelah berada di samping pasiennya.
“Tekanan darahnya rendah dan tingkat saturasi oksigennya tidak stabil. Hal ini bisa mengakibatkan terjadinya gagal jantung saat dilakukan pembedahan. Dokter yakin?” tanya dokter Airin memastikan.
Jewi menatap semua rekan dokternya yang ada di ruangan itu. “Kita fokuskan pada pengendalian kerusakan kemudian pendarahannya. Tolong Bu Alsa, siapkan large tape dan beberapa abdominal suction. Karena saat saya membedahnya akan banyak darah yang keluar,” jelas Jewi sebelum memulai operasinya.
“Baik, dokter.”
“Mess.”
***
Operasi berjalan dengan lancar dan pasien pun akhirnya bisa dibawa ke ruang ICU. Jewi yang masih akan melakukan operasi kedua pun belum bisa menarik napas lega karena menurut informasi yang dia terima dari rekannya, ternyata pasien kedua yang akan dioperasi mempunyai riwayat penggunaan aspirin yang bisa membuatnya kehilangan banyak darah. Namun, sebagai dokter tentu dia akan melakukan yang terbaik untuk pasiennya.
“Dokter, ruang operasi dan pasien sudah siap.”
“Baik. Saya segera ke sana.”
***
Berbeda dengan operasi pertama, operasi kedua ini memakan waktu yang cukup lama karena sesuai dengan prediksi, darah keluar lumayan banyak saat proses pembedahan.
“Saya sudah selesai menjahitnya. Dokter Haikal bisa melanjutkan?”
“Siap, Dokter.”
Jewi melepas sarung tangan, masker, nurse cap, terusan operasi dan juga apron medis yang sudah digunakan sebelum keluar dari ruang operasi. Dia lalu memijat pelan tengkuknya yang terasa sangat tegang.
“Apa aku spa aja, ya? Tapi ngantuk juga.” Jewi menghela napas pelan dan berniat untuk segera pulang, namun tatapannya tiba-tiba tertuju pada seorang wanita paruh baya dan juga seorang anak kecil yang sedang tertidur pulas di pangkuan wanita itu.
“Apa ibu adalah wali pasien?” tanya Jewi setelah menghampiri wanita itu.
“Bukan, Dokter. Walinya adalah anak ini. Saya hanya menemaninya karena dia sendirian.” Jewi mengangguk pelan lantas mencoba untuk mengelus kepala si anak. Namun, belum sempat Jewi menyentuhnya, anak itu terbangun.
Anak kecil itu mengucek matanya dengan pelan. “Bu Dokter, bagaimana keadaan ayah saya?” tanyanya dengan suara parau.
Jewi tersenyum lebar lantas meneruskan dirinya untuk mengelus kepala anak laki-laki itu. “Kamu tidak usah khawatir. Dokter sudah melakukan yang terbaik dan sebentar lagi ayah kamu akan sembuh. Oke?”
Anak kecil itu tersenyum semringah seraya mengangguk dengan cepat. Mata yang tadinya terlihat sayu berubah menjadi berbinar dan penuh semangat.
“Alhamdulillah operasinya berjalan dengan lancar. Tetapi beliau masih harus dalam pengawasan dokter,” ujar Jewi pada wanita yang senantiasa menemani anak kecil itu.
“Itu ... lantas bagaimana dengan suami saya, Dokter?”
“Suami ibu ...” Jewi menggantungkan ucapannya karena tidak tahu suami wanita itu yang mana.
“Tadi saya diminta untuk menandatangani surat persetujuan operasi, Dokter.”
“Ah, suami ibu saat ini sudah dibawa ke ICU. Tapi Ibu belum bisa menjenguk karena suami ibu masih harus dalam pengawasan dokter juga. Untuk sementara Ibu hanya bisa melihat dari luar ICU.”
Tatapan wanita itu berubah menjadi khawatir, tangannya bahkan menggenggam erat rok yang digunakan. Jewi yang menyadari hal itupun lantas menggenggamnya dan mencoba untuk menenangkan wanita itu.
“Ibu tenang saja. Suami Ibu akan baik-baik saja.”
“Terima kasih, Dokter.”
Jewi mengangguk pelan. "Sama-sama.”
***
Saat sedang mengganti pakaiannya, tiba-tiba ponsel milik Jewi berdering. Nama mamanya tertera di sana dan entah kenapa membuat perasaan Jewi jadi tidak enak.
“Halo, Ma.”
“Ini udah pukul tujuh malam, loh. Harusnya kamu udah selesai shift-nya jam lima tadi. Kok belum pulang?”
“Aku baru aja operasi dua pasien, Ma. Dan ini baru mau balik.”
“Ya Allah, gimana operasinya? Lancar?”
“Hmm, alhamdulillah lancar.”
“Ya sudah, pasti kamu capek. Kamu bisa nyetir sendiri?”
“Bisa kok, Ma.”
“Oke. Kalo gitu kamu langsung ke restoran Queen Faza, ya.”
Kening Jewi mengerut dalam. “Ngapain, Ma? Aku ngantuk ini. Beli pake aplikasi ojek online aja.”
“Heh, siapa bilang mama mau pesan makanan? Mama lagi ada di Queen Faza sekarang. Udah buru, Mama tunggu. Mama juga mau ngenalin kamu ke temen mama.”
“Tapi, Ma–“
“Udah, ya. Mama tunggu.”
Jewi memejamkan matanya perlahan –mencoba menenangkan dirinya yang cukup merasa kesal dengan keputusan sepihak mamanya itu. Ya mau bagaimana lagi? Mau tak mau dia pun harus pergi ke restoran yang merupakan restoran favorit mamanya itu dan ikutan haha hihi meski nyawa dan pikirannya sebenarnya sudah ada di kasur.
“Oke. Say hi sebentar habis itu pergi juga nggak papa mungkin.”
***
Perjalanan menuju restoran Queen Faza tidak semulus yang dibayangkan Jewi. Beberapa kali dia harus terjebak macet dan sampai di restoran tepat satu jam setelah dia meninggalkan rumah sakit. Untungnya, keberadaan mamanya langsung bisa terdeteksi oleh Jewi yang kini berada di pintu restoran.
“Hai, Ma,” ujar Jewi mencoba menyadarkan keberadaannya di sana.
“Oh! Hai, Sayang. Ayo, duduk dulu.” Jewi mengambil posisi duduk tepat di samping mamanya. “Nis, kenalin, nih, anak aku. Namanya Jewi.”
“Oh, ini si bu dokter?”
“Iya, bener.” Mama Jewi tersenyum semringah. Sangat terlihat betapa bahagianya dia saat ini. “Ayo, Jewi. Kenalan dulu sama tante Nisa.”
“Halo, Tante.”
“Halo, Sayang. Kata mama kamu, kamu habis operasi pasien, ya?” tanya Nisa berbasa-basi.
“Iya, Tante.”
“Wah, hebat banget, ya.” Kemudian cerita terus berlanjut hingga seorang laki-laki datang dan mengucap maaf berkali-kali. Jika Jewi taksir laki-laki itu berusia sekitar pertengahan dua puluh atau lebih. Tapi dia terlihat memang lebih dewasa dan juga berwibawa.
“Loh, ini Rafka?” tanya mama Jewi dengan nada terkejut.
Laki-laki yang kini duduk di hadapan Jewi itupun tersenyum lebar dengan diiringi anggukan pelan. “Benar, Tante. Saya Rafka. Tante sahabatnya mamah, kan?”
“Wah, selain ganteng dan pintar, ternyata Rafka ingatannya tajam juga. Mana masih ingat aja sama tante.”
Semuanya tertawa heboh sementara Jewi hanya bisa terdiam karena tidak tahu letak lucunya di mana.
“Kamu ... Jewi, kah?” tanya Rafka sedikit ragu.
“Wow. Dia bahkan ingat Jewi.” Mama Jewi tentu saja takjub. Pasalnya, seingat dia pertemuan antara dia dan sahabatnya itu terjadi sudah lama sekali, mungkin saat Jewi masih di bangku SMP dan mama Jewi sangat tidak menduga jika anak sahabatnya itu masih mengingat semuanya. “Jewi sekarang jadi dokter lo, Rafka. Dia ternyata berbakat meski cita-cita jadi dokter sebenarnya ... cita-cita kakaknya.”
Entah sadar atau tidak, tapi Rafka menyadari ekspresi Jewi seketika berubah saat mendengar kakaknya disebut. Jewi bahkan tampak merasa tidak nyaman setelahnya, dan saat itu juga Jewi berdiri dan mengambil tasnya.
“Ma, aku duluan. Capek banget soalnya. Nanti minta papa jemput aja. Tante, saya duluan.” Jewi tersenyum tipis lalu bergerak meninggalkan meja setelah mendapat persetujuan dari kedua wanita itu.
Meski fokus mama Rafka dan mama Jewi kini teralihkan dari kepergian Jewi, tatapan Rafka justru terus tertuju pada sosok Jewi yang kini menghilang di balik pintu restoran itu. “Jewi,” gumam Rafka pelan. Sangat pelan hingga hanya dirinya yang bisa mendengar gumaman itu.
***
Terima kasih sudah membaca🥰
***
Note:
* Hemothorax : kondisi ketika darah mengumpul di rongga pleura, yaitu celah tipis di antara dinding dada dan paru-paru.
* Scrub : Pakaian untuk operasi
* Abdominal Suction : Alat penghisap
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top