84. Aku Butuh Kak Jeno
"Tidur dulu, ya," ucap Julian sambil mengelus rambut gadis itu pelan.
Naya mengelap air matanya yang kembali keluar. "Ayah masih ada nggak ya, Kak?"
Julian tersenyum. "Kamu harus kuat. Berdoa. Harapan sekecil apa pun bisa jadi sebuah keajaiban."
Naya mengangguk. Tangisnya sudah reda, menyisakan isakan kecil yang menyesakkan dada.
"Aku mau tidur tapi nggak bisa," lirih Naya. "Aku mau minum obat tidur, Kak."
"Dicoba dulu. Jangan langsung minum obat," ucap Julian tidak setuju.
"Nggak bisa," Naya berusaha mengatur napasnya. "Badan aku sudah capek banget, tapi tetap nggak bisa tidur. Aku malah makin sedih kalau gini terus."
Julian menghela napas. Ia berdiri dari posisi duduknya di karpet kamar Naya. "Sebentar ya, aku cariin obat dulu."
Julian turun ke lantai satu. Jevin yang sedari tadi menunggu dengan cemas di meja makan, langsung menatap Julian meminta penjelasan. Pasalnya Naya pulang lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Gadis itu tampak kacau dan langsung pergi ke kamar, Julian hanya diam mengikuti. Sudah dua jam lamanya, baru sekarang Julian menyapa Jevin.
"Ada obat tidur nggak, Jev?" tanya Julian dengan nada lelah.
Jevin berusaha mengingat-ingat. Tidak ada yang menderita insomnia di rumah ini. Dengan ragu, cowok itu menunjukkan kotak obat yang disimpan di ruang tengah pada Julian.
Julian menghela napas ketika tidak menemukan hal yang dicarinya. Ia menoleh ke arah Jevin dan berkata, "Nggak ada."
"Mau dibeliin dulu?" tawar Jevin.
Seketika Julian ingat. "Ada Loratadin, nggak?"
"Hah?"
"Obat alergi," buru-buru Julian meralat.
"Gue ada kalau itu," jawab Jevin sambil berlalu ke kamarnya sendiri. "Gue ambil dulu."
Jevin kembali tak lama kemudian. Julian membaca nama obat yang ia berikan. Ini obat antihistamin generasi dua yang memiliki efek samping bikin mengantuknya tidak sekuat generasi pertama. Yah, semoga saja Naya termasuk orang yang bisa tidur dengan minum ini. Agak malpraktek sih sebenarnya, tapi tetap Julian coba.
"Bang," cegat Jevin cepat ketika melihat Julian sudah akan kembali naik tangga. "Ceritain dulu kenapa Naya bisa kayak gitu."
Julian menjelaskan secara singkat musibah yang menerpa keluarga Mark. Jevin terkejut mendengarnya. Ia berpikir, pantas saja Naya terlihat begitu terguncang.
"Besok Naya pulang sama siapa?" tanya Jevin.
"Sama aku," jawab Julian langsung memutuskan. "Sebelum koas di stase berikutnya aku dapat libur seminggu."
Jevin tidak pernah banyak mengobrol dengan Julian. Dirinya geli sendiri mendengar Julian menggunakan aku-kamu saat bicara dengannya. Berasa pacaran. Maklum, Jevin kan anak gaul Jaksel.
"Naik apa, Bang?" tanya Jevin lagi.
"Kereta. Kita berangkat jam 7 pagi dari Lempuyangan."
"Besok pagi gue anter," ucap Jevin final. Cowok itu tidak bisa membutakan diri dari masalah Naya. Jevin ingin berada di dekat gadis itu walaupun tidak bisa membuatnya lebih tenang.
Julian mengangguk. "Ya sudah, aku ke Naya dulu ya. Kasihan ditinggal kelamaan."
Jevin membiarkan Julian pergi. Dirinya masih menunggu di dapur. Ada perasaan tak rela karena tahu Naya mencari orang selain dirinya saat gadis itu sedang bersedih.
Jevin pernah membaca sebuah quotes, entah dimana. Kira-kira seperti ini isinya. Orang pertama yang kau cari saat sedang bahagia adalah orang yang kau sayangi. Orang yang kau ingat ketika sedih adalah orang yang tulus menyayangimu.
Jevin pernah mengaplikasikan hal tersebut dalam hidupnya. Ketika ia senang karena berhasil masuk UGM jurusan bisnis sesuai dengan cita-cita, Jevin langsung mencari pacarnya saat itu untuk merayakan hal baik tersebut bersama. Saat Jevin sedang sedih karena hasil ujian pertama yang ia lalui di bangku kuliah tidak berjalan sesuai dengan yang ia impikan, Jevin langsung teringat dengan Mama.
Agak kurang ajar sih memang, ingat keluarga kalau sedih doang. Untung aja Jevin nggak dikutuk jadi batu.
--
"Ternyata anak gadis Ayah sudah besar ya, sudah ditaksir banyak orang. Ayah jadi agak nggak rela kamu tumbuh secepat ini."
"Kan yang terpenting aku bakal selalu jadi anak Ayah."
"Kalau kamu sudah nikah nanti, kamu sudah jadi milik suami kamu."
"Jangan bahas nikah, Ayah. Terlalu cepat. Aku masih mau banyak belajar."
"Haha, iya. Ayah senang kamu bisa lebih terbuka kayak gini. Maafin Ayah dari dulu nggak bisa selalu ada untuk Naya."
"Iih, Ayah jangan ngomong gitu. Aku jadi sedih nih."
"Jangan sedih, dong. Anak Ayah kan makin cantik kalau senyum."
"Iya, Ayah."
"Jadi, balik ke topik tadi. Ayah bakal bebasin kamu untuk urusan milih jodoh."
"Nggak harus dari dinasti dokter atau yang profesi dokter, Yah?"
"Berkeluarga itu untuk membangun kehidupan baru. Bukan untuk mengoper tongkat pekerjaan orang tua ke anak. Ayah nggak mau kamu malah menyesal di akhir."
"Tapi, kok Ayah Bunda dulu maksa Kakak untuk masuk jurusan kedokteran?"
"Ayah cuma nurut sama Bunda aja. Ayah nggak berani melawan. Kamu tahu sendiri Bunda kalau sudah marah seremnya kayak gimana," Naya hanya terkekeh mendengar ucapan sang Ayah.
"Kalau Ayah tetap kukuh maksa Mark untuk jadi dokter, nggak mungkin dong Ayah mau bayarin dia kuliah di jurusan teknik," lanjut Ayah.
"Aku pernah dengar waktu Kakak lagi ngomong sama Bunda. Bunda minta Kakak cari calon istri dokter, Yah."
Terdengar helaan napas dari Ayah. "Nanti Ayah coba bilang pelan-pelan ke Bunda."
"Terus, Ayah. Aku jadi baiknya gimana? Aku masih agak canggung sama Kak Jevin. Di sisi lain Kakak maksa aku jadian sama Kak Julian. Aku sayangnya sama Kak Jeno. Aku bingung, Ayah."
"Duh, Ayah jadi cemburu."
"Ayah..."
"Haha, iya iya," Ayah tertawa melihat Naya cemberut. "Itu sudah ada jawabannya. Kamu suka sama Jeno. Ya pasti pilih dia."
"Tapi, Yah... Akhir-akhir ini hubungan kita nggak terlalu baik. Jarang ada kabar."
"Naya," panggil Ayah. "Ada perasaan senang dan bangga jika kita bisa menyayangi seseorang. Tapi untuk Ayah, Ayah mau anak gadisnya ini dicintai dengan teramat sangat oleh seorang pria. Ayah nggak suka kalau hati kamu disakiti."
"Jadi, gimana, Yah?"
"Cari orang yang benar-benar tulus menyayangimu. Kamu bakal lebih mudah untuk mencintainya balik."
"Perasaan mencintai seseorang itu berat, Naya. Butuh keberanian. Kamu bakal sakit hati kalau ternyata perasaan kamu tak terbalas," lanjut Ayah.
Naya berpikir lama. Wajahnya sangat serius.
"Sedih nih Ayah, anak yang dulu masih ngompol di dada Ayah sudah mikir jauh tentang hubungan."
Naya meringis. "Pikirin nanti lagi, deh. Sekarang nonton pertunjukan gajah dulu yuk, Ayah. Biar nggak pusing.
--
Jeno memarkirkan motornya secara asal di halaman depan. Lelaki berkacamata itu membuka pintu rumah dengan tergesa. Ini pukul tiga dini hari, lampu dalam rumah sudah mati semua. Tidak ada hal yang menandakan masih ada aktivitas yang berlangsung.
"Kak Jeno, tolong. Pesawat Ayah jatuh. Aku nggak tahu harus ngapain. Kakak bisa jemput aku sekarang? Aku butuh Kak Jeno."
Pesan itu dikirim pukul setengah sembilan. Karena Jeno terlalu "sibuk" bermain, ia sampai tidak ingat dengan ponselnya. Cowok itu malah lanjut tancap gas ke Liquid cafe. Ia bersenang-senang dengan minuman dan menari di dance floor.
Jeno baru membaca pesan itu pukul dua dini hari. Seketika, pikirannya yang mulai berkabut dibawah pengaruh alkohol segera sadar. Cowok itu balik menelepon Naya puluhan kali, namun tentu saja tidak diangkat. Jujur, Jeno sangat panik. Ia sampai harus diberi masukan untuk mencari Naya di rumah oleh Hendery.
Jeno melepas sepatunya dengan asal. Cowok itu setengah berlari menaiki tangga. Tujuan utamanya adalah kamar gadis itu.
Julian keluar dari kamar Naya. Wajahnya terlihat benar-benar lelah. Dalam keremangan malam, cowok itu menatap Jeno yang berdiri terpaku di ujung teratas tangga.
"Ngapain lo di kamar Naya?"
Julian mengangkat kedua alisnya. Ia tahu hubungan rumit yang pernah terjalin antara Naya dan Jeno. Naya sendiri yang cerita. Ia berusaha jujur pada Julian ketika cowok itu secara lugas mengutarakan keinginannya untuk mendekati Naya.
Bagi Julian, kisah Naya itu bukan penghalang untuk tetap maju mendapatkan hati gadis tersebut. Toh, Jeno cuma masa lalu.
"Jangan diganggu, Naya baru bisa tidur jam satu," ucap Julian memberi peringatan. Ia mengabaikan pertanyaan si lawan bicara. Cowok itu menggeser tubuh Jeno agar menyingkir dari jalannya.
"Lo mau kemana?"
Julian menoleh ke arah Jeno. Posisinya saat ini Julian sudah melangkah setengah jalan menuruni tangga.
"Mau pulang sebentar. Aku harus persiapan baju untuk antar Naya besok pagi ke Jakarta," jawab Julian yang kemudian melanjutkan langkahnya.
Jeno terhenyak. Ia memandangi pintu kamar Naya dengan nanar. Apa yang Jeno harapkan, sih? Gadis itu sudah punya pengganti yang lebih baik dari dirinya. Naya sudah bahagia dengan Julian.
Aku butuh Kak Jeno.
Jeno menghela napas kasar. Kenapa dirinya seperti ini? Kenapa Jeno berharap? Naya pasti mengirim pesan dan menelepon dirinya berulang kali karena saat itu sedang kelewat bingung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top