72. Conversation

"Cerita dong, Naya."

"Hm, cerita apa ya?" Naya sedang berpikir.

"Tadi... waktu diajak jalan sama Mark."

Jeno sebenarnya penasaran sama kegiatan cewek itu, tapi dirinya terlampau malu untuk menanyakannya secara langsung. Harga dirinya terlalu tinggi untuk mengucap kata cemburu.

"Ya, siang tadi kan Kakak ajak aku jalan. Kirain mau jemput Kak Lia dulu kayak biasanya. Eh, nggak taunya, Kak Lia sama Kak Julian sudah ada di kafe. Sampai sana sudah ada hiasan-hiasan gitu. Lucu deh desainnya," ucap Naya memulai cerita.

Jeno cuma manggut-manggut. Ia membiarkan jemarinya dimainkan Naya.

"Terus, ya biasa sih. Ngobrol gitu. Makan. Kasih hadiah. Hm... ya kayak acara biasa kalau kumpul sama temen-temen," lanjut Naya. "Semuanya diurus Kak Lia ternyata. Soalnya Kakak nggak pinter bikin event kayak gitu. Kakak juga sengaja bikin acara ulang tahun tanpa ngajak anak-anak rumah karena tahunya aku masih punya masalah sama Kak Jeno dan Kak Jevin."

Jeno manggut-manggut lagi. Hal itu membuat Naya kegelian. Ia mendorong kepala Jeno agar menjauh, tapi cowok itu tetap bandel.

"Kalau Julian?" tanya Jeno. "Kok jadi bisa ikut?"

"Kakak yang ngundang Kak Julian. Kirain cuma asal ngomong, ternyata beneran diajak ikut."

Naya melirik Jeno yang masih asyik bersandar di bahunya. Tangan kirinya bergerak mengelus rambut Jeno.

"Bukan aku yang hubungin Kak Julian. Bener."

"Iya, gue percaya," jawab Jeno. Cowok itu mengambil tangan Naya dari kepalanya dan kembali ia bawa turun. "Mark comblangin kalian berdua ya?"

Naya menggeleng. Rambutnya jadi menggelitik sisi wajah Jeno.

"Nggak tahu deh, Kakak. Dia tahu nomor Julian juga langsung nanya sendiri ke orangnya pas anter aku pulang malam-malam habis kegiatan bakti sosial. Ghina sih cuma ceritain gimana Kak Julian kalau di kampus. Aku aja bingung kenapa Kakak bisa percaya banget sama Kak Julian," jawab Naya panjang lebar. "Kakak bilang sih, Julian udah paket komplet. Keluarganya juga dari dinasti dokter Obsgyn. Kata Kakak, pasti bakal langsung diterima Ayah Bunda sebagai calon mantu."

Jeno diam. Ia menarik kepalanya dan memilih bersandar di kasur Naya.

Gadis itu menoleh ke belakang. Ia mendapatkan tatapan datar dari Jeno. Seketika Naya sadar, dirinya terlalu banyak cerita hal yang tidak penting.

"Ma... Maaf," ucap Naya gugup. "Cerita yang lain deh ya.

Jeno menggeleng. Ia tersenyum samar. "Lanjutin ceritanya. Gue mau denger."

"Sudah habis. Nggak ada lagi," jawab Naya sambil mengerutkan dahinya. Gadis itu tampak khawatir.

"Gue nggak papa, Naya," jawab Jeno.

Ia mengusap kepala Naya pelan. Kedua tangannya kembali melingkar di perut gadis itu. Jeno lagi-lagi menunduk. Kali ini ia menyandarkan dahinya di bahu Naya.

Naya kembali menghadap ke depan. Tangan kirinya mengusap lengan Jeno lembut.

"Lo harus nikah sama yang dokter juga?" Jeno murni bertanya karena penasaran. Tiba-tiba dirinya kepikiran dengan Julian dan Rendra yang punya kesempatan lebih besar untuk mendapatkan Naya.

"Belum pernah bahas masalah itu sama Ayah Bunda. Kakak dulu sempat disuruh masuk kedokteran, tapi Kakak nolak. Semoga aja pikiran keluarga aku jadi nggak terlalu kolot. Masa harus meneruskan dinasti dokter, sih?" jawab Naya sambil mengomel.

Jeno terkekeh pelan. Gaya bicara Naya kalau lagi kesel itu lucu. Rasa cemburu Jeno jadi sedikit terobati.

"Kalau lo sendiri gimana?" tanya Jeno. "Mau nikah sama siapa?"

Wajah Naya memerah. Ia tertawa gugup. Bisa-bisanya Jeno bertanya hal seperti itu dengan nada bicara yang enteng.

"Jelasnya sih, sama orang yang aku sayang," jawab Naya. Ia memukul lengan Jeno ketika mendengar suara tawa cowok itu. "Ngerjain aku ya, Kak?"

"Nggak kok. Seneng aja dengernya." Jeno mengecup kepala belakang Naya. "Berarti tugas gue harus memastikan kalau lo bener-bener cuma sayang sama gue."

Naya mencubit lengan Jeno, membuat cowok itu mengaduh kesakitan. "Kak Jeno sudah mulai bisa gombal ya?"

"Gue nggak gombal. Gue beneran ngomong jujur itu."

"Iya, iya," jawab Naya. Ia berusaha menahan debaran di dadanya. "Lagian masih lama kok nikahnya. Aku mau nikah kalau sudah dapat gelar dokter aja. Hm, mungkin setelah selesai sekolah program master."

Jeno mengangkat wajahnya. Ia menarik Naya agar bersandar di dadanya. Cewek itu nurut. Lagipula Naya sudah tidak khawatir Jeno akan kembali mengintip ke dalam bajunya.

"Kalau sama Jevin gimana? Sudah ngomong, kan? Kok kemarin malah makin berani."

Naya teringat dengan sikap Jevin saat melerai pertengkaran Hechan-Naya kemarin. Naya juga tidak menyangka Jevin akan berbuat seperti itu di depan banyak orang. Gadis itu makin merasa bersalah karena Jeno melihat semuanya dari awal.

"Aku udah ngomong jujur ke Kak Jevin, kalau aku nggak bisa terima perasaan dia. Dia juga bilang ngerti. Katanya bakal move on pelan-pelan, nggak janji bakal cepat," jelas Naya. "Katanya sih sudah terlanjur suka banget sama aku. Kan aku bingung jadinya."

"Nggak usah bingung," timpal Jeno dengan nada serius. "Lo cukup pikirin gue aja. Jangan ada yang lain."

Naya terkekeh. Ia tahu kalau Jeno suka sekali mendominasi. Gadis itu memainkan jemari Jeno tanpa menjawab.

"Tadi gue lihat di Instagram Mark. Heran, malah banyak yang doain lo sama Hechan jadian," komentar Jeno dengan sedikit gusar. "Ada yang kalian tutupin ya?"

Naya tertawa. Ia duduk memutar tubuhnya hingga dapat melihat Jeno dengan lebih jelas. Gadis itu dengan berani menangkup kedua pipi Jeno dengan tangannya.

"Bilang aja cemburu. Apa susahnya sih, Kak?"

"Jawab dulu."

Naya menghela napas. Kedua tangannya turun. "Nggak ada yang ditutupin. Serius. Hubungan aku sama Kak Hechan ya biasa kayak yang sering keliatan di rumah. Fans Kak Hechan banyak yang nge-ship karena aku sempat muncul di salah satu video Q&A. Terus katanya kita berdua lucu. Kayak Tom and Jerry. Ya udah, banyak yang ambil spekulasi sendiri. Maklum, orang luar kan nggak tahu apa-apa, Kak."

"Jangan pergi."

Naya memandang ke dalam mata Jeno. Cowok itu serius. Dia benar-benar berharap.

Naya mengangguk. Ia mengelus sebelah pipi Jeno dengan pelan.

"Sudah malam. Kak Jeno nggak balik ke kamar?" tanya Naya saat melihat jam di meja belajarnya telah menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh menit.

"Gue tidur disini boleh, nggak?"

Mata Naya melotot. Ia memukul lengan Jeno. Cowok itu meringis kesakitan.

"Mesum."

Jeno mengerutkan dahi tak terima. Ia menyentil kening Naya dengan jari telunjuk.

"Lo yang pikirannya kemana-mana. Memang kalau 'tidur' tuh konteks-nya selalu ngarah kesana, apa?"

Naya meringis. "Memang nggak?"

Jeno menggeleng. "Gue cuma mau cuddle all night long. Kemarin kan gue udah marah seharian. Pengin nebus waktu yang ada."

"Hehe," balas Naya. Dia malu sendiri.

"Sini ah, jangan jauh-jauh. Bentar lagi hari ulang tahun lo sudah mau selesai nih," ucap Jeno sambil memutar tubuh Naya agar kembali duduk membelakanginya.

"Selamat ulang tahun ya, Shavella Nayana," ucap Jeno. Cowok itu memeluk Naya dari belakang dengan lebih erat. "Semua doa yang terbaik untuk lo. Untuk kita juga, deh."

Naya tertawa kecil mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Jeno. Gadis itu hanya mengamini.

"Terima kasih karena sudah hadir di hidup gue. Terima kasih karena sudah bertahan untuk gue. Terima kasih karena mau terima gue," ucap Jeno tulus. Ia menyandarkan dagunya di bahu Naya. "Semoga tanggal ini di tahun depan, depannya lagi, depan depannya lagi, dan selamanya, kita bisa merayakannya bersama."

Tepat dengan kalimat terakhir itu, jam digital di meja Naya berbunyi. Pukul dua belas malam. Hari ulang tahun Naya telah berakhir.

"Udahan Kak?" ucap Naya sambil mengelus tangan Jeno. "Sudah malam. Besok kuliah lho."

"Besok lo kelas jam berapa?" tanya Jeno.

"Jam sepuluh," jawab Naya.

"Gue masuk siang nih," ucap Jeno. "Mau ngapain dulu gitu nggak?"

"Ngapain?" tanya Naya.

"Nonton deh," jawab Jeno setelah berpikir beberapa saat. "Lo sama Jevin suka nonton Netflix bareng, kan? Gue juga mau cobain."

Naya terkekeh. Jeno and his jealousy.

"Kakak kan nggak suka nonton, nggak usah dipaksa," jawab Naya. "Kita ngobrol-ngobrol aja sampai ketiduran."

Jeno mengangkat kepalanya. Naya menoleh ke belakang. Takutnya Jeno ngambek lagi karena permintaannya ditolak.

"Ya sudah, yuk," jawab Jeno dengan semangat.

Jeno berdiri. Cowok itu melakukan peregangan sedikit. Pegal karena terlalu lama duduk.

Mata Naya membelalak terkejut ketika cowok itu berbaring di atas kasurnya tanpa izin. Naya tentu tak terima. Ia menarik tangan Jeno agar bangkit. Namun tenaganya kalah besar. Justru gadis itu sendiri yang jatuh menimpa tubuh Jeno.

"Gue kan bilang mau tidur di sini," seru Jeno sambil tersenyum miring.

Naya menahan napas. Saat ini posisi mereka benar-benar sangat dekat. Naya bahkan tersihir oleh wajah Jeno yang terasa makin tampan dilihat dari dekat begini.

Naya duduk. Ia memegangi kedua pipinya yang memanas.

"Aku... Aku kan belum bilang boleh," ucap Naya tergagap.

"Gue kan suka maksa," jawab Jeno cuek.

Cowok itu membenahi posisi tidurnya. Kasur Naya muat untuk dua orang kok, beda dengan kasur di kamar yang ada di bungalow. Jeno memasang "barrier" dengan guling dan aneka boneka Naya di tengah kasur. Cowok itu berbaring di sisi kanan.

"Sini, gue tungguin sampai lo tidur," ucap Jeno sambil menepuk bantal milik Naya. "Iya, gue nggak tidur disini kok. Nanti gue pindah kalau lo udah tidur."

Naya akhirnya menurut. Gadis itu menyalakan lampu di nakas, dan mematikan lampu kamar. Naya masuk ke dalam selimut.

Tangan kanan Jeno terulur. Ia mengusap rambut lembut Naya.

"Mau tangan Kak Jeno yang satunya," pinta Naya lirih.

Jeno menyodorkan tangan kirinya dengan bingung. Tak disangka, Naya menggenggam tangannya itu dan menaruhnya di bawah pipi Naya sebagai bantalan.

Dengan pencahayaan remang-remang begini, Jeno jadi makin terpukau dengan siluet Naya. Cowok itu berdoa dalam hati, semoga dirinya tidak lepas kendali saat Naya tidur nanti. Naya terlihat cantik dan menggemaskan.

Malam itu mereka melanjutkan obrolan ringan sambil berbaring. Tidak ada cuddle seperti yang awal Jeno bilang, takut khilaf sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top