68. Percakapan Malam
Jeno memarkirkan motornya di halaman belakang. Ia mendengar suara teriakan Hechan dan Mark yang sedang bermain di ruang tengah. Cowok itu ragu, apakah harus masuk atau tidak. Dia ingin melihat Naya, tapi kalau ada Mark, sama aja bohong. Nggak bakal bisa bebas melirik adiknya yang cantik itu.
Sepulang dari pantai dua minggu yang lalu, hubungan Jeno dan Naya tidak banyak berubah. Naya bicara jujur bahwa Mark tidak akan setuju dengan hubungan keduanya. Gadis itu terlalu takut mengambil resiko.
Jeno jadi mau tak mau mengalah demi kebaikan semua orang. Lagipula dirinya masih belum berani bicara jujur pada Jevin.
Keduanya sama-sama takut. Ada perasaan yang harus dijaga. Meskipun jatuhnya hubungan Jeno dan Naya saat ini terasa seperti hubungan terlarang.
Jeno duduk di tangga bungalow. Cowok itu mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Dengan ditemani cahaya rembulan malam itu, ia mengetik pesan singkat pada Naya. Sejujurnya Jeno agak was-was takut tidak dibaca, soalnya kalau di rumah Naya jarang sekali pegang ponsel.
"Lagi dimana?" ketik Jeno.
Cowok itu menunggu pesan balasan sambil menghidupkan rokok elektrik miliknya. Sepuluh detik kemudian pesan balasan masuk. Cepet juga, batin Jeno.
"Di kamar. Ada apa, Kak?"
"Ke jendela dong, mau lihat."
Tiga menit kemudian, jendela di ruang belajar lantai dua terbuka. Wajah Naya muncul di sana. Gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Jeno balas tersenyum. Ia menunduk, lagi-lagi mengetik pesan singkat untuk gadisnya itu.
"Gue telepon, boleh?"
Naya terkekeh kecil membacanya. Ia tidak membalas. Malah, gadis itu yang menelepon Jeno terlebih dahulu.
"Kangen aku ya, Kak?" sapa Naya penuh percaya diri sambil menempelkan ponsel di telinga kanannya.
Jeno hanya mendengus geli. Cowok itu membenahi letak kacamatanya agar dapat melihat Naya dengan lebih jelas. Wajah Naya selalu cantik baginya.
"Iya," jawab Jeno singkat. Ia memang berkata jujur. Jeno kangen Naya.
Naya tertawa kecil. Jeno yang denger sampai geregetan. Renyah banget. Jadi pengin meluk.
"To the point banget, Kak. Nggak bisa basa-basi sedikit apa?"
"Lo juga nggak ada jaga image dikit gitu ke gue?" balas Jeno.
"Aku ya gini aja. Lagian Kak Jeno sudah tahu aku luar dalam, kan? Kan peka tuh. Apa lagi yang mau aku tutupin?"
Jeno menunjukkan senyum miringnya. "Gue tahu lo luar dalam? Kayaknya belum deh."
"Kan Kak Jeno sendiri yang bilang bisa peka sama sekitar," komentar Naya. Gadis itu menumpu dagunya di bingkai jendela.
"Gue masih belum tahu ukuran dalaman lo."
Mata Naya membelalak terkejut. Punggungnya menegak. "Kak Jeno belajar mesum dimana? Gombalin cewek nggak jago, mesum malah lancar banget."
Jeno terkekeh mendengar omelan Naya di seberang telepon. "Serius, gue kangen banget."
Naya tersenyum. Cara bicara Jeno tuh natural banget. Nggak ada yang ditutupin. Nggak dikasih bumbu juga. Naya yang dengerin jadi suka.
Hingga saat ini, Naya masih merasa nyaman dengan hubungan mereka. Tidak perlu ada status, yang penting sama-sama suka dan mau. Rasa nyaman yang Naya dapatkan sebelum jujur tentang perasaannya pun, tetap sama hingga kini. Tidak ada rasa canggung sedikit pun.
Hal yang bikin beda, cuma satu. Naya bisa merasakan jantungnya berdebar lebih kencang ketika Jeno menyentuhnya. Jeno pun sama. Seperti ada garpu tala yang menyalurkan frekuensi serupa di antara mereka. Entah siapa pun itu yang lebih dulu berdebar, yang satunya pasti akan merasakan hal yang sama juga.
"Sabar ya," hanya itu yang bisa diucapkan Naya.
Jeno dan Naya saling pandang tanpa bicara. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga Naya menangkap bayangan rokok elektrik milik Jeno yang belum kembali disimpan.
"Kak Jeno masih rokok?"
Jeno buru-buru menyimpan benda itu ke dalam saku jaket. "Tadi cuma coba dua hisap kok. Serius. Soalnya lo langsung muncul di jendela."
"Iya, aku percaya. Lagian aku nggak bakal marah," balas Naya. "Kan Kak Jeno sudah bisa mikir sendiri."
"Iya, iya. Bawel."
Naya tersenyum. "Kak Jeno sudah makan?"
Jeno hanya mengangguk. Sore tadi sudah makan siomay sih, masih berlaku sampai jam sembilan malam kan?
"Makan yang bener ya. Biar nggak terlalu kurus."
"Kenapa memangnya? Nggak enak dipeluk ya?"
Naya memajukan bibirnya. "Ih, kok kesimpulannya kayak gitu sih. Kan aku takut Kak Jeno sakit."
Jeno tertawa kecil. Naya sangat menggemaskan.
"Naya."
"Hm?"
"Pergi ke tempat yang nggak ada sinyal lagi yuk."
Naya mengerutkan dahi tak mengerti dengan permintaan cowok itu. Ia kemudian ingat, tidak ada sinyal di pantai yang dulu mereka datangi. Dunia benar-benar terasa milik berdua. Tidak diganggu oleh siapa pun, dapat bersembunyi dari masalah, hanya membicarakan hal-hal menyenangkan bagi mereka berdua.
Gaya kencan pasangan introvert Naya-Jeno memang gitu. Aneh bin ajaib.
"Nanti aku dimarahin Kakak lagi karena nggak ada kabar," ucap Naya membalas. "Kemarin aja Kakak marah besar. Khawatir karena sampai malam nggak ada kabar."
Jeno mengangguk kecil. Salahnya juga, sih. Kalau dulu, dia masih bisa mengajak Naya pergi dan dengan mudah meminta izin pada Mark. Dengan masalah yang akhir-akhir ini terjadi, Mark menambah pengawasannya pada sang adik.
Jeno minta izin ngajak jalan Naya pada Mark? Cari mati namanya.
"Gue tunggu di Jakarta aja, deh. Liburan semester ya."
Naya tertawa. "Baru kuliah satu setengah bulan, sudah ngomongin liburan aja."
Jeno ikut tertawa. Dia tidak sadar bahwa dirinya kini menjelma jadi sosok cowok yang maunya dekat-dekat dengan orang yang disukai. Selama pacaran dulu, Jeno tidak pernah merasakan hal spesial. Jalan bareng ya karena ceweknya yang minta ditemenin. Kalau Jeno sih lebih suka apa-apa sendiri.
Kalau gitu ngapain pacaran ya? Nggak jelas memang Jeno. Cowok ganteng mah bebas.
"Naya, cerita dong," pinta Jeno.
Cowok itu duduk bersandar di pintu kamarnya. Ia menunduk sejenak sembari memijat leher dengan sebelah tangan. Pegel banget harus lihat ke atas terus.
"Hm, cerita apa ya?" tanya Naya pada diri sendiri. Gadis itu kemudian menjentikkan jari di depan wajahnya. "Oh iya, hari ini aku iseng masukin komik di Webtoon challenge. Seneng banget ada yang baca, walaupun belum banyak."
"Ceritanya tentang apa?" tanya Jeno. Ia paling senang mendengar nada ceria Naya ketika cerita dengan antusias seperti sekarang. Semua rasa capeknya kayak menghilang begitu saja.
"Tentang kita," jawab Naya. Ia buru-buru menambahkan, "Maksudnya tentang kehidupan aku. Tinggal bareng empat kakak cowok dan satu orang yang aku sukai. Based on true story, pokoknya."
"Ada gue juga dong? Harus bagus ya gambarnya. Muka ganteng gue jangan dibikin hina."
"Idih. Situ ngerasa ganteng?" komentar Naya nyinyir. Mana ada orang ganteng mengakui dirinya ganteng? Ada sih, Jeno.
Jeno tersenyum lebar. Ia berhasil membuat gadisnya kesal.
"Oh iya, Kak. Ngomongin tentang kehidupan aku sekarang...," ucap Naya menggantung. Gadis itu masih tidak yakin untuk meneruskan kalimatnya.
"Iya?" respon Jeno. Senyumnya hilang. Ia melihat perubahan raut wajah Naya yang tidak menunjukkan kabar baik.
"Aku mau jujur ke Kak Jevin."
Deg! Jeno bungkam.
Saat di pantai dulu, Jeno pernah menyuruh Naya untuk segera menolak Jevin dengan tegas. Namun setelah dipikir-pikir lagi, Jeno tidak siap kalau saudaranya itu tahu bahwa gadis yang ia kejar justru lebih memilih Jeno. Jevin bakal marah, itu pasti.
Jeno rasanya kembali menjadi laki-laki pengecut. Ia ingin egois. Jeno mau memiliki Naya, namun tidak ingin hubungannya dengan Jevin rusak.
Hanya masalah waktu saja sampai semua rahasia ini terbongkar.
"Aku jadi kasihan sama Kak Jevin. Sampai saat ini dia nungguin aku. Kak Jevin tetap baik ke aku, tanpa tahu kalau aku beneran nggak bisa suka balik. Kak Jevin berusaha bikin aku lihat dia, dengan cara yang nggak biasa."
"Maksudnya?"
"Kasih bunga, bikinin makanan, bantu belanja, beresin rumah, dan masih banyak hal lain lagi. Aku sudah berusaha nolak, tapi Kak Jevin selalu berhasil bikin aku diam. Perlakuannya manis banget."
Jeno hanya diam. Tangannya terkepal. Cowok itu sengaja tidak melihat ke arah Naya. Takut kelepasan bicara kasar.
"Nggak, Kak. Aku cuma sayang sama Kak Jeno," ucapan Naya bikin Jeno sedikit lega. "Aku nggak bisa biarin Kak Jevin kayak gitu terus. Satu-satunya cara biar dia berhenti adalah aku ngomong jujur ke Kak Jevin."
Jeno masih diam. Dia tahu, Naya bicara jujur saat ini. Gadisnya itu sudah sampai dalam taraf terganggu dengan tingkah Jevin. Jahat kalau Jeno melarangnya untuk menyelesaikan masalah mereka berdua.
"Aku nggak bakal bawa nama Kak Jeno."
Bagai bisa membaca kekhawatiran Jeno, Naya melanjutkan. Gadis itu selalu penuh dengan perhitungan. Nggak kayak Jeno yang kadang suka terbawa emosi sesaatnya.
"Kalau Kak Jeno nggak nyaman, aku nggak bakal ngelakuin kok."
Jeno mendongak. Ia melihat senyum khas Naya yang hangat. Gadis itu tampak sangat dewasa.
"Gue percaya sama lo."
Jeno dan Naya saling tatap. Mereka bicara dalam diam. Naya mengangguk meyakinkan. Jeno hanya tersenyum tipis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top