62. Sakit Hati

Naya turun dari mobil Mark dengan tergesa. Ia tidak melihat keberadaan motor Jeno di halaman depan. Gadis itu melepas sepatunya dan buru-buru masuk ke rumah. Ia langsung melangkah menuju halaman belakang. Bahkan sapaan Jevin tidak diindahkannya sama sekali.

"Naya kenapa, Bang?" tanya Jevin pada Mark yang baru menyusul masuk.

Mark mengangkat kedua bahunya ke atas. "Dari gue jemput kuliah sampai makan malam bareng, dia kayak lagi mikir serius gitu," jawab Mark. Ia berhenti. "Jangan-jangan, karena gue ajak Lia makan bareng juga? Masa Naya ngambek cuma karena itu?"

"Yah, dulu kan pernah ngambek karena lo bucin, Bang," timpal Jevin tidak membantu sedikit pun.

Naya menghampiri keduanya. Ia masih memegang jaket Jeno di salah satu tangan.

"Kak Jeno belum pulang, ya?" tanyanya pada Jevin. "Motornya nggak ada."

Jevin memandangi Naya dengan raut wajah bingung. Tumben cewek itu mencari keberadaan saudara sepupunya. Ia melihat jaket Jeno yang ada pada Naya. Pikirannya makin kemana-mana.

"Belum. Main dulu paling dia," jawab Jevin dengan mata yang terpaku pada benda di pelukan Naya.

"Mandi dulu aja, Nay," ucap Mark sambil meletakkan kunci mobil di tempat penyimpanannya. "Nanti Jeno juga pulang kok."

Mark berjalan lebih dulu ke lantai dua. Meninggalkan Naya dan Jevin berdua saja di ruang keluarga.

Tanpa duduk terlebih dahulu, Naya mencari ponsel dari saku depan tas. Ia mencari kontak Jeno dan menekan tombol telepon. Terdengar nada sambung. Namun berikutnya hanya suara operator yang menyapa telinga Naya. Gadis itu mencoba sekali lagi, tetap gagal. Jeno me-reject panggilannya.

Jevin melirik ke layar ponsel Naya. Ia melihat nama Jeno tertera disana. Wajah gadis itu pun terlihat cemas.

"Kenapa cari Jeno?"

Naya mengangkat kepalanya. Ia menggeleng. "Gapapa. Aku ke atas dulu ya, Kak." Gadis itu berbalik dan tampak ingin pergi.

"Biar gue aja yang balikin jaketnya Jeno."

Naya mematung. Ia menoleh perlahan. Kepalanya menggeleng.

"Biar aku aja. Mau dicuci dulu."

Jevin berjalan mendekati gadis itu. Tangannya bergerak mengambil jaket yang masih ada di pelukan Naya. Jevin melemparkannya ke atas sofa. Kini ia kembali fokus pada Naya. Kedua tangannya ia letakkan di bahu gadis itu.

"Kenapa cari Jeno?"

Jevin mengulang pertanyaannya. Namun, kali ini ia bertanya dengan nada lebih lembut.

"Aku...," Naya berusaha mengatur napas. Berdekatan dengan Jevin seperti ini membuatnya kehilangan akal sehat. "Tadi siang aku dianterin Kak Jeno ke kampus."

"Hm?"

Naya balas menatap mata Jevin. Ia tergagap. Entah mengapa ia merasa bersalah, seperti sedang ketahuan selingkuh. Apalagi Jevin sedang menatapnya dengan pandangan lembut, Naya jadi tidak bisa berbohong.

"Aku belum baikan sama Kak Jeno. Sejak insiden rumah sakit itu," ucap Naya sambil menunduk. "Terus, tadi siang ketemu Kak Jeno di fakultas teknik. Dia bantuin aku."

"Habis antar ke kampus, Kak Jeno langsung balik lagi. Bahkan jaketnya masih ada di aku," jelas Naya.

Gadis itu membalas tatapan mata Jevin. "Aku jadi nggak enak. Aku belum minta maaf secara pantas sama Kak Jeno."

Senyum Jevin berkembang. Ia tidak mendapati sedikit pun kebohongan dalam ucapan Naya. Gadis itu murni merasa bersalah.

Jevin mengurung tubuh mungil Naya dalam kungkungan kedua lengan. Ia meletakkan dagunya di puncak kepala Naya. Lega, itu yang Jevin rasakan sekarang. Cowok itu sempat merasa takut, tapi ternyata kekhawatirannya tidak terbukti.

Punggung Naya menegak. Ini pertama kalinya ia dipeluk Jevin! Jantungnya makin berdebar tak karuan.

"Jeno pasti sudah maafin kamu kok. Dia memang harga dirinya tinggi. Jadi nggak bisa ngomong minta maaf duluan," ucap Jevin menenangkan.

Naya mendorong dada Jevin pelan. Ia tidak punya celah untuk bicara. Kepalanya mendongak, mencari udara segar yang saat ini sangat dibutuhkan oleh paru-parunya.

Jevin melonggarkan sedikit pelukannya. Namun kedua lengannya tetap melingkar di punggung Naya. Ia tersenyum lembut sambil menunduk melihat wajah Naya yang memerah.

"Kak Jeno sengaja menghindar ya, Kak? Nggak pernah kelihatan di rumah."

Jevin tampak berpikir sejenak. Akhir-akhir ini Jeno memang makin jarang ada di rumah. Lebih parah daripada saat diajak paksa Jevin untuk menemani dirinya pergi menghindari Naya waktu itu. Padahal, dulu selalu Jeno yang mengajak Jevin pulang, memburunya agar tetap berada di rumah saja.

"Mungkin dia ada pacar baru," ucap Jevin tak yakin. Kalau ada pun biasanya Jeno selalu cerita.

Naya menatap lurus ke depan, ke arah dada Jevin yang berlapis kaus putih. Pikirannya melayang pada seorang cewek yang tadi ia lihat sangat dekat dengan Jeno. Karena terlalu serius berpikir, Naya sampai lupa kalau saat ini dirinya masih berada di dalam kurungan kedua lengan Jevin.

"Mikir apa lagi sekarang, hm?" tanya Jevin.

"Eh, nggak kok, Kak. Itu... cuma kepikiran tadi ada cewek yang deket sama Kak Jeno. Mungkin aja kalau mereka pacaran," jawab Naya sambil tersenyum kecil. "Waktu sama Kak Vina dulu kan, Kak Jeno juga jarang di rumah."

Jevin tertawa kecil. Ia mencubit ujung hidung Naya. Kedua tangannya kembali merengkuh gadis itu masuk dalam pelukannya.

"Jangan mikirin Jeno terus," pinta Jevin di puncak kepala Naya. "Aku cemburu."

Blush! Naya tidak bisa berkata apa-apa. Berada di dekat Jevin memang selalu berbahaya bagi kesehatannya.

Kedua tangan Naya mendorong tubuh Jevin menjauh. Gadis itu langsung menoleh ke arah lain, tak berani menatap pada Jevin. Tangan kirinya mengipasi wajah.

"Wah, panas banget ya, Kak," ucapnya sambil mengatur napas. "Aku mau mandi dulu deh."

Naya langsung ambil langkah seribu menuju tangga lantai dua. Gadis itu bahkan tidak menoleh ke arah Jevin sedikit pun.

--

Jeno melihat ke jendela lantai atas. Pandangannya turun menuju pintu geser kaca menuju rumah utama. Gelap. Tidak ada tanda bahwa masih ada aktivitas di rumah utama.

Cowok itu membuka pelan pintu belakang rumah. Ia melangkah masuk. Dirinya haus, tapi sedang tidak ingin minum air biasa. Ia membuka kulkas dan tanpa merasa bersalah menarik satu kaleng kopi instan milik Rendra dari dalam sana.

Jeno membuka kaleng minuman itu sambil berjalan menuju kursi pantry. Ia meneguknya pelan. Membiarkan rasa pahit dan manis menuruni kerongkongan.

Tangan kirinya memijat pelipis. Tangan kanannya memutar kaleng minuman. Jeno tenggelam dalam pikirannya.

"Itu siapa? Kok kayak baru pernah lihat?"

"Cewek barunya Mark?"

"Cantik banget, cuy! Manis gitu, mungil "

"Lihat deh, pakai rok. Bukan anak sini berarti."

"Berani taruhan nggak? Dia bukan pacaran sama Mark. Mana mungkin cowok itu bawa pacar lain di depan Lia?"

"Gemes bangettt! Dicium dong sama Kak Mark!"

"Eh, kalau dilihat-lihat agak mirip sama Kak Mark nggak, sih? Adeknya mungkin, ya?"

Jeno mengusap wajahnya kasar. Selama ini ia berusaha menghindar agar tidak bertemu dengan Naya di rumah. Tanpa disangka mereka malah bertemu di kampusnya. Bayangan gadis itu seperti mengikutinya kemana saja.

Kalau gini, gimana bisa move on? Keluh Jeno dalam hati.

"Kak Jeno?"

Cowok itu menoleh. Ia melihat Naya muncul dalam keremangan malam. Jeno dapat melihat senyum lebar Naya yang bergerak mendekatinya.

"Bener Kak Jeno," ucap Naya pelan sambil memperhatikan Jeno dari atas sampai bawah. Cewek itu terkekeh pelan. "Akhirnya ketemu juga."

Jeno tidak banyak bicara. Ia memandangi Naya dalam diam. Suasana hatinya yang sedang bimbang malah jadi sendu melihat kehadiran gadis ini.

"Kak Jeno selama ini kemana aja? Nggak pernah kelihatan di rumah," ucapnya ceria sambil duduk di sebelah Jeno.

"Nggak sia-sia deh aku nungguin Kak Jeno pulang sampai dini hari kayak gini," lanjutnya sambil terkekeh.

Tatapan mata Jeno mengabur. Ia frustasi. Di saat dirinya menemukan sandaran, ia dihadapkan pada pilihan antara terus maju atau mundur mengalah pada saudaranya. Ketika ia ingin melupakan, Naya justru terus muncul dalam pikirannya. Takdir seperti sedang mempermainkan Jeno.

"Kak Jeno? Halo?" Naya menggoyangkan telapak tangan di depan wajah cowok itu. "Kak Jeno sleep walking, ya?"

Jeno menangkap tangan Naya. Ia menariknya cepat hingga gadis itu terpaksa turun dari kursi dan menabrak dada bidang Jeno. Naya mengaduh kecil ingin berdiri tegak. Namun tangan Jeno yang lain malah menarik pinggang Naya makin merapatkan tubuhnya.

"Kak Jeno kenapa?" tanya Naya. Gadis itu baru sadar kalau ada yang tidak beres dengan cowok di hadapannya.

Jeno hanya diam. Ia memberikan tatapan datar pada gadis itu. Perlahan wajahnya mendekat.

Naya mematung. Dalam jarak sedekat ini, ia bisa mencium aroma rokok yang kuat dari pakaian Jeno. Biasanya cowok itu selalu wangi. Naya menaruh kedua tangannya di dada Jeno, mencegah cowok itu agar tidak mendekat.

"Kak Jeno," panggil Naya lirih.

Jeno tidak menyahut. Wajahnya makin dekat. Tangannya yang semula memegang tangan Naya, bergerak meraih leher gadis itu.

Naya menahan napas. Matanya terpejam rapat. Tangannya yang semula menahan tubuh Jeno, kini malah jadi meremas baju cowok itu.

Jeno membuka matanya. Ia melihat ke arah Naya. Tangan Naya yang ada di dadanya pun terasa bergetar.

"Lo nggak takut?"

Naya membuka matanya perlahan. Jeno sudah menegakkan tubuhnya lagi. Cowok itu menatapnya dengan raut wajah datar.

"Kenapa aku harus takut sama Kak Jeno?" tanya Naya kikuk. Ia melepaskan cengkeramannya di kaus Jeno dan mundur satu langkah.

"Semuanya bakal lebih mudah kalau lo takut sama gue. Gue berharap kita nggak pernah ketemu."

Setelah mengatakan hal itu, Jeno turun dari kursi pantry. Tanpa menoleh, cowok itu berjalan menuju kamarnya. Naya ditinggalkan dalam tanda tanya besar dan rasa sakit hati yang semakin dalam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top