6. Rendra Teman Masak Naya

Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚

"Agak ke kanan lagi, Kak."

Rendra melongokkan kepalanya ke dalam rumah. Ia mendengar suara Naya entah sedang bicara pada siapa. Penasaran, Rendra segera melepas sepatu dan kaus kakinya lalu masuk ke rumah.

"Terlalu kanan. Ke kiri dikit."

"Ah, gimana sih? Ribet amat."

Rendra bersiul. Membuat perhatian Naya dan Hechan terarah padanya. Saat ini Naya sedang memberi aba-aba pada Hechan yang berdiri di atas tangga memasang pigura foto keluarga di ruang tengah.

"Akrab banget," seloroh Rendra. "Udah baikan, ya?"

"Baikan apanya? Yang ada, gue makin sering kena tabok kayak Mark," jawab Hechan.

"Buruan, Kak. Katanya minta dimasakin cumi goreng tepung," ucap Naya mengingatkan.

"Bener lho ya, ini yang terakhir," ancam Hechan. "Kalau nggak, gue males antar lo belanja lagi."

"Iya, iya. Banyak maunya sih," keluh Naya. Tangannya melayang menepuk punggung bawah Hechan, menyuruh cowok itu untuk kembali menghadap depan. "Lanjut," titahnya.

"Baik, Nyonya."

Rendra geleng-geleng kepala melihat tingkah laku dua orang itu. "Yah, gue jadi nyamuk doang disini."

Tanpa pamit, Rendra berjalan makin masuk ke dalam rumah. Ketika kakinya melangkah di anak tangga pertama, dirinya segera tersadar. Kamarnya sudah pindah, bukan di lantai atas lagi. Cowok itu berubah haluan dan membuka pintu kamarnya.

Rendra berbaring di atas kasur, masih dengan kemeja dan celana panjang yang ia kenakan untuk rapat tadi. Ia sudah tidak mendengar suara berisik Hechan dari ruang tengah. Sepertinya acara memasang pigura sudah selesai. Rendra bangkit dan berganti baju. Ia keluar dan menemukan Hechan saat ini sedang berada di dapur dengan Naya.

Seperti yang Rendra bayangkan, Naya memasak, Hechan merusuh. Cewek itu sedang menyiapkan adonan tepung. Hechan berdiri di sampingnya, bertanya ini itu tentang bagaimana cara memotong cumi. Rendra memilih diam dan berjalan menghampiri kulkas. Niatnya hanya ingin mengambil sekaleng kopi instan dari sana, namun dirinya terpukau dengan kulkas yang sudah bersih dan isinya penuh tersusun rapi.

"Habis pada belanja nih, ceritanya?"

"Iya, menuruti kehendak ibu negara atas perintah bapak negara," ucap Hechan sok diplomatis sambil menggerakkan pisau di tangannya.

"Kak, itu bahaya lho, lagi pegang pisau," ucap Naya mengingatkan.

Rendra memilih duduk di kursi pantry sambil meminum kopi kaleng. Ia melihat Naya memasak untuk kedua kalinya. Jujur, ini pertama kali Rendra antusias lihat secara langsung orang masak di dapur. Padahal kalau di rumah, dia nggak pernah sekalipun menyentuh area dapur, apalagi untuk masak. Nonton ibunya masak aja nggak pernah.

"Belanja kemana aja... Naya?" tanya Rendra sambil menyebut nama Naya. Habis, kalau nggak kayak gitu, bisa ditebak siapa yang akan menjawab.

Naya mengangkat wajahnya dan melirik Rendra sekilas. "Ke Indogrosir, terus ke toko merah, terus terakhir ke Hartono mall, beli barang-barang untuk menghias rumah dan peralatan dapur."

Rahang Rendra sukses jatuh. Bisa dibayangkan bagaimana perjuangan Hechan menemani Naya belanja begitu banyak barang. Belum lagi setelah sampai rumah langsung bantu beres-beres lagi. Heran, Hechan kok jadi penurut gini.

"Sudah makan, Kak?" tanya Naya.

"Belum," jawab Rendra jujur. "Masih kenyang, soalnya baru sarapan jam 10 tadi."

"Gue laper banget," keluh Hechan. "Bubur ayam tadi pagi nggak cukup buat energi jalan hari ini."

Naya berdecak. Ia mendorong lengan Hechan agar menyingkir dari dapur. "Ya sudah, Kak Hechan tunggu aja sambil nonton TV. Kalau disini malah ganggu aku masak."

"Bener, nih?" tanya Hechan memastikan. Naya belum menjawab, tapi cowok itu sudah keburu meletakkan pisau dan mencuci tangannya. "Gue tunggu ya!" ucapnya bengal sambil berlalu ke ruang tengah.

Rendra dan Naya saling pandang sebentar. Keduanya sama-sama tidak mengerti jalan pikiran Hechan. Aneh bin absurd.

"Mau dibantu?" tanya Rendra menawarkan diri.

Naya menggeleng. "Nggak perlu, Kak. Aku bisa kok."

"Gue boleh tanya nggak?" Rendra membuka percakapan secara hati-hati.

Nggak enak juga diem-dieman gini. Apalagi Naya dan Rendra dulu pernah berada dalam satu tim olimpiade yang sama, yah, walaupun nggak terlalu dekat. Tidak ada yang menyangka keduanya akan kembali saling sapa, bahkan tinggal serumah, setelah sekian lama tidak bertemu. Rendra juga nggak tahu kalau Naya ternyata adik Mark.

"Tanya apa, Kak?" Naya sudah selesai menyiapkan bahan cumi goreng tepung. Ia meletakkan wajan anti lengket, memasukkan minyak, dan menyalakan api. Sambil menunggu minyaknya panas, gadis itu mengeluarkan brokoli dari dalam kulkas.

"Kata Kak Mark, lu masuk kedokteran juga ya?"

Naya mengangguk. "Kakak jadi panitia morfogenesis, kan?" kali ini Naya yang balik tanya. Morfogenesis adalah rangkaian PPSMB tingkat fakultas, itu nama khusus untuk acara milik fakultas kedokteran.

Rendra mengiyakan. Ia kembali bertanya, "Gue kira dulu lu nggak ada niat jadi dokter."

Naya tertawa kecil. Tawa pertama gadis itu yang Rendra lihat selama di rumah ini. "Keluarga aku, keluarga dokter. Nenek sama Kakek juga dulu dokter semasa hidupnya, mimpi mereka diteruskan oleh Bunda sebagai anak satu-satunya. Terus Bunda nikah sama Ayah, yang walaupun punya gelar dokter, tapi lebih tertarik masuk ke dalam bidang organisasi, jadi direktur rumah sakit. Cuma Kak Mark aja yang melenceng ambil arsitektur."

Rendra mengulum senyum. Dia baru tahu kalau Naya bisa ngomong panjang lebar juga.

"Bunda dari FK UGM?" tanya Rendra lagi.

Naya mengangguk. Walaupun bibirnya sibuk bicara, tangannya tetap bekerja. Ia kini memasak dua makanan sekaligus, cumi goreng tepung dan tumis brokoli.

"Bunda, Kakek, Nenek dari UGM. Ayah dari UI," jawab Naya. "Kalau Kakak?"

"Gue mah muggle," jawab Rendra terkekeh kecil. "Beruntung juga gue diterima di FK UGM. Mau ambil FK UI sudah kalah saing sama anak-anak undangan lain."

Naya mengangkat wajahnya. Ia hanya melayangkan senyuman tanpa bicara. Walaupun cuma beberapa detik, tapi hal itu cukup bisa membuat Rendra membatu. Naya manis banget kalau lagi senyum!

Rendra mengakui ucapan Jevin di telepon kemarin itu ada benarnya. Dulu, semasa sekolah, Naya terlihat culun. Badan berisi, pipi chubby, kulit putih, kacamata frame tebal. Imut sih, tapi culun. Beda banget sama Mark yang sudah keren dan tebar pesona kemana-mana. Makanya Rendra nggak nyangka kalau Naya itu adik Mark.

Entah bagaimana, Naya bisa bertransformasi seperti sekarang. Kulit wajahnya mulus, badannya jadi langsing, rambut panjang hitamnya juga terawat. Terus, kacamata yang dulu sudah tidak ada lagi. Jangan-jangan perubahan ini semua karena operasi plastik? Pikir Rendra.

"Aduh," pekik Naya tiba-tiba, membuat pikiran Rendra kembali pada dunia nyata. Gadis itu terlihat panik berusaha mengucek matanya, namun ia tahan karena kedua tangannya yang tidak bersih.

"Kenapa?" tanya Rendra ikutan panik.

"Mata," ucap Naya. "Softlens aku lepas, ke atas."

"Kedipin mata lu," perintah Rendra.

"Tetes mata," pinta Naya, sambil menggerak-gerakkan tangannya. "Di tas, di ruang tengah."

Rendra langsung lari. Ia mengubek-ubek isi tas Naya yang tergeletak di samping Hechan. Hechan yang masih belum tahu situasi, hanya melirik sekilas sambil lanjut nonton TV.

"Nyari apaan di tas cewek?" tanya Hechan tak tertarik.

"Tetes mata," jawab Rendra. Bukannya menemukan botol, tangan Rendra justru menarik sesuatu yang lain dari dalam tas. Matanya melotot seketika.

"Itu mah pembalut," jawab Hechan santai. Cowok itu ikut membuka-buka tas Naya dan menarik botol tetes mata yang dicari Rendra. "Buat apaan sih? Naya mau masak cumi pake ini?" tebaknya asal.

Rendra membuang benda yang ada di tangannya dan langsung menyambar tetes mata dari tangan Hechan. "Emergency nih," ucapnya sambil kembali ke dapur. Mendengar hal itu, Hechan juga berjalan cepat mengikuti Rendra.

"Kak Rendra, mana?" tanya Naya panik.

"Bentar, gue buka dulu tutup botolnya," kata Rendra.

Hechan buru-buru mematikan kompor, menyelamatkan menu makan siangnya hari ini. Cowok itu ikut berdiri di samping Rendra. Ia mengambil spatula dari tangan Naya dan meletakkannya dengan asal di atas meja.

"Angkat wajah," perintah Rendra, Naya menurut.

Perhatian Rendra justru jatuh pada bibir merah muda Naya. Tangannya mengambang. Dirinya diam bagai tersihir.

"Dra, buruan. Nangis nih anak orang."

Rendra tergagap. Ia menarik kelopak mata bawah mata kanan Naya dengan ibu jari tangan kiri. "Maaf ya," ucapnya. Ia menekan botol tetes mata dan keluarlah isinya membasahi mata Naya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top