54. Malam Hari

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Mark masuk sembari sedikit berjingkat. Lampu ruang tengah masih menyala, namun tidak ada suara sedikit pun.

Cowok itu melihat Hechan dan Naya di sana. Hechan sudah tidur di karpet dengan posisi menyamping. Layar laptopnya masih menyala. Adiknya malah tertidur dengan kepala menelungkup di depan laptop.

Mark menghampiri Naya. Ia mengguncang pelan bahu adiknya itu.

"Nay, bangun. Pindah ke kamar," ucap Mark.

Naya menggeliat pelan. Gadis itu perlahan membuka matanya. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan.

"Baru pulang, Kak? Sekarang jam berapa?"

"Jam sebelas," jawab Mark. "Pindah ke kamar. Punggung kamu nanti sakit kalau tidur kayak gitu."

Naya melihat ke arah laptopnya. Tanggung. Sebentar lagi pekerjaannya selesai. Tadi habis makan malam, Naya dan Hechan malah asyik mengobrol banyak hal. Berakhir dengan Hechan yang ngajarin Naya mabar.

"Nanti aja, Kak. Aku mau kerja lagi," tolak Naya.

"Kerja apaan? Kalau ngantuk tidur aja," bujuk Mark lagi.

"Tanggung, Kak. Lagian aku juga sudah biasa begadang kok," ucap Naya sambil berdiri. "Kakak tidur aja dulu. Paling lambat jam dua aku tidur kok."

Mark mengangguk. Cowok itu ikut berdiri dan berlalu ke kamarnya sendiri.

Sambil menguap Naya berjalan ke arah dapur. Gadis itu berniat untuk memasak air. Segelas teh pasti enak sebagai teman begadangnya malam ini.

Naya melongok ke arah bungalow. Tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. Paling Jeno dan Jevin baru akan pulang dini hari. Naya sampai heran, dua cowok itu jadi sering menghabiskan waktu di luar. Kalau Rendra sih, pukul sembilan tadi memberi tahu Hechan bahwa dirinya malam ini menginap di rumah teman.

"Nay, pakai selimut nih. Makin malam makin dingin." Mark kembali muncul dari arah tangga dengan selembar selimut milik Naya di tangannya.

Naya menerima pemberian Mark. "Makasih, Kak."

"Jangan terlalu malam ya," ucap Mark sebelum berbalik kembali menaiki tangga.

Naya menuangkan air panas ke dalam mug yang telah ia isi teh hijau sebelumnya. Gadis itu membawa selimut dan minumannya kembali ke ruang tengah. Ia siap untuk bekerja.

Pandangan matanya menangkap Hechan yang tidur bergelung di depan single sofa. Naya terkekeh pelan. Hechan kalau tidur kayak kucing. Saking lelapnya, Naya jadi takut untuk membangunkan cowok itu.

"Semangat, Naya!" ucap Naya pada diri sendiri. Ia kembali memakai headphone dan meneruskan mengedit video.

--

"Orang rumah sudah pada tidur kan, ya?" bisik Jevin pada Jeno yang masih mengunci pintu gerbang.

Jeno berbalik. Ia mengintip sebentar ke pintu depan. Hening.

"Jangan kabur terus, Jev. Naya kan mintanya lo jadi biasa lagi ke dia," ucap Jeno. Cowok itu menuntun motornya menuju halaman belakang.

Jevin diam saja. Ia mengikuti langkah saudara sepupunya tanpa banyak bicara. Belakangan ini Jevin selalu mengajak Jeno main sampai malam di luar. Entah cuma untuk nongkrong merokok, atau nonton film tengah malam. Mereka jadi makin sering kemana-mana berdua.

Jeno sendiri hanya bisa pasrah. Ia menuruti semua keinginan aneh Jevin. Tidak mungkin juga Jeno membiarkan Jevin pergi keluyuran sendiri dengan keadaan patah hati.

"Lampu rumah kok masih pada nyala, Jen?"

Jeno mengikuti arah pandang Jevin. Ia mengangkat kedua bahunya. Ya, dia mana tahu. Orang dirinya saja baru sampai rumah, Jevin malah tanya ke Jeno.

"Paling Hechan atau Rendra masih bangun," jawab Jeno sekenanya. Ia melirik jendela lantai dua. Lampunya sudah pada mati.

"Gue mau ambil minum dulu," pamit Jevin. Cowok itu melangkahkan kakinya menuju rumah utama.

Bukannya berhenti di dapur, cowok itu malah melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Rasa penasarannya mengalahkan rasa haus.

Jevin berdiri diam. Tatapan matanya terpaku pada sosok Naya yang tertidur di depan laptopnya. Selimut yang seharusnya tersampir di bahu telah melorot hingga punggung. Gadis itu bahkan masih mengenakan kacamata. Tak jauh dari laptopnya, terdapat gelas berisi teh yang tinggal setengah.

Jeno sudah selesai memarkirkan motornya, ia menyusul masuk ke rumah utama. Kening cowok itu berkerut melihat Jevin justru masih berdiri diam entah memandangi apa. Jeno jadi penasaran dan berdiri di samping saudara sepupunya itu.

Rasa kesal seketika menghampiri Jeno. Cowok itu cemburu melihat Hechan dan Naya tertidur dalam satu ruangan yang sama. Walaupun tidak berdekatan, tetap saja apa yang dilihat Jeno saat ini menggambarkan bahwa Hechan dan Naya telah menghabiskan banyak waktu bersama.

Jeno sebenarnya tidak suka jika Jevin terus menerus mengajaknya untuk pergi. Akibatnya Jeno jadi jarang bertemu dengan Naya. Jeno bahkan tidak tahu akhir-akhir ini apa saja kesibukkan gadis itu.

"Jangan dibangunin, Jen," bisik Jevin ketika Jeno sudah bergerak berniat membangunkan Naya.

Jevin berjalan mendekat secara perlahan. Ia duduk di sofa dekat Naya dengan hati-hati. Cowok itu seperti takut akan membangunkan Naya dengan suara sekecil apapun itu.

Tatapan Jevin melembut. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia mengamati wajah damai Naya yang sedang pulas terlelap.

Hati Jeno mencelos. Rasa cemburu akibat Hechan kini digantikan dengan rasa hampa yang menghampiri diri. Dia sempat lupa bahwa Jevin dan dirinya menyukai gadis yang sama.

Tangan Jevin terulur membenahi selimut Naya. Secara hati-hati, cowok itu melepaskan kacamata Naya.

Naya menggeliat pelan. Namun ia tidak membuka mata. Gadis itu membenahi kepalanya mencari posisi ternyaman.

Jevin mengelus kepala Naya pelan. Hal yang tidak bisa ia lakukan setelah mengungkapkan perasaannya pada Naya. Jevin mengakui bahwa hingga kini dirinya belum bisa mengurangi perasaan sayangnya untuk gadis itu. Hal yang menurutnya sangat susah.

"Jev, ayo ke kamar."

Jeno tidak bisa tinggal diam. Di sisi lain dia ingin egois, namun ia masih berusaha menahan diri untuk tidak menarik tangan Jevin yang masih berada di atas kepala Naya. Ia tidak tahan harus menatap adegan di depan matanya saat ini.

Jevin mengangguk. Cowok itu berbalik pergi. Ia bahkan tidak mengambil air minum seperti niat awalnya. Jevin melangkah menuju kamarnya sendiri. Tak lama terdengar bunyi pintu ditutup.

Jeno tahu, saudaranya itu pasti sedang mengurung diri lagi. Walaupun sudah bersenang-senang seharian di luar rumah, Jevin akan menangis tanpa suara ketika sudah berada di dalam kamar.

Jeno menghela napas panjang. Ia kembali menatap Naya. Gadis itu memang tampak nyenyak dalam tidurnya, namun Jeno bisa merasakan bahwa besok pagi Naya akan sakit leher.

"Naya," panggil Jeno. Ia menepuk-nepuk pipi gadis itu.

Naya menegakkan punggung. Kedua matanya masih terpejam. Ia sepertinya enggan bangun.

"Jangan tidur disini," lanjut Jeno ketika tidak mendapati tanda-tanda bahwa Naya akan segera terjaga.

Naya menoleh. Melihat Jeno duduk di sofa, gadis itu malah pindah tempat ke sebelah Jeno. Ia kembali memejamkan matanya dan bersandar pada bahu kokoh cowok itu.

"Pindah ke kamar," bisik Jeno, padahal kembang api di hatinya sudah jedar-jeder tidak karuan.

"Mager," balas Naya tanpa membuka kedua mata.

"Memang mau gue gendong?"

Naya sontak menjauhkan tubuhnya dari Jeno. Matanya sukses terbuka. Gadis itu menggeleng pelan sambil meringis.

"Nggak, nggak," jawabnya.

Jeno menghela napas panjang. Terjadi pergolakan dalam hatinya saat ini. Gadis itu kembali memporak-porandakan akal sehatnya.

"Kak Jeno baru pulang darimana?" tanya Naya sambil menguap. Ia mengucek matanya pelan. "Akhir-akhir ini jadi lebih jarang ada di rumah."

"Habis jalan-jalan aja. Kan weekend," balas Jeno. Tidak mungkin dirinya mengungkapkan alasan yang sebenarnya.

Naya manggut-manggut. Gadis itu meraih gelas berisi teh dan menghabiskannya dalam sekali tarikan napas. Ia kemudian fokus pada laptopnya yang berada dalam mode sleep.

"Sudah malam, tidur Kak," ucap Naya pada Jeno yang sedari tadi hanya mengamati dari samping.

"Gue... boleh minta tolong?"

Naya diam. Gadis itu tersenyum. Ia duduk bersila dan menghadap ke arah Jeno.

"Minta tolong apa Kak?"

"Gue butuh pelukan," lirih Jeno.

Naya terkekeh kecil. Ia melebarkan kedua lengannya ke samping. Gadis itu tersenyum lebar.

Jeno tersenyum. Ia menyusup masuk ke dalam pelukan yang ditawarkan Naya. Jeno menyandarkan kepalanya pada bahu cewek itu.

Sekali ini aja, ucap Jeno dalam hati.

"Ada masalah ya, Kak?" bisik Naya. Tangannya bergerak mengelus belakang kepala Jeno.

Jeno hanya diam. Ia sudah terbiasa bersandar pada Naya. Entah, apakah kali ini ia bisa kembali menjalin hubungan yang menyenangkan ini. Mendengar cerita Jevin, membuat Jeno sedikit takut. Selama ini Naya selalu menganggap dirinya sebagai salah seorang kakak. Tentu kesempatan Jeno tidak lebih besar daripada Jevin. Kalau Jeno sampai bodoh mengungkap perasaannya, tentu ia akan didepak dari kehidupan Naya.

Memikirkan kemungkinan buruk itu, Jeno tanpa sadar mengetatkan pelukan. Naya sampai mematung dibuatnya. Gadis itu berpikir, Jeno memang sedang ada masalah besar yang belum bisa ia bagi. Jadi, Naya hanya dapat memberikan pelukan dan usapan hangat di kepala Jeno untuk saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top