52. Berkumpul Lagi

Jevin berjalan masuk ke dalam rumah terlebih dahulu sambil menggeret koper kecil di sebelahnya. Jeno mengikuti di belakang, tak lupa ia mengunci pintu pagar. Kedua orang itu baru tiba di Jogja siang ini menggunakan kereta.

Ketika Jevin dan Jeno membuka pintu depan, kekosongan menyambut mereka. Tidak ada seorang pun di ruang tengah. Mobil Mark yang biasanya terparkir di halaman depan pun tidak ada. Mereka berpikir penghuni rumah lain sedang pergi ke luar.

"Nggak langsung ke kamar, Jev?" tanya Jeno yang melihat Jevin langsung merebahkan diri di sofa ruang tengah tanpa melepas sepatunya terlebih dahulu. Seketika Jeno dapat membayangkan Naya ngomel panjang-lebar melihat kelakuan Jevin.

"Nanti aja," jawab Jevin. Cowok itu malah menutup kedua mata dengan lengan kanannya. Bersiap seperti akan tidur.

Jeno tidak memperpanjang percakapan. Dia tahu Jevin dari tadi uring-uringan sendiri sebelum sampai di rumah. Bilangnya kangen pengin lihat Naya lagi, tapi di sisi lain Jevin masih belum siap untuk bertemu dengannya. Serba salah jadinya.

Jeno berjalan menuju bungalow belakang letak kamarnya berada. Cowok itu membenahi letak kacamata yang melorot hingga ujung hidung. Senyumnya berkembang melihat papan pengumuman yang ada di samping pintu kamar mandi.

Dulu, hanya ada selembar kertas berisi peraturan yang tertempel di papan. Sekarang sudah terlihat lebih ramai dan cantik oleh beberapa tempelan lainnya. Ada dua buah foto bersama para penghuni rumah, kata-kata mutiara, origami, dan pita-pita penghias lain. Sudah pasti ini pekerjaan Naya.

Jeno mengamati dua lembar foto yang terpasang disana. Gambar itu diambil saat malam perayaan ulang tahun Naya yang ke-sembilan belas. Kualitasnya tidak terlalu baik, karena sebenarnya itu foto selfie dari ponsel dan dicetak menggunakan printer biasa. Namun Jeno dapat melihat jelas raut bahagia Naya malam itu.

Sudah puas melihat, Jeno merogoh ke dalam kantung ranselnya. Tangannya mengeluarkan kunci pintu kamar. Jeno sedikit terbatuk oleh debu yang menumpuk selama kamarnya ia tinggalkan.

Jeno membuka jendela dan pintu kamar lebar-lebar. Cowok itu meletakkan tas di kursi meja belajar. Ia melepas seprai kasur dan bantalnya. Dengan asal, Jeno melempar ke lantai. Cowok itu mengeluarkan ponsel dan memilih berbaring mengistirahatkan tubuhnya yang lelah setelah perjalanan lama menggunakan kereta api.

Ibu jari tangan kanannya bergerak otomatis membuka galeri foto. Senyumnya terbit. Tatapan matanya melembut. Jeno melihat foto dirinya dan Naya saat sedang bersama di acara resepsi ayahnya.

Setelan keduanya tampak serasi. Jeno yang biasanya tidak terlalu peduli dengan model rambut pun, pagi itu memilih pergi ke salon untuk berdandan. Jeno tampak benar-benar niat untuk memantaskan diri bersanding dengan Naya yang sudah ia dandani sedemikian rupa.

Jeno sengaja mengurus semua kebutuhan Naya hari itu. Selain sebagai bentuk tanggung jawab karena telah meminta tolong ditemani oleh Naya, Jeno juga tergelitik untuk mendandani gadis itu menggunakan model yang tidak biasa. Resepsi pernikahan diadakan besar-besaran, Jeno ingin menunjukkan pada banyak orang bahwa gandengannya tidak kalah menarik dibanding semua orang industri perfilman yang hadir saat itu.

Mulai dari gaun, sepatu, aksesoris, hingga potongan rambut, Jeno yang memilih. Naya benar-benar menuruti permintaannya tanpa banyak tanya. Gadis itu akhirnya jengah dan menolak habis-habisan ketika Jeno menyuruh keesokan paginya untuk berdandan di salon pilihannya. Beruntung, pilihan Naya kali ini tepat. Gadis itu terlihat cantik natural dan tidak berlebihan dalam mengaplikasikan make up untuk dirinya sendiri.

Tatapan mata Jeno terpaku pada sebuah foto potongan full body yang saat ini sedang terpajang di layar ponsel. Naya tersenyum lebar ke arah kamera. Kedua tangannya memeluk erat lengan kiri Jeno. Kepalanya menyandar di bahu cowok itu, hal yang jarang bisa Naya lakukan karena dirinya sungguh mungil tanpa bantuan high heels. Di foto itu, Jeno menoleh ke arah Naya, hampir mencium puncak kepala gadis itu. Senyumnya tipis, namun sinar matanya menyiratkan kebahagiaan.

Jeno menurunkan ponselnya. Ia memandang langit-langit kamar. Pikirannya berkelana.

Saat dirinya yakin bahwa rasa penasaran pada Naya kini telah menjelma menjadi rasa suka, satu hal datang tanpa disangka. Saudara sepupunya juga suka pada orang yang sama. Jeno dan Jevin menyukai Naya.

Selama ini, Jeno tidak keberatan kalau harus bersaing melawan Rendra, orang di rumah yang ia tahu juga menyukai Naya. Toh, cowok itu terlalu bodoh untuk menunjukkan perasaannya. Rendra memilih bermain aman.

Hal yang tidak bisa Jeno lakukan adalah harus berebut gadis yang sama dengan Jevin. Baginya, Jevin itu bukan hanya sekedar saudara sepupu. Cowok itu telah menarik Jeno untuk bangkit dari keterpurukannya. Jevin adalah penolong terbesar di masa-masa kelam. Tanpa Jevin, mungkin saat ini kehidupan Jeno sudah tidak jelas di jalanan sana. Mulai dari mabuk-mabukan, pakai obat, keluar-masuk penjara.

"Ah, sialan!" desis Jeno sambil meninju udara.

--

Pintu depan terbuka. Naya masuk lebih dulu, gadis itu menahan pintu agar orang-orang di belakangnya dapat masuk lebih mudah. Tangan Naya memeluk satu kantung kertas bertuliskan gerai junk food. Tangan kanannya sibuk mencomot kentang goreng dari dalam kantung.

Mark masuk ke dalam rumah, diikuti Rendra. Masing-masing membawa barang belanjaan di tangan. Hechan muncul paling belakang. Cowok itu susah payah membawa satu karung beras 10 kg.

"Makan mulu lo, Neng," ucap Hechan kesal saat melewati Naya.

Gadis itu tertawa kecil. Ia menyuapi Hechan dua potong kentang goreng agar kakak yang satu itu tidak banyak protes.

"Sudah kayak suami-istri aja. Suap-suapan."

Naya menoleh. Ia terkejut melihat Jevin yang sedang duduk di single sofa menghadap ke arahnya. Saking senangnya belanja, Naya lupa kalau hari ini Jeno dan Jevin akan kembali ke rumah.

Hechan menunjukkan senyum menyebalkan pada Jevin. "Bentar lagi sah. Doain aja," ucapnya ngawur. Ia lalu berjalan ke dapur untuk menurunkan belanjaannya.

"Halo, Kak Jevin," sapa Naya kikuk. Ia menghampiri Jevin dan menyodorkan kantung makanan di tangannya. "Mau juga?"

"Maunya disuapin. Kayak Hechan."

Naya meringis. Ragu-ragu cewek itu mengambil kentang goreng dan mengangsurkannya pada Jevin. Belum sempat dimakan, tangan Naya sudah diangkat oleh seseorang. Kentang goreng itu berakhir di dalam mulut Mark.

"Makan sendiri. Kayak bayi aja lo," omel Mark pada Jevin.

"Nay, cuci kaki sama cuci tangan dulu. Baru dari luar," ucapnya mengingatkan pada sang adik.

Gadis itu mengangguk. Naya meletakkan kantung makanan di meja ruang tengah dan berlalu menuju kamar mandi. Mark telah menyelamatkannya.

--

Jeno ikut bergabung di meja makan. Cowok itu datang bersamaan dengan Naya yang sudah selesai menata semua piring. Melihat kehadiran Jeno, Naya menyapanya dengan senyuman. Sedari siang cowok itu memang belum keluar dari kamarnya.

"Sini, Nay. Makan dulu," panggil Mark pada Naya yang sedang mengambil minum untuk dirinya dan sang kakak.

Kursi meja makan terisi penuh oleh enam orang. Rasanya hal ini hanya akan terjadi satu kali dalam enam bulan, setiap awal semester baru dimulai. Kalau perkuliahan sudah berjalan, pasti ada saja acara masing-masing orang yang membuat mereka tidak bisa kumpul semua.

Menu makan malam kali ini tidak muluk-muluk. Ayam goreng laos, sambal bawang, tempe goreng, dan cah kangkung. Naya memasak itu semua sendiri, dengan ditemani Rendra seperti biasa di kursi pantry.

Acara makan malam terasa sangat tenang. Sesekali terdengar obrolan, namun tidak panjang. Jeno yang dulu biasanya suka makan sambil main ponsel pun saat ini lebih memilih makan sambil mengamati Naya dari ujung meja. Hechan dan Jevin tidak bertengkar. Jevin membiarkan teman laknatnya itu mencuri timun dari piringnya. Lagi nggak mau ribut.

"Besok ada acara nggak, Nay?" tanya Mark pada Naya.

Naya menelan makanan dalam mulutnya dulu sebelum bicara. "Nggak tahu nih. Memang kenapa, Kak?"

"Kakak mau main sama Kak Lia. Kamu mau ikut atau di rumah aja?"

Naya berpikir sejenak. Ia menimbang setiap pilihan yang ada. Kalau ikut Mark pacaran, sudah pasti dia akan dicuekin. Kalau di rumah saja, Naya masih tidak nyaman karena keberadaan Jevin. Jadi serba salah.

"Kayaknya aku mau main sama Ghina," ucap Naya tak yakin. Dia saja belum tahu apakah temannya itu sudah tiba dari Bandung. "Kakak pergi aja nggak papa."

"Serius nggak papa?"

Naya mengangguk. "Daripada aku jadi nyamuk."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top