45. Netflix, how?

"Iya Bunda," jawab Naya sambil mengganti posisi telepon dari telinga kiri ke telinga kanan. "Kakak sih sudah selesai UAS dari Jumat lalu. Aku masih ada CBT hari Jumat ini."

Jevin yang saat ini sedang ada di ruang tengah berusaha mencuri dengar. Cowok itu duduk sendirian. Rendra pergi entah kemana. Jeno pun sama. Kalau Hechan, anak itu sudah pulang ke Jakarta dari kemarin sore.

"Iya, nanti aku cari tiket pulang. Aku balik sama Kakak aja."

Naya bolak-balik pintu depan-dapur-pintu depan lagi. Jevin berusaha tidak melirik. Namun, dirinya tidak tahan. Sesekali ia melihat ke arah Naya. Kalau gadis itu sadar sedang diperhatikan, Jevin baru buang muka.

"Kakak masih belum tahu pulang kapan, nih. Teleponnya disambung kalau Kakak sudah ada di rumah saja, Bun."

Naya mengucapkan salam dan memutus sambungan telepon. Gadis itu berjalan menuju tangga. Namun segera Jevin cegat.

"Naya," panggilnya.

"Hm?" Naya berbalik menanggapi.

"Jalan, yuk," ajak Jevin sambil menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal.

Naya menggeleng pelan. "Aku lagi mau di rumah aja."

"Kalau gitu kita nonton bareng," sambung Jevin cepat. "Netflix, how?"

Naya memandangi kedua mata Jevin lamat-lamat. Cowok itu masih diam menunggu. Naya menghembuskan napas dan mengangguk pelan. Ia berjalan mendahului Jevin menuju ruang tengah.

Naya duduk bersila di sofa sambil memeluk bantal. Ia membiarkan Jevin menyetel Netflix di layar TV. Sebenarnya Naya ingin lanjut belajar, namun otaknya masih panas akibat ujian anatomi barusan. Yah, bersantai sejenak sampai malam ini sepertinya tidak masalah.

"Mau nonton apa?" tanya Jevin.

"Action aja," jawab Naya.

"Money Heist sudah pernah nonton?" tawar Jevin sambil memencet remote control.

"Lagi nggak mau nonton itu," ucap Naya. "Jumanji aja deh, Kak."

"Okay. Jumanji yang ini atau yang ini?" tawar Jevin lagi.

"Dari yang pertama," jawab Naya. Gadis itu mulai terlihat antusias.

Jevin menuruti keinginan Naya. Setelah selesai memilih film, Jevin menuju ke dapur. Ia kembali tak lama kemudian dengan dua buah gelas berisi infused water hasil buatannya sendiri menggunakan lemon dan daun mint. Cowok itu juga membawa buah apel yang telah ia potong kecil-kecil.

"Wow, cemilan sehat nih, Kak?" tanya Naya takjub sambil mencomot satu potong apel dari piring.

Jevin hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia menyalakan AC dan duduk di samping Naya.

Keduanya nonton dengan seru. Mereka tertawa bersama ketika ada scene lucu. Naya memekik kaget ketika sang tokoh utama hampir saja jatuh ke jurang. Jevin hampir mengumpat ketika ada adegan menyeramkan yang tiba-tiba muncul.

Film berdurasi kurang lebih dua jam itu akhirnya selesai. Naya bertepuk tangan sendiri ketika credit sedang ditayangkan. Jevin menoleh, ia tidak bisa menahan senyum lagi.

"Nah, gini dong," ucap Jevin sambil menepuk pelan puncak kepala Naya.

Naya menoleh. Sebelah alisnya terangkat.

"Lo akhirnya mau main sama gue lagi," lanjut Jevin. Ia menunjukkan senyuman lembutnya. "Gue kangen sama Naya yang kayak gini."

Naya meneguk ludah dengan susah payah. Gadis itu memalingkan wajah kembali ke arah TV. Salahkan ujian anatomi tadi yang membuatnya lengah. Akibat penat yang ia rasakan, Naya jadi menurut saja ketika ditawari nonton bersama oleh Jevin. Padahal ia selama ini berusaha menghindar. Tidak secara terang-terangan sih, tapi tiap ada Jevin, sebisa mungkin Naya tidak mau terjebak hanya berdua saja dalam satu ruangan yang sama. Naas, saat ini di rumah hanya ada mereka berdua.

"Aku selalu gini kok, hehe," balas Naya kikuk. Tangannya menyambar gelas berisi air yang kini sudah tidak dingin lagi.

"Oh ya?" ucap Jevin sambil mengangkat kedua alisnya. Ia tidak percaya. "Lo jadi lebih canggung dibandingkan awal-awal kita ketemu," jujur cowok itu.

"Perasaan Kak Jevin aja kali, haha," balas Naya lagi. Kini ia memilih menjejalkan beberapa potong apel ke dalam mulut. Biar ada alasan untuk tidak menjawab ucapan Jevin.

Tangan Jevin bergerak menyampirkan rambut Naya ke belakang telinga. Naya mematung. Dia lupa napas.

"Cantik banget sih," puji Jevin terang-terangan. "Makan yang banyak ya."

Naya terbatuk. Gadis itu buru-buru menyambar gelas dan menghabiskan isinya. Naya tahu kalau Jevin tuh pinter banget ngalus. Harusnya Naya bisa mengantisipasinya. Namun tubuh gadis itu malah merespon dengan hal sebaliknya.

"Pelan-pelan aja," Jevin menepuk punggung Naya. "Kalau kurang, gue kupas lagi di dapur."

Naya menelan kunyahan terakhirnya. Ia duduk bersila di depan Jevin. Tangannya menyilang di depan dada. Gadis itu tidak tahan dengan suasana hatinya yang selalu seperti roller coaster tiap berada dekat Jevin. Hal itu harus diperjelas saat ini juga.

"Kak Jevin suka sama aku?"

Jevin tampak terdiam sejenak. Namun cowok itu malah tersenyum. Ia ikut menaikkan kakinya ke atas sofa dan duduk bersila menghadap Naya.

"Kenapa tanya gitu, hm?" balas Jevin.

"Ya... itu... soalnya...," Naya tampak tergagap. Ia kemudian menggeleng. "Jawab aja Kak. Jangan malah balik tanya!"

Jevin tertawa kecil. Naya terlihat jauh lebih imut saat ini. Wajah merahnya, gesture ngambeknya, cara bicaranya.

"Aku nggak boleh suka sama kamu?" tanya Jevin dengan nada lembut.

Blush! Jevin ngomong pakai aku-kamu! Naya tidak menyangka akan mendapat serangan seperti ini. Gadis itu belum mempersiapkan diri.

"Naya," panggil Jevin. Cowok itu terlihat lebih serius sekarang. "Memang, pada awalnya perasaan aku cuma sebatas rasa sayang sebagai seorang kakak. Nggak lebih. Makin kesini, rasa nyaman yang aku terima bikin aku makin egois. Aku jadi sayang sebagai seorang cowok ke cewek."

"Tunggu," ucap Naya sambil mengangkat tangan. Terlalu banyak informasi yang ia dengar. "Bukannya Kak Jevin anggap aku culun?"

Kening Jevin berkerut. Ia kemudian membuka mulutnya. Jarinya bergerak. Ia teringat sesuatu.

"Rendra bilang, waktu itu kamu denger percakapan aku sama Abang. Iya?" Naya mengangguk kecil. Bibirnya masih mengerucut.

"Itu karena aku belum kenal kamu," jawab Jevin. "Lagipula aku anggap kamu yang dulu imut lho. Kayak kelinci. Pipinya tembem."

Naya menghela napas panjang. Ia menunduk. Tangannya masih terlipat di depan dada. Gadis itu tidak tahu bagaimana harus menanggapi kalimat Jevin barusan.

"Naya," panggil Jevin lagi. "Maaf kalau ucapan aku waktu malam itu bikin kamu marah."

Naya menggeleng. "Cuma kesel aja kok."

Jevin tersenyum. Tangannya terulur untuk mencubit ujung hidung Naya. Gadis itu mengaduh kecil.

"Kenapa sih, Kak?" tanya Naya. Ia masih tidak berani membalas tatapan Jevin. "Kenapa suka sama aku?"

"Aku nggak bisa atur perasaan aku sendiri," jawab Jevin perlahan. "Aku juga nggak tahu sejak kapan punya perasaan ini. Tiba-tiba, aku jadi lebih perhatian sama semua hal tentang kamu. Itu menarik."

"Kak Jevin tahu kan, aku nggak boleh pacaran sama Kakak sampai umur dua puluh tahun?"

Jevin mengangguk. "Aku bilang kayak gini bukan berarti aku mau ajak kamu pacaran. Aku nggak nyaman harus simpan perasaan ini sendiri, apalagi seminggu ini kamu terkesan menjauh. Aku nggak mau menyesal."

"Kak," Naya kembali menghela napas panjang. "Aku nggak bisa anggap Kak Jevin lebih dari seorang kakak. Maaf."

Jevin tersenyum. Ia mengusap kepala Naya dengan hati-hati. Sebenarnya Jevin sudah tahu bahwa Naya akan menolaknya. Dilihat dari gelagatnya akhir-akhir ini.

"Nggak papa. Perasaan orang nggak ada yang bisa atur."

"Ada," jawab Naya cepat. "Diri kita sendiri."

Jevin terkekeh. Ia mengangguk kecil. "Tapi aku mau nikmati perasaan ini. Jarang-jarang kan seorang Jevin ditolak mentah-mentah."

Naya meringis melihat Jevin tertawa seperti itu. Ia menepuk punggung tangan cowok di hadapannya. Naya tersenyum menenangkan.

"Maaf ya, Kak."

Jevin mencubit kedua pipi Naya. Gadis itu meronta. Ia memukul tangan Jevin hingga cubitannya lepas. Naya memberikan tatapan tajamnya sambil mengelus kedua pipi yang terasa kebas.

"Kalau terus-terusan minta maaf, aku jadi makin merasa bersalah nih," canda Jevin.

Tawa Jevin berhenti. Hening kembali menyelimuti keduanya. Mereka saling duduk berhadapan, tapi tidak ada yang berani menatap duluan.

"Kak... kita bisa nggak, kembali kayak dulu lagi?"

Jevin mengangkat kepalanya. Ia tersenyum tipis. Matanya menyiratkan rasa sedih.

"Benar-benar nggak ada kesempatan ya, Naya?"

Naya hanya diam. Raut wajahnya tak terbaca. Mau berpikir lama pun, Naya tidak bisa menemukan jawaban yang harus ia lakukan. Dari kemarin dirinya berusaha keras memahami isi hatinya sendiri, namun Naya masih saja tidak mengerti.

"Ya sudah. Asal kamu nyaman aja. Aku mau lihat kamu ketawa lepas kayak tadi lagi," jawab Jevin pada akhirnya. Senyuman yang sama tetap terpasang di wajahnya.

Naya mengangguk. Ia memilih berdiri. Suasana jadi sangat tidak nyaman untuk saat ini.

"Aku anggap pembicaraan ini nggak pernah terjadi, Kak."

Deg! Hati Jevin yang tadinya retak, kini hancur berantakan. Cowok itu tertawa kecil. Ia meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan.

"Naya," panggil Jevin. Naya berhenti melangkah.

"Kamu boleh anggap aku sebagai seorang kakak, tapi biarkan aku menyimpan rasa suka ini sendiri," ucap Jevin serius. "Jangan paksa aku untuk langsung berubah biasa lagi. Itu susah."

Naya menghela napas panjang. Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya. Jevin hanya tersenyum miris melihat punggung Naya yang perlahan menjauh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top