43. Serah Sia Weh

Memasuki awal minggu baru, keadaan rumah menjadi makin sepi. Ini permulaan dari minggu tenang sebelum UAS dimulai. Hal itu tidak berlaku bagi Rendra dan Naya. Fakultas kedokteran punya jadwalnya sendiri.

Seperti biasa, pagi ini Naya sudah sibuk di dapur. Ia membuat smoothies sebagai menu sarapan. Gadis itu menuangkan isi blender ke dalam dua gelas. Setelah selesai Naya meletakkan semua barang kotor ke dalam bak cuci piring.

"Naya."

Deg. Suara Jevin. Naya buru-buru cuci tangan, ia bermaksud kabur.

Ketika berbalik, gadis itu sangat terkejut karena Jevin sudah berdiri tepat di balik punggung Naya. Tatapan matanya datar. Tak ada senyuman di wajah.

"Lo menghindar selama seminggu belakangan ini," ucap Jevin dengan nada terluka. "Ada apa?"

Naya melirik gelas smoothies strawberry buatannya. Ia harus mencari cara untuk kabur.

"Aku mau persiapan kuliah dulu, Kak."

Jevin melangkah maju. Tangannya terjulur pada kitchen kabinet di balik punggung Naya. Gadis itu kini terkurung.

"Gue ada salah apa, Naya?"

Naya menggeleng. Ia berusaha tersenyum. Tangan gadis itu mendorong bahu Jevin, namun tidak ada perubahan yang berarti.

"Nggak ada kok, Kak. Sudah ya. Aku mau..."

"Terakhir lo keliatan marah banget sama gue. Seminggu ini gue mikirin lo terus."

Naya menahan napas. Percuma juga Jevin bertanya. Selama ini pun Naya masih mencari jawaban mengapa ia bisa marah pada Jevin. Hal itu secara tidak langsung malah menggali jurang di antara mereka.

"Aku... Aku nggak marah kok," balas Naya. Ia menatap kedua mata Jevin dengan berani. "Jangan suka bikin asumsi sendiri deh, Kak. Waktu itu aku cuma lagi PMS," bohong Naya.

Jevin tersenyum lega. Ia meletakkan kepalanya di bahu Naya. Mendengar jawaban gadis itu, Jevin tidak bisa tidak merasa aman. Jevin tahu kenyataan bahwa Naya bisa berubah seratus delapan puluh derajat saat sedang mengalami menstruasi.

"Kak Jevin...," panggil Naya. Ia takut cowok itu bisa mendengar detak jantungnya seperti tempo hari. "Aku masih harus siap-siap kuliah."

"Bentar. Cuma sebentar kok," jawab Jevin di leher Naya. "Gue lagi lemes banget ini."

Bulu kuduk Naya meremang. Deru napas hangat Jevin terasa menggelitik lehernya. Hal itu menciptakan sensasi aneh tersendiri yang belum pernah ia rasakan. Naya hanya dapat diam terpaku.

"ASTAGHFIRULLAH HAL ADZIM. Enyah wahai kau setan laknat!"

Naya mendorong bahu Jevin kuat-kuat. Untung saja keseimbangan Jevin bagus. Cowok itu melangkah mundur untuk menciptakan jarak.

"Ngapain masih pagi sudah pelukan di dapur?" tanya Hechan penuh curiga. Ia menatap tajam ke arah Jevin. Nggak mungkin Naya duluan sih yang memulai itu semua, jadi Hechan langsung menghakimi Jevin.

"Aku mau antar sarapan untuk Kakak dulu," ucap Naya sambil meraih dua gelas smoothies yang dari tadi tidak ia sentuh.

Jevin mengikuti arah kepergian Naya. Ia menghela napas panjang dan mengacak rambutnya kesal. Ini semua gara-gara Hechan. Hubungannya dengan Naya pasti akan kembali canggung.

"Jev," panggil Hechan. "Lo ngapain Naya?"

Jevin menoleh. "Gue nggak ngapa-ngapain. Tadi gue lagi lemes aja, jadi bersandar sebentar."

"Lo suka sama Naya?" tanya Hechan to the point.

Jevin terdiam. Ia mengangguk dan membalas tatapan mata Hechan. "Kayaknya gitu."

"Serah sia weh," ucap Hechan gemas. "Asal jangan bikin anak orang bingung."

"Jangan kasih tau Abang."

Hechan melirik sinis ke arah Jevin. "Nggak perlu bilang ke Mark. Gue yang bakal jagain Naya dari lo. Gue juga kakaknya."

Jevin mendengus geli. "Lo suka banget di zona kakak-adek ya. Nggak sama kating, Naya pun jadi."

"Sialan lo," ucap Hechan. Tangannya terkepal siap meninju, namun ia urung. Cowok itu hanya mendorong tubuh Jevin menjauh, mengambil minuman dari dalam kulkas, dan bergegas masuk kembali ke dalam kamar.

--

Naya memasukkan motor ke halaman belakang. Gadis itu melihat sekitar. Aman, tidak ada Jevin. Ia buru-buru naik ke lantai dua.

Tujuan utama Naya bukan kamarnya sendiri. Ia berlalu menuju kamar sang kakak. Pintunya diketuk tiga kali, tak ada jawaban.

"Aku masuk ya, Kak," ucap Naya pelan sambil membuka pintu.

Mark bergeming. Cowok itu bergelung di bawah selimutnya. Naya menghela napas panjang. Ia menghampiri kasur sang kakak tanpa suara.

Ini sudah pukul dua siang. Mark masih belum mau keluar dari kamarnya. Naya melirik gelas kosong di atas nakas. Bahkan asupan yang masuk sepertinya hanya smoothie bikinan Naya tadi pagi.

"Kakak," panggil Naya sambil mengguncang bahu Mark. "Makan dulu, yuk. Kakak mau makan apa? Nanti aku cariin."

Mark melenguh. Ia telentang hingga dapat melihat Naya. Matanya sembab, wajahnya kusut. Naya jadi sedih melihatnya.

"Sudah pulang, Nay? Sekarang jam berapa?" tanyanya dengan suara serak.

"Dua," jawab Naya. "Makan dulu, Kak."

Mark menggeleng. Ia kembali menarik selimutnya hingga menutupi kepala. "Kakak nggak laper."

Naya menghela napas panjang. "Aku masakin, tapi Kakak harus makan lho ya."

Tidak ada jawaban. Naya mengambil gelas kotor dan pergi keluar kamar. Gadis itu mampir sebentar ke kamar hanya untuk meletakkan tasnya. Ia kemudian turun ke dapur.

Tangan Naya bergerak membuka pintu kulkas. Matanya bergerak kesana kemari mencari bahan-bahan. Ia berencana membuat steak daging sapi kesukaan kakaknya.

Hechan muncul sambil menguap lebar. Cowok itu memperhatikan Naya yang tampak cekatan memotong bawang bombay. Naya melirik sekilas namun ia tidak berkata apa pun.

"Belum makan, Neng?" tanya Hechan. Ia mengambil gelas dan mengisinya dengan air dari dispenser.

"Untuk Kakak," jawab Naya singkat.

Hechan mengerutkan keningnya. "Oh iya, hari ini belum lihat Mark sama sekali."

Naya tidak menanggapi. Ia sibuk memasak. Pikirannya juga sedang sibuk berputar pada Mark. Kakaknya memang belum bicara tentang masalahnya. Naya hanya khawatir, selama ini Naya tidak pernah melihat sang Kakak menangis, kecuali ketika Mark sedang marah pada orang tua mereka karena menolak untuk masuk ke fakultas kedokteran.

"Kak Hechan juga mau dong, Neng."

Hechan nih memang tidak bisa membaca suasana. Naya tetap diam. Ia membiarkan Hechan ricuh sendiri di sebelahnya.

"Neng lagi deket sama Jevin ya?"

Pertanyaan ngawur Hechan sukses menarik perhatian Naya. Gadis itu mengerang pelan. Ia menoleh ke arah Hechan dan melayangkan tatapan menusuknya.

"Ngaco," sambar Naya kesal. "Jangan ganggu. Sana nonton TV aja."

Bukannya pergi, Hechan malah duduk di kursi pantry. Cowok itu memperhatikan punggung Naya yang sedang fokus memasak. Hechan memainkan gelas di tangannya pelan.

"Neng lebih pilih sama Jevin atau sama kakak tingkat yang waktu itu dibawa ke rumah?"

Naya bertambah kesal. Bukan Hechan namanya kalau bisa dikasih tahu sekali saja. Sudah pikiran Naya penat, ditambah lagi harus mendengar ocehan tidak berguna dari Hechan. Jadi, gadis itu lebih memilih diam.

Naya meletakkan teflon di atas kompor. Ia mulai membuat steak dengan bumbu khas buatannya sendiri. Harum masakannya sangat menggoda. Hechan sampai bangkit berdiri untuk melihat proses memasak dengan lebih dekat.

"Minggir," usir Naya sambil menyikut pelan perut Hechan. Cowok itu memang terlalu banyak ingin tahu.

"Mau coba sedikit boleh, nggak?" Hechan menatap ke dalam penggorengan dengan wajah mupeng. Kayaknya dia benar-benar lapar.

"Kak Hechan mau?" tanya Naya akhirnya. Hechan menoleh dan mengangguk semangat.

"Nanti malam aja ya, aku masak lagi," ucap Naya pada akhirnya.

Diingat-ingat, ia juga sudah jarang memasak untuk Hechan. Padahal dulu Hechan selalu minta dibikinkan ini dan itu seenak jidat. Anehnya, Naya menurut saja. Senang juga sih lihat Hechan makan dengan lahap, yang masak jadi bangga sendiri.

Hechan akhirnya mengalah. "Memang Mark lagi kenapa, sih? Wajah lo kayak khawatir banget gitu."

Naya mengangkat kedua bahunya. Ia menggeleng pelan. "Kakak belum cerita. Akhir-akhir ini memang aneh sih. Biasanya kan jarang banget di rumah, tapi sekarang tiap balik dari kampus selalu langsung mengurung diri di kamar. Puncaknya tadi pagi. Kak Mark nangis sendiri di balik selimut."

Hechan manggut-manggut. "Patah hati, kali."

Tangan Naya berhenti bergerak. Ia menoleh ke arah Hechan dengan kedua mata terbuka lebar. "Bisa jadi. Biasanya kan Kakak selalu jalan sama Kak Lia," Naya mulai berpikir keras. "Hm, jadi curiga."

Hechan tertawa. Ia menjawil hidung Naya dengan gemas. Tampang polos Naya kalau lagi sok berpikir keras itu imut banget.

"Masak dulu aja. Mikirnya nanti. Temenin Mark makan sekalian ngobrol-ngobrol."

Naya mengangguk. Ia kembali menghadap ke kompor.

"Nanti malam, makan bareng ya, Neng," ucap Hechan mengingatkan. Ia meletakkan gelasnya ke atas meja.

"Kalau sempat ya, Kak. Aku nemenin Kakak dulu," jawab Naya.

Hechan mengangguk. Cowok itu berjalan keluar dari dapur dan membiarkan Naya memasak dengan tenang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top