41. Naya Bimbang
Naya berjalan cepat, setengah berlari menuju laboratorium histologi. Ia bangun terlambat hari ini. Salahkan hatinya yang membuat Naya tidak bisa terlelap semalam karena terus menerus memikirkan Jevin. Untung saja Naya bisa bangun pukul sembilan dan mempersiapkan diri berangkat kuliah. Cewek itu lebih memilih naik ojek online daripada mengendarai motornya sendiri. Lebih cepat sampai karena tidak perlu ke kantong parkir dulu.
"Kirain kamu bakal nggak masuk," sapa Ghina begitu melihat wajah Naya muncul dari tangga.
Naya tidak membalas. Ia masih berusaha mengatur napas. Gadis itu melepaskan tasnya dan memakai jas laboratorium. Ia sampai di depan pintu ruang praktek tepat tiga menit sebelum pukul sepuluh.
Tepat adzan dhuhur berkumandang, kelas praktikum hari itu selesai. Naya dan Ghina membenahi peralatan menulis mereka. Keduanya berjalan bersisian menuju kantin.
Beruntung kelompok mereka hanya punya satu jadwal saja. Bahkan tidak ada kelas teori maupun skills lab. Kenikmatan yang jarang dirasakan oleh anak kedokteran.
"Ih, penuh," komentar Ghina melihat ke sekeliling.
Naya menjulurkan kepalanya kesana-kemari. Benar, tidak ada satu meja pun yang masih kosong. Bukan hal yang aneh lagi. Ini jam istirahat siang, sudah pasti kantin manapun akan ramai.
"Makan di luar aja, yuk."
Naya menoleh. "Kemana?"
"Siomay Telkom?"
Naya terkekeh. Sahabatnya ini sangat suka siomay. Dalam seminggu, minimal ia harus makan siomay tiga kali.
"Bubur Yoyong aja yuk," ajak Naya.
"Ayok, udah lama aku nggak makan bubur," ajak Ghina semangat. Gadis itu kemudian berhenti. "Tumben. Kamu nggak bawa bekal sendiri?"
Naya menggeleng. Ia menggamit lengan Ghina untuk menjauh dari kantin. Mereka berjalan bersisian.
"Tadi pagi aja aku hampir telat. Mana sempat buat bekal siang?" ucap Naya sambil tertawa kecil. "Eh, aku numpang mobil boleh nggak? Lagi nggak bawa motor, nih."
Ghina mengiyakan. Kedua gadis itu mengobrol banyak hal sambil berjalan menuju lapangan Pancasila, tempat parkir mobil untuk seluruh mahasiswa UGM.
--
Naya dan Ghina baru saja selesai dengan suapan terakhir makan siang mereka. Mereka masih sibuk ngobrol. Biasa, cewek kalau lagi ada waktu luang enaknya ghibah.
Ting! Ponsel Naya bergetar di atas meja. Cewek itu melihat pesan yang baru saja masuk. Dari Jeno. Tumben, pikirnya.
"Pulang kuliah jam berapa?"
"Bentar, Ghin," ucap Naya meminta izin untuk membalas pesan itu.
"Sudah selesai kuliah nih, Kak. Kenapa?"
Beres mengetik balasan, Naya kembali melanjutkan obrolannya yang tertunda tadi. Keduanya terganggu oleh dering ponsel. Kali ini telepon.
"Hal..."
"Dimana? Kok belum nyampe rumah?"
Naya mengernyitkan dahi. Ia menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap lekat-lekat caller Id yang tertera. Benar Jeno, tapi suaranya kenapa jadi kayak pacar yang posesif gini?
"Lagi makan siang," jawab Naya sekenanya.
"Dimana? Gue jemput."
"Jauh. Nanti aku pulang bareng temen aja," ucap Naya enggan mengungkapkan lokasinya saat ini.
Ghina mengangkat sebelah alisnya. Wajah gadis itu menyiratkan tanda tanya besar.
"Je-no," eja Naya dengan mulutnya tanpa menimbulkan suara.
"Gue jemput. Nggak ada penolakan."
Naya menelan ludah susah payah. Suara Jeno kembali dingin. Serem. Naya bisa membayangkan raut wajah datar cowok itu.
"Di... Bubur Yoyong. Jalan Magelang," jawab Naya lirih.
"Tunggu. Jangan kabur."
Telepon terputus begitu saja. Naya memandangi layar ponselnya yang kembali menggelap. Dengan kesal gadis itu meletakkan ponselnya ke meja. Naya mendengus kesal.
"Kenapa? Cerita dong," ucap Ghina sambil menyeruput es teh miliknya.
"Biasa, si pangeran es super nyebelin, suka berbuat semena-mena," ucap Naya.
Ghina terkekeh. "Jangan bilang Kak Jeno juga yang bikin pagi ini telat? Kan aneh aja seorang Naya bisa terlambat."
Naya terdiam. Pikirannya melayang pada kejadian semalam. Hatinya kembali bersikap aneh mengingat wajah Jevin.
"Pernah pacaran nggak, Ghin?"
"Pernah," jawabnya enteng. "Mau tanya tips pacaran yang ampuh bisa bikin cowok klepek-klepek?"
Naya menggeleng. "Kalau pacaran tuh harus atas dasar suka sama suka, kan?"
Ghina berpikir sejenak. Ia tidak langsung menjawab. "Idealnya sih gitu, tapi zaman sekarang banyak yang aneh-aneh. Hubungan bisa ada untuk saling menguntungkan. Si A untung karena dapet uang, si B untung karena dapat ketenaran. Si C keliatan keren karena punya gandengan, si D seneng karena nggak kesepian. Banyak lagi contohnya."
"Kenapa?" tanya Ghina ketika Naya tak kunjung bersuara. "Kamu lagi deket sama cowok?"
Naya tidak menjawab. Gadis itu lagi-lagi menghembuskan napas kesal. Tiba-tiba dia jadi tidak bersemangat.
"Aku bingung, Ghin," ucap Naya.
"Iya. Bingung kenapa?" tanya Ghina pelan. Ia tahu temannya yang satu ini kalau cerita suka setengah-setengah. Kan bikin makin penasaran.
"Aku jadi nggak mau pulang deh," keluh Naya.
"Maksudnya?" tanya Ghina tak mengerti. Kalau Ghina jadi Naya sih malah milih nggak bakal mau keluar rumah. Lagian, orang-orang di rumahnya tuh cogan semua!
"Nggak nyaman aja," jawab Naya. Ia mengangkat bahu. "Takutnya nanti malah jadi marah-marah lagi."
"Kamu habis marah-marah sama siapa memang?"
Sudut-sudut bibir Naya tertarik ke bawah. Ia mengerang pelan. "Kak Jevin."
Mata Ghina melebar. Kalau dengar dari cerita Naya sebelum-sebelumnya sih Jevin adalah salah satu sosok kakak yang perhatian. Bahkan bisa dibilang lebih lembut daripada Mark, kakak kandung Naya sendiri.
"Kok bisa marahan? Gimana cerita?"
"Bukan marahan," ralat Naya. "Aku yang marah sama dia. Aku sendiri juga nggak tahu kenapa bisa marah sama dia. Semua karena Kak Hechan nih."
"Pangeran kodok itu?"
Naya mengangguk. "Omongan Kak Hechan bikin aku kepikiran terus. Jadinya aku malah marah sama Kak Jevin, padahal dia nggak salah apa-apa."
"Kak Hechan ngomong apa?"
Naya diam. Ia hanya menghembuskan napas panjang. Gadis itu enggan menjawab.
"Salah nggak sih, nolak orang yang bahkan belum nyatain perasaan?"
Ghina tergelak mendengar pertanyaan Naya. Baginya, cara pikir Naya saat ini sangat lucu.
"Jangan dilakuin deh, Naya. Dijamin kamu bakal dicap aneh. Terlalu percaya diri," ucap Ghina memberi saran. "Lagipula, kalau orangnya sampai bikin kamu kepikiran kayak gini, itu tandanya kamu punya sedikit rasa perhatian. Coba pikir baik-baik dulu sebelum menyesal."
Naya mengangguk. Ia kini sadar. Dirinya terlalu terbawa emosi.
Ponsel Naya berdering. Satu pesan masuk. Bukan dari Jeno, dari Julian. Naya membacanya sambil senyum-senyum.
"Dari siapa?" tanya Ghina penasaran.
"Kak Julian," jawab Naya lugas. Gadis itu masih belum mengangkat wajah dari layar ponselnya.
"Kamu suka sama Kak Julian?"
Tembakan Ghina membuat Naya terdiam. Naya jadi berpikir ulang. Saat bersama Jevin maupun Julian, jantungnya sama-sama berdetak di atas kecepatan normal. Namun, mana perasaan suka yang sesungguhnya, Naya masih tidak yakin.
Naya berusaha berpikir keras. Ia secara tidak langsung jadi membandingkan Jevin dan Julian dalam benaknya. Gadis itu langsung merumuskan sebuah kesimpulan.
Tubuh Naya bereaksi aneh ketika di dekat Jevin karena cowok itu suka sekali skinship, yang bahkan belum pernah Naya lakukan kepada cowok manapun selain keluarga. Sedangkan ketika bersama Julian, Naya mendapat rasa senang berbunga-bunga karena perhatian manis yang diberikannya. Intinya, jantung Naya berdebar kencang bukan karena rasa cinta, tapi karena sedang beradaptasi dengan hal baru.
"Urusan hati lho ini," celoteh Ghina. "Jangan main-main. Jangan asal menyimpulkan," lanjutnya seperti bisa membaca pikiran Naya.
Naya tersenyum. Ia memilih menghabiskan isi gelasnya yang tinggal tersisa setengah. Tepat di sedotan terakhir, ponsel Naya berbunyi nyaring.
"Gue sudah di depan."
Naya mendengus kesal. Jeno tuh kebanyakan dinginnya daripada hangat. Bikin Naya mau marah saja rasanya.
"Yuk, pulang. Kak Jeno sudah ada di depan nih," ucap Naya sambil mengeluarkan dompet. Ia belum bayar.
"Nanti kenalin ya. Penasaran sama mukanya. Baru pernah lihat Kak Rendra sama Kak Jevin aja," bisik Ghina sambil cekikikan.
Naya meringis. "Hati-hati, nanti malam dapat mimpi buruk baru tahu rasa."
Kedua alis Ghina terangkat. "Katanya ganteng?"
"Ganteng tapi serem. Aku sih nggak mau," seloroh Naya asal.
Ghina hanya geleng-geleng kepala. Biasanya kalau ngomong gitu sih, malah jadi kualat sendiri. Senjata makan tuan. Gadis itu mengejar langkah Naya yang sudah terlebih dahulu jalan ke arah kasir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top