35. Maaf ya
"Nggak usah, Kak. Aku bisa pulang sendiri," elak Naya di telepon.
"Gue bawa mobil Jevin. Pulang bareng aja," ucap Jeno tak mau dibantah. "Selesai kuliah jam berapa?"
Naya menghela napas panjang. Ia mengalah. "Jam tiga."
"Gue jemput. Jangan kabur."
Naya memandangi layar ponselnya yang kembali menunjukkan tampilan aplikasi line. Jeno dengan seenaknya menelepon secara tiba-tiba dan memutuskannya pula tanpa pamit. Kebiasaan, rutuk Naya dalam hati. Untung saja Naya sedang tidak ada kelas jadi dia bisa langsung menjawab panggilan cowok itu.
"Siapa sih?" tanya Ghina penasaran. Cewek itu menyuapkan siomay ke dalam mulut.
"Kak Jeno," jawab Naya singkat. "Temennya Kak Jevin sama Kak Rendra juga."
Kunyahan Ghina berhenti. Gadis itu berusaha mengingat-ingat. Ia kemudian menurunkan garpu dari tangannya dan memajukan tubuh dengan penuh rasa penasaran.
"Anak yang kontrak di rumah kamu?"
Naya mengangguk santai. Ia kembali menyuapkan nasi ayam ke dalam mulut.
"Kak Jeno itu cowok?"
Naya lagi-lagi mengangguk. Dia terlihat tidak peduli.
"Ganteng juga nggak?" Naya mengerutkan kening. Ia menelengkan kepalanya tak mengerti. Ghina terkekeh sebelum menjawab. "Kak Rendra ganteng. Kak Jevin yang waktu itu, juga ganteng. Kak Jeno, gimana?"
Naya menerawang. Ia membayangkan wajah Jeno yang tidak pernah jauh dari kesan dingin. Seketika Naya sadar, Jeno seperti punya darah orang luar negeri. Agak bule-bule gimana gitu.
"Ganteng juga," jawab Naya cuek. Ia meneguk air mineral dari botol minumnya. "Kenapa?"
"Kamu beruntung banget sih, dikelilingi sama pangeran-pangeran ganteng kayak gitu," ucap Ghina sambil mengatupkan kedua belah telapak tangannya di depan dada. "Kak Mark, Kak Rendra, Kak Jevin, Kak Jeno. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?"
Naya mendengus geli. "Masih ada satu. Pangeran kodok sih yang ini," ucap Naya sambil membayangkan wajah marah Hechan jika mendengar dirinya diejek dengan sebutan barusan.
"Pangeran kodok kalau kutukannya lepas kan juga jadi ganteng," bela Ghina.
Naya hanya manggut-manggut. Sahabatnya ini terlalu terobsesi dengan para cowok itu. Naya sampai tidak memperbolehkan Ghina untuk mampir ke rumahnya. Bisa ribut sendiri itu anak kalau lihat para cowok tampan bersatu.
"Nanti mau dijemput?" tanya Ghina sambil kembali makan.
"Iya, nih. Heran. Tumben banget Kak Jeno yang nawarin jemput," jawab Naya. Gadis itu tampak berpikir lama. "Sejujurnya, diantara mereka, aku paling nggak ngerti sama sikapnya Kak Jeno. Aku juga nggak deket-deket banget. Itu cowok, bisa berubah seratus delapan puluh derajat."
Ghina hanya mengerutkan keningnya. "Maksudnya gimana?"
Naya hanya menggeleng. "Nggak jadi, deh."
"Nyebelin ah. Ngomong setengah-setengah," keluh Ghina. Naya hanya terkekeh. "Nanti nurut aja, pulang bareng sama jemputan. Kaki kamu kan masih sakit."
Naya memonyongkan bibirnya. Akibat luka bakar yang ia dapat di kaki dan lengan, Naya jadi harus pakai rok panjang dan kemeja lengan pendek. Dia juga jadi nggak bisa pakai sneakers andalannya. Untung saja Naya punya flat shoes yang bagian atasnya cukup terbuka, jadi tidak menekan daerah lukanya.
Karena sedang pakai rok, Mark melarang keras adiknya itu untuk naik motor. Dia parno sama video orang-orang yang pakaiannya nyangkut di jeruji roda sepeda motor saat sedang membonceng. Padahal, kalau Naya sendiri yang mengendarai, kan tidak ada masalah.
Akhirnya, Naya mengalah karena tidak ingin terlambat kuliah pagi hanya untuk berdebat dengan kakaknya. Mark mengantar Naya terlebih dahulu ke kampus menggunakan mobilnya. Toh, fakultas teknik dan fakultas kedokteran cukup dekat.
Naya berpikir dirinya bisa kabur pulang sendiri tanpa membutuhkan jemputan kakaknya. Ia tidak menyangka justru Jeno lah yang memaksanya untuk pulang bersama. Hal yang tidak pernah Naya bayangkan.
Ting!
Naya kembali meraih ponselnya. Satu pesan masuk dari sang kakak.
"Jeno sudah bilang bakal jemput pakai mobil Jevin. Nanti langsung pulang, ya. Kakak masih ada rapat sore ini."
Ugh, kalau begini Naya jadi tidak bisa kabur. Jeno selalu saja laporan dulu pada Mark jika ingin pergi dengan Naya. Satu hal yang sangat Naya sesali dari Jeno karena mau tak mau Naya jadi harus menuruti kemauannya.
--
Jeno melambatkan laju mobil. Kepalanya menoleh mencari keberadaan Naya yang katanya sudah menunggu di depan gedung pascasarjana. Ia menepikan kendaraannya tepat di depan palang besar bertuliskan "Gedung Pascasarjana Tahir Foundation."
Naya membuka pintu dan masuk ke dalamnya tanpa banyak bicara. Jeno meliriknya sekilas. Setelah pintunya tertutup, Jeno kembali melajukan mobilnya.
"Memang nggak ada yang marah kalau Kak Jeno jemput aku?" tanya Naya begitu mobil sudah keluar dari lingkungan kampus.
Jeno menoleh. Naya sedang memandanginya dengan penuh penasaran. Cowok itu menghela napas panjang dan kembali melihat ke depan.
"Gue mau minta maaf atas nama Vina. Dia sudah keterlaluan kemarin," ucap Jeno pelan. Ia benar-benar terlihat menyesal.
Naya kembali melayangkan pandangannya ke luar jendela. Langit sangat kelabu. Sepertinya hari ini akan hujan lagi.
"Masih sakit banget nggak?" tanya Jeno. Kali ini terdengar khawatir.
Naya menggeleng. "Sudah baikan kok, Kak."
Lampu merah. Jeno memindahkan gigi menjadi netral dan menarik hand rem. Cowok itu memandangi Naya dari samping.
"Jangan ngambek."
Naya menoleh. Ia mendengus geli dan memukul lengan Jeno pelan. "Suka banget ngira aku ngambek sih, Kak."
Jeno menangkap tangan kanan Naya. Ia melihat ke arah luka kecil di sana. Sudah tidak terlalu parah. Hanya tersisa warna kemerahan yang cukup membuat Jeno lagi-lagi merasa bersalah. Cowok itu bergerak mendekatkan tangan Naya ke depan mulutnya. Ia meniup-niupnya, entah untuk apa.
"Cepet sembuh, ya," ucap Jeno sambil melihat ke dalam mata Naya.
Pipi Naya memerah. Ia menarik tangannya dan membuang wajah. Gadis itu malu.
"Jalan, Kak," ucap Naya mengalihkan pembicaraan.
Jeno kembali melihat ke depan. Ia melajukan mobilnya lagi membelah jalanan yang tidak terlalu penuh.
"Kata Kakak harus langsung pulang," ucap Naya. Gadis itu jadi ingat terakhir kali dirinya pergi berdua sama Jeno. Ia dibawa pergi seenak Jeno tanpa persetujuannya.
"Beli makan dulu, gimana?"
Nah, kan. Bener. Bedanya kali ini Jeno bertanya meminta pendapat Naya.
"Nanti keburu hujan, Kak," elak Naya. Ia kembali melihat ke arah langit.
"Beli nasi uduk palagan aja. Searah sama jalan pulang," ucap Jeno. Ia melirik sekilas ke arah Naya. "Gimana, Naya?"
Naya lagi-lagi blushing. Jeno memanggil namanya dengan begitu lembut. Sepertinya Jeno hanya akan berlaku manis pada Naya jika sedang berdua saja.
"Bungkus aja. Beli sekalian untuk orang-orang di rumah," ucap Naya tanpa menoleh.
Jeno tidak berkomentar. Mereka kembali saling terdiam. Naya pun tidak berusaha mencairkan suasana.
Mobil akhirnya melambat di depan rumah makan yang mereka tuju. Jeno memarkirkan mobil dengan rapi di tempat yang tersedia. Cowok itu meraih ponsel dan dompet dari atas dashboard mobil.
"Mau ikut, nggak?" tanya Jeno.
Naya menoleh. Ia bingung dengan pertanyaan Jeno.
"Beli untuk dibungkus, kan? Kalau lo nggak mau ikut turun, gue kasih kuncinya ke lo aja, nih," ucap Jeno menjelaskan.
Naya menggeleng. Ia meraih tasnya dan ikut membuka pintu. Gadis itu tidak menyangka bahwa Jeno menuruti perkataannya. Aneh, kayak bukan Jeno.
Kedua orang itu jalan bersisian memasuki rumah makan. Jeno mengambil daftar menu dan berjalan menuju meja yang telah dipilih Naya.
"Mau makan apa?" tanya Jeno.
Naya bengong. Dia masih belum terbiasa dengan perubahan Jeno. Memang sih, setelah insiden mabuk itu, Jeno jadi bersikap hangat pada Naya. Namun kalau ada orang lain, cowok itu akan kembali pada sifat dinginnya. Naya makin bingung, hari ini Jeno bertindak manis yang tidak wajar. Mungkin karena merasa bersalah, pikir Naya menenangkan diri.
"Aku mau pakai ayam. Bagian dada," jawab Naya.
Jeno tersenyum. Bukan jenis senyum miring mengejeknya yang biasa.
"Sudah nggak diet, ya?"
Naya gagap. Ia berdeham sebelum menjawab. "Protein itu dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Jadi aku harus makan banyak."
Jeno geleng-geleng kepala. Sekilas Naya melihat cowok itu tersenyum. Manis banget!
Setelah selesai menuliskan pesanan untuk enam orang, Jeno memanggil seorang pelayan. Berbeda dengan jalan terakhir kali bersama Naya. Kali ini Jeno benar-benar melakukan semuanya sendiri.
"Kak Jeno nggak kuliah, ya?"
Jeno menoleh ke arah Naya. "Kuliah, kok, tapi cabut jam terakhir."
"Kenapa?" tanya Naya. Ia takut Jeno jadi tidak kuliah hanya untuk menjemputnya pulang.
"Kelasnya bareng Vina. Males gue ketemu dia," jawab Jeno. Wajahnya kembali kaku.
Naya menghela napas panjang. Kini ia merasa bersalah, namun oleh karena hal lain. "Maaf ya, Kak. Aku bikin Kak Jeno bertengkar sama mbak pacar," ucap Naya tulus, namun enggan mengucap nama Vina.
Jeno mendengus geli. "Sudah bukan pacar, kok."
"Eh, maaf. Aku malah jadi bikin kalian..."
"Percaya diri banget sih," potong Jeno sambil tersenyum miring. "Gue sama Vina memang sudah lama cek-cok. Karena sudah bikin celaka orang lain, gue rasa itu jadi alasan yang tepat buat gue yakin untuk pisah sama dia."
Naya menghembuskan napas pelan. Ia menepuk-nepuk punggung tangan Jeno yang duduk di hadapannya. Gadis itu memandang penuh rasa simpati.
"Sabar ya, Kak."
Jeno menunduk, melihat tangan Naya bergerak. Ia tersenyum samar. Entah mengapa, dirinya merasa tenang. Padahal Jeno baru putus dari orang yang selama satu tahun terakhir ini ia kencani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top