26. Hangover

Jeno membuka mata akibat terik matahari yang masuk ke dalam kamar. Ia mengerang pelan sembari memegangi kepalanya yang berdenyut ringan. Memaksakan diri, Jeno berjalan terhuyung menuju kamar mandi. Ia kembali muntah, walaupun tidak keluar apa-apa selain air.

Selesai mandi, Jeno memilih memakai kaus dan celana pendek santainya. Ia tidak berminat untuk berangkat ke kampus hari ini. Badannya pegal-pegal, mood-nya juga masih berantakan.

Jeno melangkahkan kakinya ke rumah utama. Perutnya lapar. Mungkin ia bisa mencuri makanan Jevin dari dalam kulkas, pikirnya.

"Sudah bangun?" sapa Naya. Gadis itu sedang mengaduk isi panci, sambil menoleh pada Jeno.

"Nggak kuliah?" tanya Jeno.

Seketika cowok itu ingat dengan bantuan Naya. Cowok itu bicara dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. Ia merasa bersalah karena justru memarahi Naya ketika gadis itu mengurus dirinya dengan baik saat sedang mabuk semalam.

"Lagi masa tenang, mau ujian blok," jawab Naya sambil menggeleng.

Kuliah di FK UGM menganut sistem blok. Satu semester terdiri dari tiga blok, masing-masing dilaksanakan dalam kurun waktu enam minggu. Sebelum ujian CBT nanti hari Jumat, Naya tidak ada jadwal kuliah sama sekali. Dia belajar di rumah.

"Duduk dulu, Kak. Bentar lagi sup ayamnya matang," ucap Naya.

Jeno akhirnya menarik salah satu kursi yang paling dekat dengan dirinya. Ia mengamati punggung Naya yang bergerak lincah kesana-kemari menyiapkan berbagai makanan di dapur.

Naya berbalik. Ia berjalan menuju meja makan dan meletakkan sepiring omelet di hadapan Jeno. Tangan yang satunya menyodorkan air hangat perasan lemon.

"Makan ini dulu. Aku cari di Google, katanya lumayan bantu menghilangkan hangover," ucap Naya.

Gadis yang masih mengenakan celemek itu melihat Jeno lekat-lekat. Ia mendengus kesal. Jeno sudah mandi, keramas, tapi justru hal itu membuat perban yang Naya pasang semalam ikutan basah.

"Aku sudah bilang, jangan sampai basah," ucap Naya. Jeno menaikkan sebelah alisnya. Naya menunjuk luka di dahi Jeno sambil merengut.

"Tunggu sebentar," ucap Naya. Gadis itu pergi ke ruang tengah. Ia kembali dengan peralatan seperti semalam yang baru ia ambil dari kotak obat.

"Hadap sini," ucap Naya menyuruh Jeno duduk menyamping menghadapnya. Jeno menurut.

Naya menyibakkan rambut Jeno ke atas dengan tangannya. Ia membuka perban yang basah dengan hati-hati. Gadis itu mengomel lirih. Memarahi Jeno karena lukanya bisa saja terinfeksi dan meninggalkan jaringan parut.

Semalam Jeno ingat kalau Naya melakukan hal yang sama padanya seperti ini. Namun cowok itu tidak ingat kalau sentuhan tangan Naya di kepalanya bisa membuat jantungnya berdebar kencang. Jeno tersenyum kecil mendengar omelan Naya yang masih terdengar telinga ketika tangan kecilnya mengoleskan salep diatas lukanya.

"Belum selesai ngomelnya?" tanya Jeno.

Naya terdiam. Ia lupa kalau orang yang ada di hadapannya ini adalah Jeno. Cowok itu juga sedang tidak mabuk. Bisa-bisa Naya langsung ditendang menjauh.

"Nih, tempel sendiri," ucap Naya sambil meletakkan plester lebar di samping Jeno.

"Gue nggak bisa lihat. Pasang," ucap Jeno memerintah.

Naya mendengus kesal. Ia akhirnya menuruti perintah itu. Setelah selesai mengurus luka Jeno, Naya kembali merapikan peralatan ke dalam kotak obat.

"Jangan sampai basah lagi," ucap Naya memberi peringatan.

"Memang kenapa, kalau basah?" tanya Jeno bengal. Naya melotot. Ia sudah mengomeli Jeno panjang-lebar tapi sepertinya cowok itu tidak mengindahkan ucapannya. Kesal, Naya lebih memilih kembali ke dapur dan melanjutkan kegiatannya.

"Kalau basah kan ada lo. Tinggal pasang yang baru," ucap Jeno seenak jidat.

"Memang aku dokter pribadi Kak Jeno?" balas Naya tak terima.

"Iya."

Jawaban Jeno membuat tangan Naya tertahan di udara. Gadis itu mematikan kompor dan menengok ke belakang. Matanya terbuka lebar ketika melihat Jeno tertawa kecil.

"Kak Jeno ketawa?" tanya Naya takjub. "Bisa ketawa juga, Kak?"

Jeno berdeham. Ia kembali memasang wajah datar. Cowok itu pura-pura tidak mendengar pertanyaan Naya dan mencicipi telur di hadapannya.

Naya berjalan ke meja makan. Ia meletakkan dua piring berisi nasi putih hangat ke atas meja. Cewek itu kembali ke dapur dan membawa dua mangkuk berisi sup ayam, masing-masing untuk Jeno dan dirinya sendiri.

Naya menarik kursi di hadapan Jeno. Gadis itu belum melepas celemeknya dan langsung duduk. Ia mengedikkan dagu ke arah piring.

"Dimakan ya, Kak. Biar perutnya agak enakan. Kalau kurang nanti aku ambilin lagi," ucap Naya. Jeno mengangguk.

Belum lima menit Naya dan Jeno makan, bel rumah berbunyi. Sudah pasti tamu. Naya mengelap tangannya dengan tisu sebelum bangkit berdiri dan jalan menuju pintu depan.

Tak lama kemudian gadis itu kembali. Hendery melangkah mengikuti di belakangnya. Cowok itu menyapa Jeno yang masih makan dengan senyuman lebarnya.

"Nih, gue balikin motor lo," ucap Hendery sambil melempar kunci motor pada sang empunya.

"Wih, lagi makan siang, nih?" tanya Hendery sambil melihat ke arah makanan Jeno dan Naya yang belum habis.

"Kak Dery juga mau makan?" tawar Naya.

"Nggak usah," ucap Jeno.

"Mau, mau," jawab Hendery cepat dan antusias. Cowok itu bahkan sudah menarik kursi dan duduk di sebelah Jeno.

"Enak banget lo. Tiap hari dimasakin begini," bisik Hendery. Jeno hanya diam tidak membalas.

Naya kembali dengan semangkuk sup ayam dan nasi hangat. Ia meletakkannya di depan Hendery.

"Sebentar, lupa sendok sama garpunya," ucap Naya sambil kembali berdiri dan akan berlalu ke dapur.

"Duduk," perintah Jeno. Nada bicaranya kembali tegas. Cowok itu menoleh pada teman di sebelahnya. "Ambil sendiri. Di laci, sebelah kompor."

Akhirnya Hendery berdiri. Ia membuka-buka laci mencari tempat penyimpanan sendok. Naya duduk lagi di hadapan Jeno. Gadis itu kembali mengerut ketakutan mendengar bentakan Jeno tadi.

"Maaf," lirih Jeno. Matanya melembut melihat ke arah Naya. "Ayo lanjut makan."

Ketiga orang itu makan siang bersama. Naya kebanyakan diam, pada dasarnya gadis itu memang tidak terlalu banyak bicara, apalagi dihadapan orang yang baru ia kenal. Ia hanya mendengarkan obrolan yang mengalir antara Jeno dan Hendery.

Naya telah selesai makan. Sebenarnya, ia bukan menjadi orang yang pertama kali beres. Jeno dan Hendery sudah lebih dulu selesai, namun keduanya malah asyik mengobrol di ruang makan. Padahal Naya berdoa semoga kedua orang itu pindah tempat mengobrol entah kemana, asal jangan di dekatnya.

Gadis itu berdiri dan mulai merapikan piring-piring kotor dari atas meja. Tangannya dihentikan oleh Jeno. Keduanya saling tatap.

"Biar gue yang beresin," ucap Jeno. "Lo ke kamar aja."

Naya mengangguk. Ia baru dapat kembali bergerak ketika tangan Jeno melepaskannya. Gadis itu melepaskan celemek dan menggantungnya di dapur. Ia mengucapkan salam pada Hendery sebelum naik ke kamarnya di atas.

Sepeninggal Naya, Hendery tak dapat membendung rasa penasarannya lagi. Ia mulai memberondong Jeno dengan pertanyaan.

"Dia bukan pacar lo ternyata?" tanya Hendery dengan suara pelan. Jeno menggeleng. "Kemarin dia bilang, dia yang punya rumah ini. Bukannya Kak...."

"Naya adiknya Mark," jawab Jeno langsung.

Hendery manggut-manggut. "Pantes aja mirip," ucapnya. "Lo sama dia nggak ada hubungan lebih?"

Jeno mengerutkan dahi. Ia menggeleng.

"Hati-hati. Kalau Vina tahu lo serumah sama cewek, bisa ngamuk tuh nyonya besar. Mending kalau ngamuk, kalau nyerang Naya gimana?"

Jeno terdiam. Ia menghembuskan napas panjang. "Nggak bakal tahu dia. Tenang aja."

"Oh iya, Der," sambung Jeno. Ia mengangkat rambutnya ke atas, memperlihatkan luka di dahinya. Ia juga menunjuk luka di sudut bibirnya. "Ini gue kenapa sih?"

"Lo lupa?" Jeno mengangguk.

"Lo berantem sama orang di bar. Tuh bibir kena pukul. Kepala lo kena pinggiran meja kayaknya. Gue juga nggak tahu kalau lo dapat luka di kepala," ucap Hendery ringan. "Siapa yang ngobatin?"

"Naya," jawab Jeno.

Hendery melotot. Ia tertawa tanpa suara. Jeno sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya itu.

"Luka kecil begini mah, sama lo biasanya nggak diobatin," ucap Hendery setelah puas tertawa. "Lembek banget lo. Alasan ya? Biar diperhatiin Naya?"

Jeno meninju pelan bahu Hendery. Cowok itu bangkit berdiri membereskan peralatan makan di atas meja. Ia membawanya ke bak cuci piring.

"Main rumah-rumahan enak nggak, Jen? Sekarang lo lagi tugas jadi bapak rumah tangga gitu ceritanya," ledek Hendery.

Jeno melempar lap kotor. Tepat sasaran, jatuh di atas muka Hendery. Cowok itu mengumpat dan menyingkirkan lap dari wajahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top