2. Mencari Solusi

Yuk, di-vote dulu, jangan lupa komen ya 🥰💚

"Jadi, gitu...," ucap Mark mengakhiri penjelasannya pada Rendra dan Hechan. Keduanya hanya bertukar pandang tak bersuara.

Setelah insiden Naya ngamuk, Mark menarik paksa Hechan untuk membenahi kekacauan yang ada. Yah, secara keseluruhan, hampir 70% keadaan ini akibat ulah Hechan sih. Mark justru merasa rugi karena harus ikut turun tangan. Namun kalau tidak begitu, kapan semuanya bisa beres?

Motor Rendra masuk saat Hechan sedang membereskan alas kaki yang terserak di teras. Cowok berpipi gembul itu mengoceh tak jelas mencari pasangan sandal swallow miliknya yang hilang entah kemana. Padahal Hechan baru ganti yang baru, yang sebelumnya hilang di masjid waktu lagi salat Jumat.

"Ngapain lu?" tanya Rendra sambil melepas helmnya.

Hechan menoleh. Wajah buluk belum mandinya makin bertambah jelek karena raut muka dilipat-lipat.

"Lo lihat sendiri kan, gue lagi ngapain?!"

Untung saja Rendra masih punya akal sehat untuk tidak menendang pantat Hechan hingga temannya itu jatuh nyusruk ke tanaman hias di sudut teras. Rendra hanya geleng-geleng kepala sambil mengelus dada dan melanjutkan langkah menuju dalam rumah.

Hal aneh yang ia temui berikutnya adalah Mark sedang membersihkan area ruang tengah yang sudah seperti sarang penyamun. Sepertinya selama setahun memang tidak pernah benar-benar dibersihkan. Rendra bergidik ngeri melihat tumpukan puntung rokok di dalam pengki.

"Tumben beres-beres, Kak," sapa Rendra, ia berjalan menuju garasi dan meletakkan helmnya di sana, tak lama pria itu sudah kembali ke ruang tengah. "Menyambut bulan Ramadhan?"

Melihat Rendra telah kembali, Mark akhirnya memanggil Hechan untuk masuk dan berkumpul di ruang tengah. Mereka duduk bersama. Hechan yang sudah bisa menebak hal yang akan dibahas Mark, melenguh kesal tanpa kentara. Akhirnya cerita itu keluar dan kini tiga cowok tersebut sedang bingung mencari solusi.

"Anaknya dimana sekarang?" tanya Rendra merujuk pada Naya.

"Ngambek. Di kamar gue," jawab Mark.

"Gini nih, masalahnya, Jevin sama Jeno belum balik ke Jogja," ucap Hechan mengembalikan topik pembicaraan. "Kamar mereka kan harusnya jadi kamar Naya, tuh. Memang ada yang berani ngobrak-ngabrik barang Jeno? Gue sih ogah."

"Yang berani, paling Jevin, tapi pawangnya aja gak jelas bakal balik kapan," sambung Rendra.

Mark memutar otak. Matanya bergerak bergantian dari Hechan ke Rendra ke Hechan lagi. Hechan yang melihat itu langsung siaga penuh. Jangan sampai dirinya yang terusir.

"Eits, bentar dulu Mark," sela Hechan cepat. "Lo lihat sendiri tuh kamar gue di depan kayak gimana. Naya juga pasti nggak akan mau pindah kesitu karena bau badan gue udah nempel nggak ilang-ilang."

Pandangan mata Rendra bertemu dengan milik Mark. Ia langsung menggeleng kuat. Rendra menunjukkan sikap defensif.

"Gue bayar uang sewa sendiri untuk kamar yang besar dari tahun lalu. Gue nggak mau pindah."

Mark menghembuskan napas jengah. Kalau muter-muter kayak gini terus, kapan selesai? Bukan dapat solusi, Mark justru makin pusing mendengar semuanya.

"Tunggu bentar," ucap Hechan. Rendra dan Mark diam menyimak. "Adek lo kan berarti jadi satu-satunya cewek di sini, nih," Mark mengangguk menanggapi. "Lebih aman kalau tinggal di lantai dua aja, kan? Lagian dia pasti risih ketemu cowok-cowok yang nggak dia kenal. Solusi paling tepat sih, kamar di lantai dua buat Naya sama Mark aja."

"Gue gimana?" tanya Rendra tak terima.

"Udahlah, pakai kamar Jeno Jevin aja. Kamar gede kan itu. Lagian penghuninya juga nggak ada," usul Hechan santai. Selama tempatnya sendiri tidak diusik, Hechan sih tetap santuy. "Sebagai bentuk kompensasi, Mark siapin dua kamar di belakang buat Jeno Jevin. Nah, uang mereka yang harusnya buat sekamar, malah bisa dipake untuk dua kamar."

"Rugi dong gue?"

"Rezeki nggak akan kemana," ucap Hechan sok bijak sambil menepuk bahu Mark.

"Jadi, gimana? Solusi gue yang paling bener nih," sambung Hechan.

"Ya, paling gitu sih," sahut Rendra, ia menoleh pada Mark. "Gimana, Kak? Berani keluarin barang-barang Jeno Jevin?"

"Jevin sih bakal ngerti. Nah, Jeno?" tanya Mark masih keberatan.

"Plin-plan lo, ah," rutuk Hechan. "Gue deh yang keluarin barang-barang Jeno. Paling parah tuh anak cuma ngambek nggak mau bayar sewa sebulan."

"Gue lagi yang kena, dong?"

"Ya resiko. Salah lo juga kan dari awal?"

Rendra segera menengahi. Diskusi sama Hechan kalau terlalu lama malah bikin penyakit darah tinggi. Lihat saja tangan Mark yang sudah terkepal siap meninju Hechan.

"Nanti gue bantu ngomong ke Jeno, Kak," potong Rendra. "Sekarang mending kita beres-beres dulu. Gue juga masih harus packing barang di atas kan berarti?"

"Lo setuju?" tanya Mark.

Rendra mengangguk. "Ide Hechan memang yang paling bisa kita lakukan untuk saat ini. Nanti barang Jeno Jevin taruh dulu aja di salah satu kamar. Bersihin kamar belakang besok aja."

Mark diam sebentar. Ia kemudian mengangguk dan ikut berdiri. Tangannya kembali mengambil sapu dan pengki.

"Chan, belanja air minum sama beli pewangi ruangan, gih," suruh Mark.

"Kok gue? Males, bentar lagi hujan," tolak Hechan enggan berdiri.

"Pake mobil gue tuh," ucap Mark sambil mengedikkan dagu ke arah meja dimana kunci mobilnya tergeletak. "Sekalian beli makan malam."

"Gue kan tadi disuruh bersih-bersih?"

Memang, ngomong sama Hechan itu butuh kesabaran ekstra. Nggak bisa dibilangin sekali-dua kali. Mulutnya itu lho, selalu ngoceh.

"Lo beresin sepatu di teras setengah jam aja nggak selesai-selesai. Buru gih pergi, keburu hujan beneran nanti," omel Mark.

Hechan akhirnya bangkit dengan malas-malasan. Ia mengajukan telapak tangan kanannya ke Mark. Tanda minta uang.

"Pakai uang lo dulu."

"Nggak ada uang."

"Lo yang udah habisin persediaan minum gue, ganti rugi...."

Rendra buru-buru mengambil dompet dari saku belakang celananya dan mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah. Ia meletakkannya di atas tangan Hechan yang masih terbuka.

"Mana cukup?" protes Hechan.

Rendra hanya perlu melotot untuk membuat Hechan terdiam. Takut kena semprot, Hechan langsung melipir pergi. Rendra kalau marah serem soalnya.

"Gue pergi ya," pamit Hechan sambil menyambar kunci mobil dari atas meja di dekat pintu.

Sepeninggal Hechan, Mark kembali bergerak membersihkan ruang tengah. Rendra meraih ransel dari kaki kursi dan berjalan menaiki tangga. Sebelumnya ia sudah pamit pada Mark.

Pria itu membuka pintu kamarnya. Ia langsung berjalan menghampiri meja belajar dan meletakkan ransel di atasnya. Matanya asyik meneliti, menghitung hari di atas kalender, sedangkan jemarinya bergerak cepat melepaskan satu per satu kancing kemeja yang ia kenakan.

"PPSMB kurang dari dua minggu lagi ternyata," gumamnya lirih.

"Aaahhh!!!"

Rendra dengan cepat menoleh. Mata sipitnya membuka lebar. Buru-buru ia menyambar kemeja yang tadi telah ia tanggalkan untuk menutupi tubuh atasnya yang polos.

"Kamu siapa?!"

Rendra tergagap. Harusnya dia yang menanyakan hal itu. Bagaimana bisa ada orang asing masuk ke dalam kamarnya?

Gadis itu dengan terburu-buru melompat dari kasur dan berjalan menuju pintu. Ia masih menutupi kedua matanya dengan sebelah tangan. Begitu keluar dari kamar, terdengar langkah berderap menuruni tangga dengan cepat.

"Kakak! Ada orang cabul di kamar!"

Detik itu juga Rendra sadar. Gadis tadi adalah adik Mark. Subjek yang sempat menjadi bahan diskusi. Naya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top