17. Ponselku, mana?!

"Sudah selesai mainnya?" tanya Mark begitu Naya dan Jeno masuk rumah.

"Gue udah izin, Bang. Nggak tiba-tiba ngajak adek lo pergi," bela Jeno.

Naya hanya diam. Mark sebenarnya marah pada Naya yang pulang malam, walaupun jam di dinding baru menunjukkan pukul 18.45. Namun malah Jeno yang menjawab pertanyaan itu.

"Gue teleponin, kirim pesan, nggak ada yang lo jawab. Gimana gue nggak khawatir?" desak Mark pada Jeno.

"Sorry, Bang. Nggak lihat hape," jawabnya santai.

Mark kini beralih pada sang adik. "Kamu juga. Kakak telepon puluhan kali, nggak diangkat. Kan sudah Kakak kasih tahu, jangan di-silent. Paling nggak, mode getar."

"Kakak telepon? Kok aku nggak kerasa apa-apa?" Naya justru balik bertanya. Ia mengubek-ubek isi tasnya, mencari ponsel.

Wajah Naya memucat. Matanya bergetar. Ia melihat ke arah Mark dan Jeno dengan raut wajah kebingungan.

"Nggak ada," cicitnya. Ia menatap ke arah Jeno. "Kayaknya ketinggalan."

"Coba ditelepon dulu, Naya," ucap Jevin yang dari tadi hanya melihat pertengkaran Jeno-Mark-Naya.

Mark mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia menekan tombol dial pada nomor adiknya. Tersambung, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan ponsel Naya di dalam tas. Bahkan, gadis itu sudah mengeluarkan semua isi tasnya ke atas sofa. Ia juga mencari ke saku-saku pakaian yang sedang ia kenakan.

"Nggak ada, Kak," ucap Naya melihat ke arah Mark. Suaranya sudah seperti akan menangis.

"Bentar," ucap Jeno. Ia fokus menatap ke layar ponselnya. "Kata Hendery hape lo ketinggalan di Indomaret. Sekarang lagi dia simpenin."

Jeno menatap ke arah Mark. "Gue ambilin dulu, Bang." Tanpa banyak bicara, Jeno balik badan untuk pergi lagi.

Sepeninggal Jeno, Mark menghampiri sang adik yang masih terlihat syok. Ia bantu merapikan barang-barang yang tercecer kembali masuk ke dalam tasnya. Naya terduduk. Walaupun mukanya masih kusut, setidaknya ia sudah tidak terlalu takut lagi.

"Kok bisa ketinggalan sih, Nay?" tanya Mark dengan nada lembut. Rasa kesal karena Naya pulang larut tanpa kabar menguap begitu saja saat melihat kekalutan adiknya itu. "Tumben banget kamu ceroboh."

Naya merengut. Dia mau bilang kalau itu semua karena Jeno yang bergerak terlalu cepat hingga Naya jadi terburu-buru, namun ia urungkan. Bagaimana pun juga itu salah Naya. Dia kurang berhati-hati.

Mark menghela napas panjang. "Gimana motornya? Aman?"

Naya mengangguk. "Waktu perjalanan pulang tadi mampir isi bensin, kok."

Mark dan Naya kembali diam. Jevin yang sedang makan di ruang tengah jadi merasa tidak enak. Entah mengapa ia merasa sedang terlibat di tengah masalah adik dan kakak. Apalagi setahu dia, Mark dan Naya belum berbaikan sejak insiden cemburu kemarin malam itu.

"Besok mau Kakak antar kuliahnya?" tanya Mark. "Kakak kelas mulai siang."

Naya menggeleng. "Aku berangkat sendiri aja, Kak. Udah ada motor, kok." Mark mengangguk.

"Besok Kakak mau Naya bikinin sarapan?" tanya Naya. Ia akhirnya mulai membuka suara terlebih dahulu. Itu berarti hubungan kakak beradik itu kembali normal.

"Smoothie aja kayak biasanya. Ikut kamu," jawab Mark. Dahinya kemudian berkerut, seperti sedang teringat sesuatu. "Oh ya, lusa kemarin, katanya kamu udah bikinin Kakak smoothie sekalian waktu malam. Kok paginya Kakak lihat gak ada ya di kulkas?"

"Kapan, Kak?" tanya Naya bingung.

"Katanya kamu masuk jam tujuh, jadi bikinnya malam biar paginya langsung di bawa ke kampus," jelas Mark lagi. "Kamu lho yang nawarin Kakak duluan."

"Oh, gue inget tuh," tiba-tiba Jevin ikut bicara. Cowok itu saling tatap dengan Naya yang masih tampak clueless. "Gue lagi bikin mie instan, terus lo dateng bikin minuman, diblender gitu. Gue bantu ambil botol kaca, yang tutupnya pink sama kuning."

Naya teringat. Kejadian malam itu sungguh memalukan baginya. Akibat perbuatan Jevin, Naya jadi tidak bisa tidur dengan nyenyak.

"Oh, jadinya, aku bawa dua botol ke kampus, Kak," jawab Naya sambil terkekeh pada Mark, semoga saja kakaknya tidak marah.

Pintu kamar Rendra terbuka. Cowok itu tampak seperti baru bangun tidur. Rambutnya acak-acakan, mulutnya menguap lebar. Dengan mata terpejam, cowok itu berjalan melewati ruang tengah langsung menuju dapur.

Naya melihatnya. Ia berpikir, apakah sebaiknya dia menjawab jujur kalau smoothie bagian Mark malah ia berikan untuk Rendra? Namun Naya menolak. Ia ingat wajah kesal Mark saat cemburu dengan Hechan kemarin. Lebih baik ia simpan sendiri.

"Oh," jawab Mark. "Untuk makan siang juga?" Naya hanya terkekeh menanggapi.

"Yuhuu," suara Hechan terdengar. Ucapan salam cowok itu tiap pulang ke rumah memang salam ala Tarzan. Nggak pernah bener.

"Eh, Neng Naya," sapa Hechan melihat Naya. "Udah baikan sama kakaknya?"

"Gue usir lo dari rumah, baru tahu rasa," ancam Mark.

"Idih, serem. Ancamannya main usir. Gue kan udah bayar," ucap Hechan menanggapi.

Melihat kedatangan Hechan, Naya jadi teringat sesuatu. Gadis itu membenahi duduknya hingga menatap lurus ke arah Mark.

"Kak," panggil Naya dengan nada serius.

"Hm?" sahut Mark. Ia sibuk mengunyah timun yang baru saja ia ambil dari piring makan Jevin.

"Kakak rokok ya?"

Mulut Mark berhenti mengunyah. Hechan dan Jevin diam saling pandang. Rendra yang baru bergabung dengan segelas air minum di tangannya, menatap satu per satu dengan bingung.

"Hah? Nggak, kok," kilah Mark sambil tertawa kecil.

Naya memicingkan matanya. Namun Mark mengalihkan pandangan, tak berani menatap mata sang adik. Naya ganti melihat ke arah Hechan. Cowok itu mengirim sinyal, memohon agar identitasnya sebagai spy dirahasiakan.

"Oh, gitu," ucap Naya merespon. "Aku mau tambah satu peraturan, Kak. Dilarang merokok di dalam ruangan. Kalau ada yang melanggar, denda lima ratus ribu. Bayar ke aku."

Mark tertawa kecil. "Iya, Nay. Tulis aja. Kakak setuju, kok."

"Mark," sela Hechan. Ia berusaha mengirim sinyal melalui tatapan mata pada sang pemilik rumah.

Mark mengangkat kedua alis. Cowok itu harus melindungi dirinya dari tuduhan merokok. Kalau tidak mengikuti kemauan sang adik, bisa-bisa Naya langsung menggeledah isi tas dan kamarnya untuk menemukan barang bukti. Kemudian Naya akan melapor pada orangtua, dan berakhir dengan dipotongnya uang saku Mark.

"Okay, deh," jawab Naya tersenyum senang. "Besok aku print peraturan baru, terus aku tempel di papan belakang."

"Aku ke atas dulu ya," pamit Naya sambil menggendong tasnya.

Setelah mendengar bunyi pintu tertutup, Hechan langsung menendang pelan kaki Mark yang duduk di seberangnya. Mark mengacak rambut. Jevin mengerang pelan. Rendra sih santai saja, toh dia jadi ikut diuntungkan dengan peraturan tersebut.

--

Tok, tok, tok.

"Siapa?" tanya Naya. Belajar dari pengalaman tempo hari ketika yang mengetuk pintu kamarnya adalah Rendra, Naya kini jadi lebih berhati-hati.

"Jeno."

Naya berdiri dan buru-buru membuka pintu kamarnya. Dia sudah menanti kehadiran cowok itu. Bukan apa-apa, pasalnya ponsel Naya ada padanya. Hidup tanpa ponsel di era milenium seperti saat ini sungguh menyiksa.

"Nih," ucap Jeno sambil menyodorkan ponsel milik Naya dan satu kotak biskuit fitbar isi lima.

"Ini apaan?" tanya Naya. Tangannya refleks menerima semua pemberian Jeno.

"Lo tadi belum makan cukup." Jeno mengedikkan dagunya pada kotak biskuit di tangan Naya. "Gue cari tahu, itu termasuk biskuit yang bagus untuk dimakan sama orang yang lagi diet."

"Diet?" seru Naya. Gadis itu memang menjaga pola makannya, namun ia tidak menyangka seorang Jeno dapat mengetahuinya.

Jeno mengangguk. "Sudah ya. Gue balik ke kamar."

"Kak Jeno," panggil Naya, sebelum cowok itu turun ke lantai satu. Naya menunjukkan senyuman manisnya. "Makasih ya."

Jeno lagi-lagi mengangguk. Tanpa banyak bicara, cowok itu melanjutkan langkah. Senyum miringnya mengembang ketika ia yakin sudah tidak dapat terlihat Naya.

"Bodoh," lirihnya, entah pada siapa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top