12. Kak J&J

Rumah induk sudah sepi ketika Jeno membuka mata. Tadi dia sempat merasakan Jevin mengguncang bahunya mencoba membangunkan. Namun karena masih mengantuk, Jeno mengusir sepupunya itu dengan tendangan. Seperti sudah bisa ditebak, kalau Jevin saja gagal, tidak akan ada yang berani mengusik Jeno.

Jeno mengambil gelas dan mengisinya dengan air. Ia membasahi kerongkongannya. Cowok itu memang harus minum satu gelas air terlebih dahulu untuk memulai hari.

"Eh, baru bangun lo?" sapa Mark. Cowok itu sudah berdandan rapi, turun dari lantai atas sembari memakai jam tangan.

Jeno mengangguk. "Kuliah, Bang?"

Mark mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Jeno. "Ya iyalah. Anak lainnya juga udah pada berangkat dari tadi. Lo doang yang baru bangun."

"Berangkat siang aja gue," kilah Jeno seenak jidat.

Mark geleng-geleng kepala. Ia menepuk bahu Jeno dan berjalan melewatinya. "Gue berangkat dulu ya, kalau gitu. Jangan lupa kunci pintu."

Jeno melihat punggung Mark hingga menghilang di balik pintu. Cowok itu mengacak rambutnya. Dia masih mengantuk, namun tidak mungkin untuk tidur lagi.

Semalam, Jeno tidak bisa tidur di kamar barunya. Belum terbiasa. Walaupun sudah berguling-guling satu jam lamanya di atas kasur, mata cowok itu tidak mau terpejam juga. Ia akhirnya menyerah. Jeno pergi ke rumah induk yang sudah gelap dan membaringkan tubuhnya di sofa ruang tengah.

Baru saja akan masuk ke alam mimpi, Jeno mendengar suara sayup-sayup orang mengobrol dari dapur. Suaranya tidak terlalu keras, namun suasana malam yang tenang membuat Jeno bisa mendengar lebih jelas.

Cowok itu tidak serta merta bangkit duduk. Ia memilih tetap berbaring di dalam kegelapan sambil menajamkan indra pendengaran. Jeno menguping.

Setelah beberapa lama, ia tahu, orang yang sedang bercakap-cakap adalah Rendra dan Naya. Jeno sebenarnya tidak terlalu penasaran dengan apa yang keduanya bicarakan, tidak terlalu penting juga bagi dirinya. Ia sudah kembali akan tidur ketika mendengar Naya meminta maaf. Okay, sampai sini, Jeno jadi kepo.

Pembicaraan keduanya tidak terlalu jelas terdengar. Namun Jeno dapat menangkap bahwa kedua orang itu pernah bertengkar dan sekarang sedang saling berdamai. Cowok itu heran, hanya dalam waktu dua minggu, bagaimana Rendra bisa sedekat itu dengan Naya? Sampai berantem segala. Rendra yang ia kenal adalah tipe orang pendiam yang suka menghindari keributan.

Teringat dengan isi percakapan Rendra-Naya semalam, Jeno jadi teringat sesuatu. Cowok itu membuka laci dapur satu persatu. Mencari benda yang ia sendiri tidak tahu wujudnya, yang menjadi bahan obrolan semalam. Tidak perlu waktu lama, Jeno menemukannya. Tangannya mengambil botol berisi multivitamin tablet dari dalam laci.

"Naya, Rendra".

Sebelah sudut bibir Jeno terangkat. Kemarin ia melihat tulisan tangan Hechan di pintu kamar Naya. Kini benda di tangannya juga menjadi barang bukti yang tak terelakkan. Entah bagaimana, Rendra dan Hechan bisa menjadi sangat dekat dengan Naya dalam waktu singkat.

"Naya," gumam Jeno menyebut nama itu. "Gue jadi penasaran."

--

Naya sedang menghabiskan sore harinya dengan berkebun. Gadis itu menggunting daun-daun yang menguning tanaman hias di halaman depan. Hatinya sedikit miris. Dulu sang nenek yang amat rajin merawat tanaman-tanaman ini untuk mengisi hari tuanya, setelah nenek tidak ada, jadi tidak ada yang mengurus.

Terdengar suara pintu pagar terbuka. Naya menoleh. Ia melihat Hechan dan Jevin pulang bersama. Padahal keduanya beda fakultas, pikir Naya tak mengerti.

"Halo, Neng," sapa Hechan setelah memarkirkan motornya dengan benar. Ia mendekati Naya sambil melepas helm. "Sendirian aja?"

Naya mengangguk. "Belum pada pulang," jawabnya singkat.

"Ya udah, cuma mau tanya aja kok. Nggak ada maksud mau nemenin," ucap Hechan lagi. Dia buru-buru melipir sebelum merasakan pukulan panas Naya.

Gadis itu hanya menghembuskan napas panjang. Bisa-bisa urat sabarnya putus kalau terlalu lama tinggal bersama Hechan.

Berbeda dengan Hechan, Jevin menghampiri Naya dan memilih duduk melantai di teras. Tak peduli celananya akan kotor. Naya meliriknya sekilas, tidak berminat menyapa. Namun setelah sekian lama waktu berjalan, gadis itu jadi jengah sendiri karena Jevin cuma liatin dia tanpa bicara sedikit pun.

"Kenapa, Kak?" akhirnya Naya tak kuat juga untuk membuka percakapan. Mau langsung ngusir, tapi kayaknya kok tega bener sama orang yang baru ketemu kira-kira dalam kurun waktu 24 jam.

"Suka berkebun, ya?" Alih-alih pergi, Jevin kayaknya malah tambah nyaman duduk disitu.

Naya hanya mengangguk. Ia kembali melanjutkan kegiatannya. Berharap dengan terus menunjukkan sikap dingin dan cuek, bikin Jevin nggak betah dan milih masuk ke rumah. Sejak lihat Jevin datang ke rumah, sebenernya Naya sudah tidak suka. Apalagi dia tahu kalau dirinya pernah dikatai culun dihadapan kakaknya sendiri.

Namun perkiraannya salah. Kini Jevin entah bagaimana malah lagi sibuk coba-coba fotoin tanaman hias setengah layu itu pakai aplikasi plant identification. Jevin seneng banget waktu tahu nama tanamannya, plus lama latinnya.

Naya sebenarnya penasaran. Soalnya cowok itu ribut sendiri. Jevin menggerakkan tangannya, menyuruh Naya mendekat. Cewek itu kalah, ia duduk di samping Jevin sambil ikut lihat ke arah layar ponselnya.

"Laceleaf, jenis anturium," baca Jevin sambil menunjuk tulisan itu dengan jari telunjuk. "Nih, dibawahnya bahkan ada informasi tentang kegunaan tanaman, asal muasalnya, cara perawatan. Keren nggak, tuh?"

"Kok bisa gini?" tanya Naya dengan nada antusias. Cewek itu seketika tersadar. Dirinya masuk dalam jebakan Jevin. Buru-buru Naya kembali mengambil gunting tanaman, kini ia berjongkok di depan pot lain.

Jevin tersenyum tipis. "Keadaan rumah jadi benar-benar beda waktu gue balik. Lo memang hobi beres-beres, ya?"

"Iya," jawab Naya. "Maaf kalau bikin terganggu."

"Nggak kok. Memang lo pikir selama satu tahun ini rumah lo masih layak dihuni berkat siapa?" Naya terlihat tertarik. Tangan gadis itu berhenti bekerja. Naya menelengkan kepalanya tanda bertanya. "Di antara kita berlima, yang suka bersihin rumah tuh gue. Rendra juga rapi sih, tapi dia cenderung cuma suka bersihin kamarnya aja. Jeno sibuk kelayapan di luar. Abang suka kegiatan di kampus. Hechan jangan ditanya, dia mah dedemit."

Naya hampir saja tertawa mendengar makian Jevin. Namun gadis itu berhasil mempertahankan raut wajahnya. Gengsi.

"Jadi kehadiran lu disini, sangat membantu gue."

Tunggu, tunggu. Kok ini berasa Naya yang jadi pendatang baru? Iya sih, dia baru bergabung, tapi dia kan tuan rumahnya.

"Iya. Sama-sama," ucap Naya bingung harus membalas apa.

Jevin tertawa. Bahagia banget keliatannya. Naya sampai takut.

"Kalau butuh bantuan atau pun, bilang aja sama gue. Lo pinter banget ngurus rumah deh. Mulai dari bersih-bersih, masak, berkebun, sampai pilih-pilih dekorasi. Rumah adem jadinya," lanjut Jevin.

"Kapan-kapan kita masak bareng ya," ajak Jevin. Naya hanya mengangguk menanggapi.

Jevin berdiri. Ia menepuk-nepuk celananya sebentar. Jevin memasukkan ponselnya ke kantung celana. Sepertinya cowok itu akan pergi.

Naya yang melihat hal itu jadi lega. Jujur saja, sikap Jevin tuh bisa berubah 180 derajat. Kalau lagi ada Hechan, berisik terus yang ada. Namun kalau hanya berdua seperti ini dengan Naya, Jevin terlihat benar-benar mengayomi. Contohnya kayak tadi, berhasil menarik Naya masuk dalam jebakannya.

Hechan dan Jevin memang pandai bersosialisasi. Gampang dekat dengan orang baru. Caranya aja yang beda.

Jevin bergerak mendekati Naya yang masih berjongkok. Tangannya bergerak ke arah gadis itu, otomatis Naya bergerak mundur. Jevin hanya mendengus geli, dengan cepat dia mengambil daun kering dari rambut Naya.

"Gue cuma mau ambil ini, nih," ucapnya.

Naya yang malu hanya bisa tergagap. "Oh.. itu.. ya makasih," ucapnya.

Jevin tersenyum melihat reaksi polos gadis di hadapannya. Tangannya kali ini bergerak cepat. Ia mencubit ujung hidung Naya dengan gemas. Tawanya pecah. Ia mengusap puncak kepala Naya sebelum berbalik masuk ke dalam rumah.

Naya tercengang. Ia tidak pernah mendapat perlakuan seperti tadi dari cowok manapun. Yah, Mark kadang melakukannya sih, tapi itu kan beda. Kakaknya itu bahkan hanya akan melakukan pelukan singkat untuk berterimakasih. Cuma itu. Mark memang jarang menunjukkan perhatian dalam bentuk sentuhan fisik.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top