Part 61
Gia kembali mengamati foto pasangan yang baru saja dikirim Disa. Wajah lelaki yang sedang mendorong kereta belanja sangat dikenalnya, mirip sekali dengan orang yang sering memberinya coklat. Air bening sudah menggenangi sudut mata Gia, tapi dia masih berusaha menahannya agar tidak turun. Hatinya berkecamuk, berontak saat melihat Jae bersama gadis selain dirinya.
Tiga puluh menit berlalu setelah jam pelajaran Bahasa Indonesia, tak ada tanda-tanda Yustin masuk kelas. Ketua kelas menuju ruang guru untuk memastikan pelajaran matemarika kosong atau tidak. Saat muncul lagi, ketua kelas membawa sederet soal yang harus dikerjakan. Seisi kelas sontak berubah menjadi gaduh.
Gia kembali mengusap layar ponselnya. Membuka galeri, jempolnya berhenti saat menemukan fotonya berdua sama Jae. Foto mereka saat sedang mengunjungi perpustakaan daerah. Kecintaan pada buku yang selama ini semakin membuat mereka semakin dekat.
"Udah nggak usah disesali," Disa yang sedari tadi memperhatikan Gia dengan wajah iba. "Kalau memang jodoh, dia bakal balik sama kamu."
"Pantas saja dia berubah," suara Gia lirih hampir tidak terdengar karena seisi kelas masih saling bersahutan. Tapi tidak dengan Disa, dia yang setiap hari bersama Gia tahu betul apa yang sedang dirasakan sahabatnya.
"Aku pernah bilang kan, untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan kadang harus bisa melepaskan egomu. Cinta itu tidak hanya menerima tapi justru mampu memberi lebih banyak."
Gia kesulitan untuk menutupi penyesalannya. Disaat dia mulai mencerna ucapan Disa, egonya kembali muncul. Mungkin saja cewek itu saudaranya. Dia harus mendengar sendiri dari mulut Jae. Siang ini waktu yang tepat untuk minta penjelasan dari Jae. Penjelasan apa? Bukankah dia tidak punya komitmen apa-apa sama Jae?
Saat Gia berpikir tentang apa yang akan dilakukannya, saat itu juga dia mematahkannya sendiri. Pikirannya yang terus berkecamuk, terasa sulit sekali mengurai benang yang sudah terlanjur kusut.
"Mungkin nggak ya Jae balik lagi kaya dulu Dis?" tanya Gia mengiba.
"Yaelah, tadi kan aku sudah bilang kalo jodoh ya bakal balik lagi." Ulang Disa.
"Kalo nggak jodoh, nggak balik lagi dong?"
"Gitu masih nanya," Disa tak menoleh sedikit pun ke arah Gia.
"Lagian ngapain sih, cowok kayak gitu masih diharapin?" sebuah suara tiba-tiba muncul dari belakang Gia.
Gia sama Disa menoleh bersamaan ke arah suara, menemukan Dean yang sudah berdiri di belakang Gia. Entah sudah berapa lama dia di sana. Senyumnya penuh kemenangan, dibalas sorot mata tajam dari Gia yang sama sekali tidak mengharapkan kehadiran Dean disaat terburuknya.
"Kamu itu terlalu buruk menilaiku, sampai nggak ada omonganku yang kamu percaya." Dean mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Gia.
"Bukan urusan kamu!" hardik Gia. Justru membuat Dean tertawa.
"Jangan sampai patah hati kamu bikin kacau saat les nanti," ledek Dean.
"Cari saja guru lain! Aku sudah nggak mau les lagi sama kamu." Gia setengah berteriak.
"Kita lihat saja nanti," Dean meninggalkan Gia yang masih penuh amarah.
"Tugas remidiku sudah selesai, urus saja sendiri nilaimu!" Gia yang berteriak agar ucapannya didengar Dean justru membuat seisi kelas membisu. Tatapan penghuni kelas hanya tertuju ke satu arah tempat Gia berada.
"Terus kamu yakin nggak bakal ngulang lagi," ucap Dean setelah membalikkan badan. Senyum ejekan Dean membuat bara yang disembunyikan Gia menjadi semakin berkobar. "Jangan terlalu yakin kalo belum tahu hasilnya, jatuh karena omongan sendiri itu rasanya lebih sakit." Sekali lagi Dean seolah sedang memberikan petunjuk namun Gia tak juga bisa memahaminya.
Kini Dean sudah kembali mendekat, hanya dipisahkan jarak tiga meter dari depan Gia. Gadis itu mengatupkan bibirnya, sementara buliran bening sudah memenuhi kelopak matanya. Dean benar-benar menguji kesabarannya. Sementara Disa hanya menepuk bahu Gia dengan lembut, berusaha meredam amarah Gia.
"Kamu ya!" telunjuk Gia mengarah ke wajah Dean.
"Ikuti saja kesepakatan yang sudah kita buat, nanti kalau sudah waktunya akan kutunjukkan sesuatu padamu." Senyum Dean merekah, menggantikan ekspresi wajahnya yang datar saat salah satu siswa kelas lain mendekat.
"Gia, kamu dipanggil Kepala Sekolah." Gia menemukan sederet huruf dengan lafal Davin pada sepotong kain bordir di dada kanan orang yang memanggilnya.
"Oke, makasih Davin." Gia segera beranjak dari duduknya setelah mengangguk pada Davin. Sekilas sudut matanya melirik ke arah Dean yang masih terpaku. Sepertinya yang diucapkan Dean tadi bukan main-main, batin Gia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top