Part 6

Angka yang tertulis di sana hampir membuatnya pingsan. Dean memang tak pernah peduli dengan nilai-nilainya, terutama Matematika. Dia seolah menutup jalan kerja syarafnya yang berusaha mengingat apapun yang pernah diajarkan tentang angka. Bukan berarti dia siswa bodoh, tidak sama sekali. Ayahnya pemilik perusahaan perakitan mobil yang mustahil memiliki kemampuan berhitung lemah dengan perusahaan sebesar itu. Mamanya lulusan terbaik dari universitas terkenal, tak mungkin gen kecerdasan mamanya tak menurun ke otaknya. Tapi kali ini benar-benar miris, satu semester penuh sama sekali dia tak mendapatkan nilai selain angka keramat.

"Tolonglah, Dean. Jangan biarkan kami terus menumpuk dosa untuk nilai-nilaimu. Saya sudah tidak tahu lagi dengan cara apa agar bisa membuatmu memahami materi. Saya sudah menjelaskannya dengan cara yang paling sederhana."

"Apa hubungannya memupuk dosa ibu sama saya?" Dean masih berusaha berkilah.

Hanya tatapan tajam Yustin yang dia dapatkan. Bukannya tidak tahu, sebenarnya ucapan Yustin berhasil menancap di hati Dean. Tapi bibirnya tak mampu mengucapkan satu kata yang lebih baik sekali pun. Baru kali ini dia tak punya nyali untuk menatap wajah guru di depannya. Bulatan merah di kertas ukuran folio itu benar-benar membuat uratnya tegang. Dahinya mengilat, basah oleh keringat dingin yang tidak mau berhenti menembus pori-pori.

"Jika kamu tidak mau berubah, Ibu minta kamu membuat pernyataan tertulis bahwa kamu memang kesulitan untuk menerima pelajaran Matematika. Kamu tanda tangan di sini," telunjuk Yustin mengarah ke bagian bawah kertas putih di tangannya. Memaksa kepala Dean untuk mendongak, mencari letak dimana dia harus meletakkan tanda tangan.

"Hm..Maaf Bu Yustin, Pak Andre kemana ya? Kubikelnya kosong." Yustin dan Dean menoleh bersamaan ke arah pintu kubikel.

Wajah Dean terasa panas saat mendapati wajah musuhnya di sana. Cemas memenuhi dadanya, berharap gadis itu tidak mendengar apa yang sedang dibicarakan Yustin barusan. Tapi deretan gigi putih itu seolah mengisyaratkan yang sebaliknya.

"Pak Andre baru rapat, Gia. Ada apa? Mungkin bisa saya bantu." Urat wajah Yustin mengendur melihat siswi kesayangannya.

"Saya mau menyerahkan tugas remidi, Bu." Kata Gia sambil mengangkat tangannya yang menggenggam gulungan kertas.

"Kamu remidi?" Yustin tak percaya dengan apa yang telah di dengarnya, kepalanya menggeleng pelan.

Gia hanya mengangguk pelan sambil melirik Dean. Sesekali bola matanya bergerak ke arah cowok gondrong di depannya. Aroma wood kembali memenuhi saluran pernapasannya, tapi kali ini tidak mampu memberikan ketenangan. Kejadian di kelas tadi pasti akan terulang di sini. Dia mulai sibuk memperkirakan kata-kata apa yang akan keluar dari mulut Dean.

"Kamu bisa titipkan ke Ibu tugasnya, kalo kamu mau." Yustin mengulurkan tangan kanannya, menawarkan bantuan untuk memberikan lembaran tugas Gia ke rekan guru yang letak kubikelnya bersebelahan dengannya.

Gia melanggah enggan memasuki kubikel Yustin. Dia bisa merasakan dadanya menyempit saat sudah berada di dalamnya. Tubuhnya gerah meski sedang berada tepat di bawah pendingin ruangan.

"Nggak malu lukisan kaya gitu dikumpulin?" Kepala Gia segera menoleh ke arah sumber suara yang membuat telinganya kembali panas.

"Dean!" Mata Yustin hampir melompat dari cangkangnya. "Jaga sikap kamu!"

Aliran darah Gia berkumpul di kedua pipinya. Kepalan tangannya sudah siap melayang ke arah wajah Dean. Gia menghela napas panjang dengan geligi yang beradu, membuat tulang rahangnya terlihat mengeras. Dia teringat ucapan Yustin yang sempat didengarnya tadi. Setelah menatap Dean, mata Gia berhenti pada lembar ulangan di meja Yustin.

"Coba kulihat, apa hasil ulangan itu bisa tetap membuatmu bangga?" Dean tidak menyangka Gia berani membalasnya di depan Yustin, membuatnya ingin melanjutkan pertengkaran beberapa jam yang lalu.

Gia masih terpaku di dekat ujung meja dengantangan gemetar, sulit sekali menahan keinginannya untuk meremas wajah Dean.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top