Part 57

"Guru privat? Kenapa begitu?" Ningrum mengerutkan dahinya. "Kamu kerja kok nggak bilang Mama?" protes Ningrum.

"Lah ini Gia cerita, Ma." Gia memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Sebenarnya nggak kerja sih Ma." Gia kembali menarik napas dalam, "Nilai matematika Dean selalu jelek, bahkan ulangan kali ini nilainya 0." Mulut Ningrum membulat.

"Sementara nilai lukis Gia selalu remidi, jadi kami saling memberikan les privat. Maafkan Gia, Ma." Tatapan Gia penuh rasa bersalah.

"Hari gini masih ada nilai 0? Guru privat kan banyak, bahkan sekarang via online juga ada." Kedua alis Ningrum bertaut. "Kenapa nggak remidi aja kalo memang nilainya perlu diperbaiki?"

"Udah Ma, tapi ya gitu, nilainya tetep aja segitu." Gia hanya mengangguk sambil membasahi tenggorokannya dengan ludah. "Tapi sekarang Gia sudah nggak tahan lagi dengan ulah Dean. Gia harus gimana ya Ma?"

"Memangnya Dean bikin ulah apa?" tatapan Ningrum menyelidik.

"Hampir setiap hari Dean bikin kesel, Ma. Dia sepertinya juga sudah nggak perduli lagi dengan nilainya," jelasnya.

"Orangtua sendiri gimana?" tanya Ningrum penasaran.

"Jangan salah Ma, orangtua Dean itu selalu berusaha mati-matian agar nilai Dean bagus. Tapi Dean malah semaunya sendiri," jelas Gia.

"Kok gitu? Si Dean itu nggak kasian apa sama orangtuanya?" cecar Ningrum.

Gia kembali mengangguk dengan mantab, "Jangan salah, orangtua Dean itu tajir, Ma. Dean sudah dicarikan guru privat berkali-kali tapi ya gitu hasilnya. Bahkan orangtua Dean mau bayar berapapun gaji guru les Dean tapi nggak ada yang betah," Gia berhenti sejenak. "Setidaknya itu yang Gia tahu dari Bu Yustin. Dean juga ikut remidi berkali-kali. Tapi nggak ada hasilnya juga. Dean itu anaknya semaunya sendiri, padahal sebenarnya dia cerdas." Gia bersemangat sekali menceritakan Dean pada mamanya.

"Kenapa kamu bisa mengambil kesimpulan seperti itu?" Ningrum semakin penasaran dengan cerita anaknya.

"Dean sempat bantuin Gia ngerjain soal, padahal materinya belum dijelasin sama Bu Yustin." Gia mengakhiri ceritanya dengan menelan kembali ludahnya.

"Pasti ada sesuatu yang menyebabkan nilainya menjadi jelek." Diam-diam mengamati perubahan wajah Gia saat menceritakan tentang Dean. Ningrum belum pernah melihat ekspresi yang sama meskipun Gia sedang menceritakan tentang Jae. "Kalau kamu mau berhasil mengajarkan matematika sama Dean, kamu harus mencari penyebabnya."

"Males ah, Dean, anaknya resek." Protes Gia.

"Maksudnya?"

"Dia suka bikin kesel Ma, hampir setiap hari kami berantem." Mulut Gia mengerucut. "Dean selalu ngerjain Gia kalo di sekolah."

"Belajar untuk profesional Gia. Kalau sudah diberikan tugas berarti itu tanggung jawabmu. Selalu ada penyebab jika sesuatu terjadi di luar semestinya." Ningrum berusaha membuat agar Gia tak menyerah.

"Gia mau mengundurkan diri Ma, nggak sanggup. Tadi Jae janji akan membantu untuk menanyakan kerjaan yang sesuai untuk Gia ke ayahnya." Sebenarnya Gia kasihan melihat orangtuanya yang terus berusaha terlihat baik-baik saja di depan ketiga anaknya.

"Terus sekarang gimana dengan nilainya Dean?" Ningrum sudah tidak sabar mendengarkan cerita putrinya. "Nilai lukis kamu?"

"Nilai Dean ya masih sama saja, Ma. Siapa yang nggak kesel sih Ma? Setelah les satu minggu cuma ingat satu rumus geometri." Mulut Ningrum kembali membulat untuk kedua kalinya. "Kalo nilai lukis Gia belum tahu, kemarin sudah ngumpulin tapi belum turun hasilnya dari Pak Andre."

"Itu kan rumus paling gampang," Ningrum teringat kembali rumus-rumus yang selalu di tulisnya dalam notes kecil saat masih sekolah. Kemana pun dia pergi, notes itu tak pernah ditinggalkannya. Gen kecerdasan Gia memang berasal dari mamanya, Ningrum dulu juga selalu unggul dalam pelajaran matematika.

"Nah iya kan, Mama saja masih ingat." Gia menarik keluar kedua sudut bibirnya. "Ada satu kabar gembira lagi nih, Ma." Binar bahagia terpancar dari Mata Gia, sudah tak sabar ingin menceritakannya pada Ningrum.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top