Part 50
Gia menghentikan tawa, sempat menoleh ke kanan dan kiri sebelum menyadari Dean yang telah memanggilnya dari belakang. Gadis itu kembali melipat wajah, sama sekali tak mengharapkan kehadiran Dean. Penyesalan yang terpancar dari wajah Dean tetap membuatnya tak bergeming. Gia berusaha menegakkan badannya, melihat Gia terpuruk hanya akan membuat Dean berada di atas angin.
Langkah Gia terhenti, menunggu apa yang kan dikatakan Dean. Hari yang sudah dilewatinya sangat berat, dia tak sanggup kalo masih harus bertengkar lagi dengan Dean. Mata bulatnya meneliti setiap gerakan Dean. Ada yang berbeda, Dean terlihat sangat kusut. Rambutnya yang menutup ujung telinga semakin berantakan. Tidak seperti yang ditemui satu jam lalu di ruang seni.
Iris mata Gia menemukan amplop putih di tangan kiri Dean. Gia sudah melupakan sesuatu, spontan tangannya mengorek isi tas. Sadar tidak bisa menemukan apa yang dicarinya, tulang lutut Gia seolah terlepas. Matih! Dean pasti akan melakukan sesuatu dengan surat itu. Batin Gia terus membuat kemungkinan buruk yang akan dilakukan Dean terhadapnya.
Hati Gia berdesir saat Dean menatap dirinya dan Jae secara bergantian. Gia yakin, Dean akan berpikir dua kali jika ingin mengintimidasinya sedangkan ada Jae di sana. Meski Gia juga membaca amarah yang terpancar dari mata Dean saat menatap Jae. Dalam hati Gia sudah tidak tahan dengan perang dingin yang muncul begitu saja. Baru kali ini Dean menatap Jae dengan intens.
Tangan Gia menahan lengan Jae yang sudah maju selangkah. Badan tegap Jae membuatnya tidak leluasa melihat ke arah Dean. Belum ada sejarah di dunia sekali pun, dua orang lelaki yang saling melempar tatapan dingin menjadikannya sebagai tanda persahabatan. Rapalan kalimat yang akan dikeluarkan Gia menghilang begitu saja.
"Ada apa mencari Gia?" sergah Jae.
"Bukan urusanmu!" Dean sama sekali tidak tertarik untuk berbicara dengan Jae.
"Kalo aku membuatnya menjadi urusanku, bagaimana?" tantang Jae membuat lidah Gia yang hanya sebagai pendengar menjadi kelu.
"Oh, mau jadi pahlawan kamu?" Dean menutup rapat mulutnya menahan geram.
"Kamu sudah terlalu lama menindas Gia. Apa kamu tidak malu beraninya Cuma mencari masalaha sama cewek?" sindir Jae.
"Aku yang tidak punya malu atau kamu yang pengecut? Beraninya cuma membohongi cewek." Dean tidak mau kalah.
Kedua alis Gia bertaut, menangkap sesuatu dari ucapan Dean. Apalagi saat melihat sikap gusar Jae. Wajah sang ketua OSIS pun tak semarah yang dilihatnya beberapa detik yang lalu. Gia merasakan, sepertinya memang ada yang disembunyikan Jae.
"Sudah...sudah...kamu mau apa? Aku sudah tidak berminat bertengkar dengan kamu," potong Gia.
Dean tidak merapalkan banyak kata seperti biasanya. "Nih..."
Kelopak mata Gia mengatup sejenak sebelum menerima amplop putih dari uluran tangan Dean. Gia tersentak, saat menyadari bahwa yang dipikirkannya tadi benar. "Kamu ambil dari mana?" tuduhnya sambil mengambil amplop dengan kasar.
Dean terhenyak, "Bisa nggak sih berhenti berprasangka buruk?" Dean membela diri. "Ketinggalan di ruang seni. Oh ya, aku sudah ketemu sama Pak Yusuf. Kemungkinan kamu akan tetap jadi guru les sampai nilaiku bagus."
Gia tersentak untuk kedua kali. Dahinya mengerut, menyesali keteledorannya. Belum lagi ucapan terakhir Dean yang berhasil membuat rencananya menjadi semakin kacau. Mata bulat Gia penuh protes tidak teralih sedikit pun dari wajah Dean. Sekarang giliran mereka yang saling meluncurkan serangan dingin.
"Kok bisa?" protesnya.
"Ceritanya panjang, besok aja kamu ke ruang kepala sekolah. Biar dijelasin sama Pak Yusuf." Dean terlihat enggan berbicara banyak tentang masalahnya sama Gia di depan Jae.
"Oh iya, kamu..." telunjuk Dean mengarah ke Jae setelah membalikkan badan. "Jangan sampai kamu menyesali perbuatanmu sendiri."
Gia semakin tidak mengerti dengan ucapan Dean. Untuk pertama kalinya, Gia mendengar kata "maaf" dari mulut Dean.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top