Part 42

"Apa sih? Gendang telingaku bisa pecah, tahu nggak?" tatap Dean penuh protes.

"Bisa nggak sih, fokus dikit aja kalo ditanya?" Gia kembali mendengus kesal. "Geometri ini udah kita bahas sejak seminggu yang lalu, nggak ada satu pun yang nyangkut di kepalamu!" Gia menegakkan badannya.

"Kan tadi aku udah bilang, aku hafal rumus rasio." Dean tak mau kalah.

"Dean! Rumus rasio itu dasar banget, anak TK juga pasti bisa." Mulut Gia meniup keudara, meyisakan pipinya yang mengembung seperti perut koi. "Kamu sudah merasa keren dengan menghafal rumus rasio saja?"

"Kamu tahu kan kapasitas otakku memang pendek." Dean berusaha membela diri.

"Kamunya aja yang malas!" Mata Gia hampir saja melompat, "Sekarang coba rumus rasio apa?" cibir Gia.

"Suku ke n dibagi suku ke n minus satu," Dean mengucapkannya dengan penuh bangga.

"Apalagi yang kamu ingat?" Gia penasaran.

"Udah itu doang." Tak ada rasa bersalah yang bisa ditangkap dari wajah Dean.

Gia meraih satu per satu kertas kuning yang sudah ditempel di banyak tempat dengan kesal. "Nggak ada gunanya, aku udah nyerah ngajarin kamu. Aku mau bilang sama Bu Yustin aja."

"Tunggu...tunggu, kamu ngambek beneran nih?" Dean berusaha merebut potongan kertas kuning dari tangan Gia, tapi gagal.

"Ya udah kalo memang nggak mau, toh nilai lukismu juga akan tetap jelek." Tantang Dean berusaha mencegah Gia. Namun ternyata usahanya kali ini tidak berhasil.

Gia membalikkan badan dengan tatapan penuh. Kali ini dia benar-benar akan membuat Dean berhenti bersikap seenaknya sendiri. Benang tipis warna merah mulai muncul di mata Gia diikiti cairan yang mulai menggenang di setiap sudutnya. Kedua pipinya pun ikut memerah disertai tulang rahang yang semakin mengeras.

"Kamu pikir dengan ancaman seperti itu aku akan mundur?" Langkah Gia kembali mendekat ke arah Dean. "Jelek atau tidak nilai lukisku, aku tetap akan mewakili sekolah ini mengikuti olimpiade matematika."

"Wow! Sombong sekali. Kamu pikir hanya kamu saja yang berprestasi?" Mulut Dean mencebik. "Kamu lupa siapa yang membawa nama sekolah ini saat ada lomba lukis nasional?"

Gia tergelak, "Apa? Sekarang lihat dirimu! Apa kamu sendiri bukan termasuk jenis orang yang sombong?" Gia melipat kedua tangannya di depan dada.

"Wajar dong! Aku begini memang karena ada yang pantas untuk ditunjukkan, biar orang seperti kamu tidak selalu berada di atas angin." Dean ikut meradang.

"Bener-bener ya tu mulut minta dislepet!" Telapak kanan Gia semakin kuat mengepal. Push it dalam genggaman tangannya dengan cepat berubah menjadi kumal.

"Kamu yang mulai kan?" Haram bagi Dean untuk mengalah pada Gia.

Mata Gia sudah mulai memanas. "Dengar ya! Kalo kamu sudah merasa hebat, tidak memerlukan orang lain maka rasa hebat itu sendiri yang kan membunuhmu pelan-pelan."

"Bukan aku yang merasa hebat tapi memang tidak ada yang mau memberi kesempatan. Setiap orang punya prosesnya sendiri, kesempatannya sendiri. Kenapa tidak ada yang mau mengerti itu?"

"Nggak usah ngomongin kesempatan!" Gia terdiam sejenak untuk menelan ludah agar tenggorokannya tidak semakin kering. "Sudah berapa kali guru ngasih kamu kesempatan? Ingat Dean ini sudah kelas sebelas. Sebentar lagi kita akan menghadapi ujian akhir. Kamu mau berapa kali kesempatan lagi?"

Mulut Dean masih terkunci. Sorot mata coklatnya berubah penuh penyesalan, sepertinya ucapan Gia berhasil menancap di hatinya. Cairan bening semakin memenuhi kelopak mata Gia. Tak lama lagi pertahannya akan runtuh.

" Tapi baguslah, masih ada juga yang nyantol di kepalamu. Setidaknya usahaku ada hasilnya."

Dean menarik tangan Gia yang hendak meninggalkannya, "Tunggu mau ke mana?"

Deuh, aku harus gimana? Batin Dean. Pikirannya terus berkecamuk, sangat tidak mudah memutuskan sesuatu yang berlawanan dengan hatinya. Tapi dia juga harus melakukan usaha yang lebih keras lagi jika ingin mendapatkan keduanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top