Part 41

Gia melipat lebih dulu sebelum memasukkan kembali kertas yang sudah dibacanya ke dalam amplop putih. Ingatannya bekerja dengan baik, menghafal setiap kalimat yang terangkai di sana. Gia sempat berpikir untuk menyerah saat kekhawatirannya menjadi kenyataan. Impiannya untuk menjadi arsitektur menjadi semakin sulit untuk diwujudkan, apalagi saat wajah ayah kembali muncul dibenaknya. Dia tak tidak tega untuk menambah penderitaan orangtuanya.

Dean sudah berada di dalam ruangan saat langkah kaki Gia melewati pintu ruang seni. Pikirannya yang terus berdesakan membuatnya tidak menyadari keberadaan Dean. Kepalanya baru terangkat saat mendengar sapaan Dean. Retinanya merangkum dengan baik Dean yang belum berhenti memperbaiki senar gitar.

Tubuhnya dihempaskan dengan kasar tidak jauh dari tempat duduk Dean. Kepala yang terasa berat membuat Gia merasa perlu meletakkannya di sandaran kursi. Telunjuk kiri Gia menekan bagian tengah antara kedua alisnya. Denyut yang dirasakan membuat sakit kepalanya sedikit mereda. Dalam hitungan detik sakit kepalanya kembali terasa saat teringat ide untuk meminta surat keterangan dari pemerintah dimentahkan sang ayah.

"Ayah masih sanggup membiayai sekolahmu," ucapan ayahnya masih berdengung di telinga. Jangankan buat membayar biaya sekolah, buat makan saja kami sudah harus berhemat.

Toko kue milik mama hanya cukup untuk memastikan ketiga anaknya tidak kelaparan. Gara, memang masih kelas enam SD. Sedangkan adik bungsunya sudah masuk sekolah TK. Bukan berarti ayah bisa santai memikirkan biaya pendidikan ketiga anaknya. Selain Gara belajar di sekolah favorit, tidak lama lagi dia akan memasuki SMP yang berarti biaya yang dibutuhkan semakin banyak.

Gia meletakkan amplop putih di meja. Kedua telapak tangannya mengatup di wajah. Sikunya bertumpu pada meja untuk menyangga kepalanya yang semakin terasa berat saat harus bertemu lagi dengan Dean. Dia ingin segera menyerah, sudah tidak tahan lagi dengan ulah Dean.

"Dari mana sih, lama banget?" tanya Dean dengan mata tak beralih dari gitarnya.

"Ada urusan sebentar," Gia mengusap wajahnya dengan kasar. Beberapa kali digaruknya kepala yang tidak gatal, "Gimana? Sudah hafal belum rumus geometri?"

"Rumus geometri yang mana, sih?" Dean menoleh dengan wajah polos.

Gia memutar bola matanya. Ada desiran halus di hatinya saat mata coklat itu tepat beradu pandang dengan matanya. Perasaan macam apa ini? Gia mengerjapkan mata, menghapus pertanyaan yang melintas begitu saja dalam pikirannya.

"Astaga..." telunjuk Gia mengarah ke kertas kuning yang ditempel bagian belakang gitar. "Itu namanya rumus geometri Dean!" teriakan Gia membuat Dean terkejut dan segera memeriksa kertas yang dimaksud. "Lihat tasmu! Ada berapa banyak kertas kecil yang aku masukin ke sana."

Tangan kanan Dean menggaruk ujung kepalanya yang tidak gatal. "Oh, iya."

Gia menghempaskan punggungnya lagi dengan kasar pada sandaran kursi. Jari telunjuk dan jempol Gia menekan dahinya sendiri lebih keras dari yang dilakukan sebelumnya. Lukisan indah mata coklat di benaknya tiba-tiba menjadi pecah berkeping-keping. Pantas saja, Bu Yustin sudah mengibarkan bendera putih untuk mengajar Dean. Mulut Gia masih terkunci, tak henti-hentinya mengambil napas dalam dan menghembuskannya melalui mulut hingga pipinya mengembung.

"Kalo rumus rasio sudah, tapi..." Dean ragu untuk melanjutkan kalimatnya. "Rumus yang lain belum, kan panjang semua." Dean melebarkan senyumannya dengan wajah tetap datar, memperlihatkan deretan gigi putihnya tanpa merasa bersalah.

"Kalau mau yang pendek, penambahan, pengurangan, sama pengalian aja." Sahut Gia kesal. "Lah kemarin kamu bisa ngerjain soal serumit itu, sekarang ngapalin geometri aja nggak bisa." Protes Gia. "Atau jangan-jangan kamu sengaja mau ngerjain aku!" Tuduhnya tanpa ampun.

Jemari Dean kembali memperbaiki gitarnya, tanpa mempedulikan Gia yang hampir pingsan karena jengkel. Pandangan Gia menjelajah ke setiap benda yang hampir penuh dengan kertas kuning berukuran kecil.

"Dean!" teriakan Gia membuat Dean melompat dari kursinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top