Part 40

"Beli cat," Dean yang tahu arah pembicaraan Jae hanya menjawab dengan singkat. Tak melepaskan tatapan menyelidik dari wajah Jae.

"Kamu kenapa nggak bawa mobil aja sih?" Rumi menatap jaket dan celana Dean yang masih basah.

"Biasa dapat skors dari Mama, lagian sejak kapan ke sekolah boleh bawa mobil sendiri?" Garis bibir Dean melengkung ke bawah, seraya mengangkat kedua bahunya.

"Nilai matematika lagi?" Dean hanya mengangkat kedua alisnya. "Lah itu Jae bisa bawa mobil." Mata Rumi tertuju pada yang ada disampingnya sebelum menatap Dean lagi.

"Aku ambil mobil ke bengkel dulu tadi sebelum jemput kamu," potong Jae. Sedangkan Dean tak memberikan reaksi apapun.

Rumi hanya menunjukkan deretan gigi putihnya. Dia tahu betul Dean masih tak peduli dengan nilainya yang terus merosot. Tidak jarang Mama Dean minta tolong Rumi untuk menasehati anaknya karena nilai rapornya yang tak kunjung membaik. Meski tidak banyak yang bisa dilakukan Rumi.

"Kalian sendiri dari mana?"tanya Dean memecah keheningan.

"Jae nemenin beli buku, ada tugas dari sekolah." jawab Rumi.

"Pantes aja kamu sekarang nggak pernah ngerengek lagi minta anter," ledek Dean.

Kedua pipi Rumi bersemu merah, terlihat saat angin menyibakkan rambutnya. Mata Dean pun tak bisa ditipu saat menangkap binar mata Rumi. Berbeda dengan Jae, Dean tak menemukan hal yang sama di wajahnya. Bahkan Jae bereaksi lebih defensif.

"Sejak kapan kalian jadian? Pantes aja aku sering nggak lihat kamu kalo di suruh Mama ke rumah." Dean coba membawa pembicaraan pada topik awal.

"Baru banget," Senyum masih mengembang di bibir Rumi, "Baru tiga hari."

"Woaa ya? Sedang anget-angetnya dong." Dean menatap Rumi sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya.

"Jae, jagain sepupu gue ya. Jangan sampek lo bikin dia kecewa," hanya Jae yang tahu arah pembicaraan Dean.

Kaki Jae terus bergerak gelisah. Matanya menatap jam yang melingkar di lengan kiri berkali-kali. Dean menikmati kegelisahan yang dirasakan Jae, matanya semakin intens mencuri pandang pada lelaki di depannya. Lampu sudah menyala penuh. Pertanda hari sudah semakin gelap.

"Aku ke toilet dulu ya," pamit Jae pada Rumi.

"Iya," Rumi mengangguk sambil tersenyum. Matanya mengikuti punggung Jae yang terus bergerak menjauh menuju toilet.

"Kamu jangan mudah percaya sama Jae." Dean menundukkan kepala, tangannya sibuk memainkan kunci motor.

Otot di wajah Rumi berubah menjadi tegang, "Kenapa?"

"Ya, kamu jangan percaya begitu aja sama dia. Apalagi kalo kamu sampai jatuh cinta terlalu dalam, jangan sampai deh," Dean menatap wajah Rumi serius.

"Iya, tapi alasannya apa?" Rumi terus mendesak Dean.

"Aku hanya nggak mau lihat kamu kecewa," pikir Dean sia-sia saja memberikan penjelasan pada orang yang sedang jatuh cinta.

"Alasannya dong, Dean." Rumi membuka kedua tangannya di meja. "Nggak mungkin kan, kamu ngelarang aku tanpa alasan."

"Udah deh, sebaiknya kamu jaga jarak sama dia!" perintah Dean nggak sabar.

"Kamu ini kenapa sih?" Rumi mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kan kamu sendiri tadi yang bilang kalo dia ketua OSIS. Masak iya ketua OSIS punya tingkah yang aneh-aneh. Kamu aja kali yang nggak suka sama dia," Rumi berubah ketus sama Dean.

"Bukan gitu maksudnya," ekor mata Dean menatap bayangan tubuh Jae yang semakin mendekat. "Dia itu..."

"Ngomongin apa sih? Serius amat." Jae yang menangkap perubahan suasana segera memotong pembicaraan antara Dean dan Rumi.

"Hmm...nggak ada apa-apa kok." Rumi segera menepis kecurigaan Jae.

"Pulang yuk, udah red nih." Ajak Jae sambil melihat jam di tangan kirinya.

Rumi sengaja memperlambat langkahnya agar Jae berjalan di depan. "Aku nggak peduli apapun masalahmu sama Jae, yang jelas aku tidak akan mundur. Kamu jangan campur adukkan masalah pribadimu dengan orang lain." Rumi segera mengikuti Jae yang hampir sampai di area parkir setelah memberikan peringatan pada Dean.

Sedangkan Dean yang masih terkejut dengan ucapan Rumi hanya membatu di tempatnya. Masalah yang semakin rumit membuatnya kesulitan mengambil keputusan untuk menceritakan masalah ini pada Gia. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top