Part 4

"Su...sudah Gi," Disa terus menggamit lengan sahabatnya. "Jangan sampai dia merusak lukisanmu." Gia masih tak bergeming, tak menghiraukan ucapan sahabatnya.

"Bentar Dis, nggak akan kubiarkan begitu saja." Gia melepaskan tangan Disa yang gemetaran dari lengannya.

"Sudah jangan dibalas lagi," Disa kembali berbisik. "Kutemani ke ruang Pak Andre sekarang."

"Sebentar, kuambil lukisan dulu."

Dean sengaja membuka gulungan kanvas di tangannya dengan santai, sambil mengamati wajah Gia dengan tatapan mencibir. Dia siap membuat musuhnya mati kutu. Matanya menatap bergantian antara gulungan kanvas di tangannya dengan wajah Gia yang lebih mirip kepiting rebus.

Sedikit demi sedikit warna di dalam gulungan mulai bermunculan, membentuk sebuah sketsa. Goresan yang ada diatas kanvas membuat kedua alis tebal Dean bertaut. Bibirnya mengerucut, mengikuti tatapan matanya yang serius. Dean memutar-mutar sisi kertas seolah mencari sesuatu dari sketsa yang ada di tangannya.

"Kamu mau bikin apa sih?" Dean mengedikkan dagu. Perbedaan tipis antara bertanya dan menghina yang mampu membungkam argumen lawan bicaranya. Dia benar-benar tak mendapatkan apa-apa disana. Dia baru ingat, musuhnya ini harus berkali-kali melakukan remidi di mata pelajaran lukis. Tak seharusnya dia menanyakan sesuatu yang sudah tahu jawabannya.

"Bisa nggak sih, nggak usah jahil?" Tangan Gia mengayun ke udara berusaha mengambil kanvas ditangan Dean. "Sini! Kembalikan lukisanku." Wajah Gia berubah memohon, setelah beberapa kali gagal meraih kertasnya. Kantung matanya belum juga hilang setelah dua hari dua malam menyelesaikan tugasnya. Dia benar-benar lelah.

"Kamu remidi lagi?" Mulut Gia terkunci, hanya anggukan kepala yang membenarkan pertanyaan Dean.

"Astaga!" Salah satu sudut bibir Dean meninggi, membuat hati lawan bicaranya terbakar. "Bikin kaya gini saja harus ngulang?"

"Eh bukan urusan kamu ya! Lagian sejak kapan kamu hobi ngurusin urusan orang lain? Kebanyakan nonton sinetron kamu." Gelak tawa memenuhi ruangan. Dua musuh bebuyutan ini selalu menjadi hiburan gratis kalo sudah beradu mulut.

Gia bisa menangkap wajah Dean yang berubah menjadi merah, meski berusaha menutupinya. "Lagi ngomongin diri sendiri ya?" Hati Gia berdesir saat Dean mendekatkan wajahnya. "Masak iya ganteng gini tontonannya sinetron."

Nyali Gia berubah menciut, bongkahan gunung es perlahan mencair saat melihat sinar yang memancar dari mata coklat. Kilatan mata Dean mampu membakar wajahnya. Namun, egonya masih belum mau menyerah. Dia tak akan mengibarkan bendera putih berkibar begitu saja.

"GR banget sih!" Mulut Gia mengucapkan hal yang berlawanan dengan hatinya, hanya mata rabun yang tidak bisa menangkap paras ganteng di depannya. Kenyataan pahit yang harus diakuinya meski hanya dalam hati.

Gia beruntung, kulit coklat membungkus rona yang menghiasi kedua pipinya. Ritme jantungnya berubah lebih cepat. Dia tak yakin nasib lukisannya akan beruntung setelah berada di tangan musuh. Tangan Gia kembali berusaha mengulur ke atas meraih gulungan yang sudah menjulang di ujung tangan Dean. Sesekali Gia berdiri di ujung kakinya untuk membuat tubuhnya menjadi lebih tinggi beberapa senti. Sia-sia saja, tubuh Dean yang lebih jangkung tak mampu diraihnya.

Dunia seperti berhenti berputar saat tatapannya bertaut dengan mata coklat di atasnya. Wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari Dean, penciumannya menangkap dengan baik aroma wood yang keluar dari tubuh Dean. Mati-matian Gia menahan jantungnya agar tidak melompat dari tempatnya. Dia tak mau Dean mengetahui apa yang sedang dirasakannya.

Gia tidak tahu, ada desiran halus yang juga menyusup di hati Dean saat matanya berusaha menembus mata bulat yang legam di depannya. Sepersekian detik lidah Dean membeku, kata-kata yang biasanya dia keluarkan seolah kembali tertelan setelah sampai di tenggorokannya. Perlahan Dean menurunkan tangannya.

"Dean! Kamu mau ke ruang guru atau mau pandang-pandangan saja di sini?"  Suara Yustin kembali menyambar telinganya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top