Part 30

Semilir angin menyapu wajahnya, membuat hidungnya menarik napas dalam. Memberi ruang agar oksigen masuk sebanyak-banyaknya ke dalam rongga dada. Darahnya seperti berhenti mengalir saat harga dirinya kembali diinjak. Hampir saja dia melakukan kesalahan dengan menghampiri Dean. Gadis itu masih ingat betul bagaimana melakukan gerakan menyerang saat dirinya merasa terancam.

"Satu lagi, tidak bisa mengendalikan emosi tidak akan membuatmu menjadi apa-apa. Kamu itu cewek, kamu harusnya bisa lebih lembut." Garis bibir Dean membuat lengkungan ke atas, sementara tangannya menepuk pundak Gia pelan.

Darah Gia yang sudah mendidih hingga ubun-ubun kembali luruh dan menyebar ke setiap senti syaraf di tubuhnya. Ada aliran listrik yang mengalir di seluruh tubuhnya saat tangan Dean menyentuh bagian atas lengannya. Keinginannya untuk pergi ke tempat yang tak bisa bertemu dengan Dean hilang seketika. Otaknya seperti tak bisa memerintahkan apapun untuk bisa dilakukan.

Hatinya mengembang, ternyata diam-diam Dean memperhatikannya. Kembang api meletup-letup di dalam kepalanya. Tunggu! Kenapa jadi Dean? Tidak...tidak...tidak ada yang bisa melebihi perhatian Jae. Gia mengerjapkan mata, menghapus pikiran aneh yang masuk di kepalanya. Tangannya menggosok telinganya yang tidak gatal, memastikan pendengarannya tidak salah.

"Aku tidak mau berubah jadi orang lain," Gia mempertahankan egonya.

"Siapa juga yang nyuruh kamu jadi orang lain?" Dean menegakkan tubuhnya. "Aku cuma nggak mau jalan sama cewek cupu. Tapi terserah kamu, aturan ini hanya selama kita belajar bareng saja. Aku juga nggak bakal betah kalo harus lama-lama dekat sama kamu."

Gia kembali mengeratkan kepalan tangannya. Kembang api yang tadi melambung ke udara seolah padam begitu saja sebelum berhasil mengeluarkan seluruh cahayanya. Darahnya seperti dipompa untuk terus bergerak naik sampai di kepala. Geliginya kembali beradu, mendengarkan ucapan Dean.

Kepala Gia terasa hampir meledak terlalu lama berbicara dengan Dean. Dia berencana mengolesi mulut Dean dengan cabe kalau nanti masih mengeluarkan kata pedas saat belajar bersama. Tangannya merapikan buku yang berserakan di meja dengan cepat.

"Semoga otakmu cukup baik untuk mendengarkan penjelasanku nanti," cela Gia.

"Pikir saja yang seminggu itu, nggak usah mikir terlalu jauh." Senyum sinis Dean membuat hati Gia teriris. "Kamu nggak ingat apa yang kutulis barusan? Pantas saja, sampai tidak ada kata terimakasih. Kamu memang nggak bisa melihat sisi baik orang lain."

Susah payah Gia membasahi tenggorokannya yang kering. Kulit di wajahnya seperti mengelupas. Ingin sekali dia segera meninggalkan Dean tapi tubuhnya seolah tak mau beranjak. Baru saja dia ingin membuka mulut tapi Dean sudah mendahuluinya.

"Tenang saja, nggak akan lama..." Dean ragu untuk meneruskan kalimatnya. "Setelah itu kamu boleh jadi cewek cupu lagi."

"Oke, selama kamu juga melakukan hal yang sama. Aku juga malu, meski wajahmu sudah berhasil bikin Kashi tergila-gila." Gia tidak percaya dengan ucapannya sendiri, baru saja dia mengakui ketampanan musuh bebuyutannya. "By the way, thanks udah ngerjain tugasnya." Gia menunduk menyembunyikan rona merah di wajahnya.

"What? Seharusnya aku yang malu!" Dean setengah berteriak.

"Aku! Cuma kamu siswa di sini yang jadi teman abadi tiang bendera."

Senyum mengembang di bibir Gia penuh kemengan. Dia kembali menyandarkan punggung di papan belakang bangku. Tidak peduli dengan Dean yang masih terpaku di tempatnya. Dia tak mau menyerah begitu saja pada syarat yang diajukan orang yang setiap hari menindasnya.

Dengan begitu dia juga akan ikut memegang kendali. Setelah sepuluh detik masih tidak ada suara yang menyaut. Gia kembali menoleh ke arah Dean. Cowok gondrong itu masih terpaku di tempatnya dengan dahi berkerut seolah memikirkan sesuatu.

"Tapi terserah juga kalau kamu memang ingin membuat surat pernyataan itu. Aku juga nggak yakin bisa ngajarin kamu, Bu Yustin aja nyerah." Disaat yang bersamaan wajah Jae muncul dari balik pintu kelas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top