Part 26
Gia meniup udara membuat anak rambutnya terbang. Tubuhnya lunglai, otot-otot di kaki terasa mengendur. Tulang-tulang di lututnya seperti terlepas. Gia merapatkan tubuh ke dinding sambil menggenggam lengan Disa dengan erat, mencari kekuatan di sana. Hangat menyusuri seluruh kulit tangannya saat telapak tangan Disa mengusap dengan lembut.
Gia bisa melihat Dean sedang melipat wajahnya. Dia sendiri juga yakin, wajahnya memancarkan hal yang sama. Dean yang masih mematung tidak jauh dari tempatnya berdiri. Mata Dean mengerjap beberapa kali, membuat bulu matanya bergerak membentuk pola yang indah. Gia tak menemukan pemberontakan di mata coklatnya.
"Udah, kalian baikan saja kenapa sih?" tatapan membunuh dua orang yang ada di depannya, sempat membuat nyali Disa menciut. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya untuk membuat keduanya menjadi lebih baik. "Kalian sudah nggak ada cara lain lagi loh," Disa tak mau menyerah begitu saja.
"ENGGAK!" Seru keduanya bersamaan.
Disa menutupkan telapak kanan tepat di mulutnya yang membulat. Matanya yang penuh hampir keluar dari cangkangnya. "Oke deh, aku duluan ke kelas saja deh," langkah kaki Dia menjauh. Punggungnya hilang di balik dinding menuju kelasnya.
Setelah bayangan tubuhnya tak kelihatan lagi, Dean membalikkan badan menghadap Gia. Tak ada satu kata pun yang diucapkan Gia. Tubuhnya masih terasa lemah menyandar ke dinding.
"Oke, aku mau tapi ada syaratnya." Dean kembali memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana. "Besok kamu harus dandan lebih modis. Aku malu jalan sama cewek cupu," ucap Dean dengan wajah datar setelah tak mendapatkan reaksi apapun dari Gia.
"Eh, gondrong, bisa nggak sih kamu berhenti menghina aku?" suara Gia terdengar serah berusaha mempertahankan diri dengan sisa tenaganya. Dia harus bertahan sendiri, tak ada Disa yang membelanya.
"Aku nggak menghina, memang kayak gitu kenyataannya. Kamu sadar nggak sih?" Dean menghela napas panjang. "Capek ya, gimana sih caranya bikin kamu ngerti?"
"Coba deh kamu dengerin orang lain ngomong, nggak selamanya ucapan dari orang yang kamu pikir jelek itu salah." Dean menyatukan kedua alisnya. "Kalo kamu mau diterima orang lain, kamu juga harus mau menerima kritik orang lain."
Kaki Gia terpaku di tempatnya berdiri. Menemukan wajah Dean yang tetap datar membuat tenggorokannya terasa kering. Sulit rasanya mengeluarkan satu kata saja, kini tinggal dia saja yang belum ada kata sepakat. Tangan kanannya mengulur ke depan saat Dean mulai melangkahkan kaki mendekat. Wajahnya terlihat gusar.
"Stop! Sudah kamu di situ saja," tangannya menahan perut yang mulai bergejolak lagi. "Oke aku mau," akhirnya Gia menyerah.
Bukan hal lucu kalo tiba-tiba dia pingsan. Sementara cuma ada Dean yang berada di dekatnya. Meski sudut matanya bisa melihat Disa masih menunggunya berdiri di ujung koridor tak jauh dari kelas. Siswa mulai masuk ke kelas masing-masing, tak ada lagi yang menjulurkan kepala dari jendela kelas.
"Syaratnya masih sama," tatapan penuh intimidasi Dean membuatnya tertekan. "Aku nggak mau jalan sama kamu di sekolah kalo masih cupu kaya gini besok."
"Iya...iya...kan aku sudah bilang setuju tadi. Cepat pergi dari sini!" usir Gia.
Syarat yang diajukan Dean tidak lagi menjadi hal yang penting baginya. Gia berusaha keras memikirkan cara menghilangkan mual di perutnya saat harus berdekatan dengan Dean. Seminggu ke depan sepertinya akan menjadi hari yang panjang. Gia berusaha menjaga keseimbangan tubuh sementara langkah Dean menjauhinya. Tampak dari belakang gerakan bahunya mengikuti irama langkahnya.
Gia tak tahu wajahnya yang pucat meninggalkan tanya di benak Dean. Dengan sisa tenaga, diikutinya langkah Dean dari belakang menuju kelas. Dia berusaha mencuri dengar saat Dean mengatakan sesuatu saat melewati Disa. Tapi telinganya tak menangkap satu kata pun, hanya wajah kesal Disa yang dia temukan saat membalas ucapan Dean.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top